Fenomena yang terlalu umum
Ternyata, setelah ngobrol dengan teman-teman, saya bukanlah satu-satunya korban. Banyak mahasiswa lain ngalamin hal serupa. Bahkan ada yang lebih parah: dosennya ikut menuliskan namanya jadi penulis pertama, sementara mahasiswa jadi penulis kedua. Lah, ini artikel siapa sebenarnya? Jangan-jangan mahasiswa hanya jadi asisten pengetik yang kebetulan dapat nama di belakang.
Lucunya, di kampus tempat saya menimba ilmu, aturan tidak tertulis ini sudah jadi tradisi. Tugas akhir bukan lagi sekadar skripsi, tapi juga harus berbentuk publikasi artikel jurnal. Dan hebatnya, nama dosen pembimbing otomatis nyantol di sana. Kayak paket data “bonus TikTok” yang nempel di kuota utama yang nggak bisa ditolak, nggak bisa dicopot.
Kalau diprotes? Jawabannya klise dan terdengar sok akademis: “Itu bagian dari hak pembimbing.” Lah, hak macam apa ini? Kalau gitu sekalian aja bikin aturan baru: setiap mahasiswa lulus, dosennya juga dapat ijazah tambahan
Janji pada diri: publikasi artikel tanpa kolonialisme akademik
Saya sendiri sebenarnya punya cita-cita jadi dosen suatu hari nanti. Tapi pengalaman ini bikin saya mikir keras: “Kalau jadi dosen, saya nggak mau jadi tipe yang cuma nebeng nama di artikel mahasiswa.” Sungguh, saya lebih rela publikasi artikel sedikit tapi lahir dari jerih payah sendiri, ketimbang punya seabrek artikel tapi hasil nebeng nama orang lain.
Karena jujur saja, nebeng nama di artikel mahasiswa itu nggak beda jauh sama kolonialisme akademik. Bedanya, kalau dulu tanah dijajah, sekarang pikiran mahasiswa yang dijajah. Kita yang begadang, mereka yang dapat nama. Kita yang pusing revisi, mereka yang panen reputasi
Dan lucunya, kita disuruh bangga. Katanya, “Wah, artikelnya terbit bareng dosen, lho!” Padahal di dalam hati, saya cuma bisa ketawa miris: ini bukan kolaborasi, ini kolonisasi.
Jadi kalau ada yang tanya, apa rasanya publikasi artikel pertama di jurnal ilmiah, jawabanku sederhana: bangga sih, tapi bangga yang getir. Karena di balik setiap nama dosen yang nempel, ada mahasiswa yang diam-diam merasa dijajah.
Penulis: Arif Romdhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Publikasi Artikel di Jurnal Ilmiah: Ternyata Ada Sisi Gelapnya!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















