Bagi seorang K-Popers, melihat bias punya tato adalah hal yang cukup asing, setidaknya bagi saya. Sangat jarang saya melihat para idol K-Pop buka-bukaan bahwa ia punya tato. Yaaa, ada beberapa, sih, misalnya Cho Seungyoun atau Han Seung-woo. Ada juga maknae kesayangan saya dan semua ARMY di dunia ini, Jeon Jung-kook. Mereka adalah segelintir idol yang punya tato, tapi nggak bisa secara bebas memperlihatkan tatonya di muka publik.
Nggak peduli seberapa filosofisnya tato yang mereka punya, tetep aja stasiun TV nggak memperbolehkan tubuh yang bertato masuk ke dalam kamera dan ditonton oleh banyak orang. Han Seung-woo waktu masih berada di acara Produce X 101 kudu memakai semacam plester buat menutupi tato yang ada di tengkuknya. Jung-kook juga mengalami hal yang serupa. Ia jadi jarang banget pakai baju berlengan pendek demi mencegah tatonya tertangkap kamera. Bahkan kalau ia nggak sengaja mengekspos tatonya, editor acara TV yang bakal turun tangan dengan ngasih efek blur pada sekujur tangan Jung-kook.
Di Korea Selatan, tato termasuk hal yang tabu. Korea Selatan yang saat ini, masih banyak masyarakat dan pemerintah yang jalan pikirannya konservatif, mengasosiasikan orang bertato sebagai orang yang nggak bermoral, anggota geng, dan stigma-stigma buruk lainnya.
Kontroversi ini bahkan sampai berdampak kepada tattoo artists di sana. Pemerintah melarang mereka beroperasi setelah diterbitkannya aturan bahwa yang bisa membuat tato di atas tubuh manusia hanyalah tenaga medis yang sudah tersertifikasi. Akibatnya banyak tattoo artists yang bekerja sembunyi-sembunyi di rumah atau ruang bawah tanah. Malah jadi kucing-kucingan sama aparat, kan?
Pelarangan tato tayang di acara TV dan stigmatisasi kepada orang-orang yang bertato ternyata punya sejarah yang panjang di masyarakat Korea. Penolakan mereka terhadap tato di muka publik ini ternyata ada alasannya.
Budaya mentato tubuh sebenarnya sudah dilakukan sejak para nenek moyang oppa dan eonni masih hidup. Catatan sejarah yang dikompilasikan oleh Friederike Glietsch dengan judul “The Korean Tattoo Culture” menjelaskan bahwa di era pra-modern, para nelayan di Korea percaya bahwa mereka bakal dilindungi dari hewan-hewan berbahaya, seperti ular atau buaya, dan dijauhkan dari ancaman serangan ikan raksasa pas lagi menjaring ikan di laut kalau mereka mencetak tato di tubuh. Para nelayan yang dulunya hidup di sisi selatan Korea ini mendapat pengaruh dari para nelayan Jepang. Ternyata sebelum ada racun skincare, Jepang udah lebih dulu ngasih racun tato.
Semenjak hadirnya ideologi Buddha dan Konfusian di zaman Tiga Kerajaan, budaya tato ini perlahan mulai menghilang dan dilupakan. Ajaran moral yang berkembang pada saat itu bilang kalau tubuh manusia adalah pemberian dari orang tuanya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jadi, melukai atau mengubah tubuh sama saja dianggap durhaka. Nah, masyarakat pada masa itu jadi berpikir, “Berarti mentato tubuh sama aja durhaka kepada orang tua, dong?”
Setelah runtuhnya Tiga Kerajaan di Semenanjung Korea, berdirilah Kerajaan Goryeo. Pemerintah Goryeo pada saat itu nerbitin peraturan yang mengatur hukuman bagi para kriminal, salah satunya dengan tato.
Chajahyong, adalah hukuman berupa mengukir nama kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa di atas wajah atau lengannya. Chajahyong biasanya dipakai buat menghukum orang yang terbukti melakukan pengkhianatan, konspirasi, atau memfitnah politisi. Bahkan bagi para pemberontak, dahi mereka bakal ditato dengan tulisan “Pemberontak dari Barat” dan mereka bakal diasingkan ke pulau di tengah laut.
Hukuman tato ini juga ditemukan di masa Dinasti Joseon, tepatnya di era Raja Sejong berkuasa yang pada waktu itu banyak banget perampokan terjadi. Awalnya hukuman tato ini cuma diukir di bagian siku atau pergelangan tangan, tapi akhirnya muka para kriminal juga ikut jadi sasaran agar mereka mendapatkan sanksi sosial juga. Jadi selain ngerasain sakit, para kriminal juga merasa malu. Biar kapok.
Raja Sejong sempet menghentikan hukuman tato ini karena beliau nggak tega. Namun, putranya, Raja Sejo melanjutkan bentuk hukuman tato ini demi menurunkan tingkat kejahatan di masa pemerintahannya. Barulah pada era Raja Yeongjo, sekitar dua abad setelah mangkatnya Raja Sejo, hukuman ini resmi dihapuskan dan alat eksekusi juga turut dihancurkan. Alasannya, para kriminal bisa saja mengalami trauma, apalagi kalau ternyata mereka adalah korban salah tangkap. Panutan banget memang Raja Yeongjo ini.
Kalian yang pernah menonton drakor The Crowned Clown mungkin nggak asing lagi dengan hukuman tato di masa Joseon. Salah satu tokohnya, Shin Yi-gyeom, yang terbukti melakukan pelecehan seksual dan serangkaian kejahatan kejam lainnya mendapatkan hukuman tato di wajah dan dikirim ke tempat terasing. Drakor ini mengambil setting waktu pemerintahan Pangeran Gwanghae, berjarak sekitar 140 tahun sejak berakhirnya tahta Raja Sejo.
Selain jadi bentuk vonis bagi para terdakwa kasus kejahatan, ternyata tato juga dipakai secara diam-diam oleh kalangan masyarakat biasa di Joseon. Praktik tato ini dinamakan Yeonbi, yaitu semacam sumpah atas cinta atau kesetiaan antara dua orang atau lebih dengan cara mengukir nama di badan.
Yeonbi banyak dilakukan oleh gisaeng, atau wanita penghibur. Kemudian, ini meluas sampai banyak orang yang lagi memadu kasih atau kakak beradik ikut mempraktikkannya. Dengan tato, mereka bisa saling mengingat janji dan komitmen untuk nggak saling mengkhianati. Kalau di Harry Potter ada “Unbreakable Vow”, di Joseon ada Yeonbi.
Nah, awal mula tato dipandang sebagai hal yang negatif, selain dari sejarah hukuman pada masa kerajaan, juga dipengaruhi gara-gara munculnya geng saat Jepang menduduki Korea. Pada masa penjajahan, geng-geng di Korea meniru Yakuza, geng asal Jepang yang terkenal banget itu, dalam hal pasang tato di badan.
Tato pada anggota geng menjadi simbol kebersamaan dan kesetiakawanan antaranggota. Rasa sakit yang dirasakan waktu lagi ditato juga dianggap sebagai pengorbanan kepada gengnya. Setiap geng punya tato yang berbeda-beda dalam segi bentuk maupun polanya. Hal ini bisa buat ngebedain mana kawan mana lawan ketika ada perkelahian antar geng satu dengan lainnya. Namun, gangster Korea (biasanya) nggak menggunakan tato untuk mengintimidasi masyarakat. Informasi pemakaian tato oleh anggota geng ini diduga disebarkan oleh pihak ketiga yang kemudian bikin masyarakat jadi takut sekaligus marah akan keberadaan geng. Mereka dianggap meresahkan karena suka bikin keributan dan melakukan kekerasan.
Itulah alasan mengapa orang-orang tua dan pemerintah Korea Selatan masih lumayan sensi kalau berurusan dengan tato. Walaupun anak muda Korea Selatan sekarang sudah lebih terbuka sama hal-hal baru dan progresif semacam ini, tapi kalau peraturan yang dikeluarkan pemerintah melarang praktik pembuatan dan penayangan tato, ya bisa dibilang mereka kurang berkuasa.
BACA JUGA Jadi Perempuan pada Dinasti Joseon Adalah Hal yang Paling Nggak Pengin Saya Alami dan tulisan Noor Annisa Falachul Firdausi lainnya.