Kuliah di Kampus Unggulan Belum Tentu Sukses, tapi UKT Terasa Nggak Sia-sia karena Fasilitasnya Layak

Kuliah di Kampus Unggulan Belum Tentu Sukses, tapi UKT Terasa Nggak Sia-sia karena Fasilitasnya Layak Mojok.co

Kuliah di Kampus Unggulan Belum Tentu Sukses, tapi UKT Terasa Nggak Sia-sia karena Fasilitasnya Layak (unsplash.com)

Banyak orang berpendapat, tidak masalah bagi seseorang tidak masuk kampus unggulan atau kampus top di Indonesia. Toh, pada akhirnya, lulus dari kampus unggulan juga belum tentu langsung dapat kerja. Pendapat tersebut memang tidak salah dan cukup relevan dengan kondisi sekarang ini. 

Akan tetapi, lebih bijak kalau kita tidak menutup mata terhadap berbagai kelebihan yang dimiliki kampus unggulan. Misal, kampus unggulan punya jaringan relasi yang lebih luas dan fasilitas kuliah lebih lengkap. Tidak terkecuali, alat praktik dan laboratorium yang memadai. 

Fasilitas semacam itu bukan sekadar pelengkap. Fasilitas itu jadi faktor penting dalam proses belajar mahasiswa. Terutama di jurusan-jurusan yang menuntut keterampilan teknis. Mahasiswa dari kampus top tentu akan lebih terbiasa bersentuhan langsung dengan teknologi dan peralatan terkini yang membuat mereka lebih siap ketika terjun ke dunia kerja.

Bukan berarti mahasiswa dari kampus lain tidak bisa bersaing. Namun, sulit memungkiri, mereka yang berasal dari kampus kurang beken sering kali harus bekerja ekstra untuk mengejar ketertinggalan akibat minimnya fasilitas penunjang tersebut. 

Jadi, alih-alih sekadar membandingkan “kampus top vs bukan”, akan lebih sehat jika kita memahami bahwa kualitas pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh ekosistem pendukungnya. Dan, dalam hal ini, kampus unggulan memang punya kelebihan. Mahasiswa yang membayar UKT pun terasa lebih ikhlas dan tidak sia-sia karena kembali dalam bentuk yang sepadan. 

Kampus, tapi fasilitasnya nggak lengkap

Kampus unggulan atau kampus top biasanya identik dengan kampus negeri. Faktanya, tidak sedikit kampus swasta yang justru lebih mending dari segi fasilitas, program pembelajaran, hingga kemitraan dengan dunia industri. Kampus-kampus ini lebih berani berinvestasi besar dalam laboratorium, teknologi terbaru, dan sistem pembelajaran yang adaptif terhadap kebutuhan zaman.

Persoalannya, belakangan ini menjamur kampus-kampus baru yang hadir bukan dengan visi pendidikan yang kuat, melainkan sekadar menjual harapan. Mereka biasanya mengklaim akan mencetak lulusan unggul yang bisa langsung kerja, tapi tidak menyediakan fasilitas yang layak, seperti laboratorium yang mendukung. Bahkan, kadang tenaga pengajarnya pun masih minim dengan pengalaman praktik.

Padahal, bagaimana mahasiswa bisa berkembang jika dari awal kampusnya sendiri tidak mampu menyediakan alat untuk bertumbuh? Mahasiswa yang unggul bukan muncul karena motivasi semata, tapi juga karena didukung oleh lingkungan belajar yang sehat dan sumber daya yang memadai. Tanpa itu semua, kuliah bukan jadi jalan menuju masa depan, tapi sekadar rutinitas empat tahun yang penuh kekurangan bahkan kesia-siaan.

Proses kuliah bisa terhambat

Bertambahnya jumlah kampus baru memang membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengecap pendidikan tinggi. Namun, tanpa dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang memadai, ini justru berpotensi menimbulkan persoalan baru. Berdasarkan cerita beberapa rekan yang mengambil jurusan teknik di salah satu kampus swasta, mereka kerap dihadapkan pada keterbatasan alat praktik. Bahkan, mereka sampai harus membayangkan sendiri bentuk dan cara kerja mesin yang tidak tersedia. 

Situasi serupa juga dialami mahasiswa jurusan kesehatan yang hanya bisa mempelajari anatomi lewat gambar dua dimensi. Mahasiswa komunikasi yang belajar produksi video semata dari teori, tanpa pernah benar-benar menyentuh peralatan produksi secara langsung.

Tidak mengejutkan jika keterbatasan alat praktik memaksa mahasiswa untuk “melancong akademik” ke kampus lain. Namun, proses peminjaman alat ini jauh dari kata sederhana. Mahasiswa sering kali harus melewati prosedur administratif yang berbelit dan menyita waktu. Belum lagi harus merogoh kocek tambahan untuk sekadar bisa mengakses peralatan yang seharusnya menjadi bagian dari pembelajaran di kampus sendiri. 

Ironisnya, di tengah mahasiswa yang berjuang keras karena keterbatasan fasilitas, pihak kampus tetap gencar mempromosikan diri seolah memiliki semua fasilitas penunjang yang dibutuhkan lengkap, modern, dan siap bahkan siap direkrut kerja.

Kampus unggulan memang tidak bisa dianggap remeh

Pada akhirnya, kampus unggulan memang tidak bisa diremehkan begitu saja. Meski tidak serta-merta menjamin kesuksesan, keberadaan fasilitas yang lengkap, dosen berpengalaman, dan ekosistem belajar mendukung membuat kampus semacam ini memiliki nilai lebih. 

Kampus unggulan memberi peluang lebih besar bagi mahasiswa untuk tumbuh dan berkembang, baik secara akademik maupun keterampilan praktis. Ketika dunia kerja menuntut kesiapan teknis dan mental, lulusan dari kampus yang sudah terbiasa dengan fasilitas memadai tentu punya langkah awal yang lebih mantap.

Oleh sebab itu, memilih kampus bukan perkara sepele. Layaknya memilih pasangan hidup, butuh pertimbangan soal “bibit, bebet, dan bobot”. Mulai dari reputasi institusi, kualitas pembelajaran, hingga kelengkapan alat praktik. Jangan mudah terbujuk oleh brosur kinclong atau slogan bombastis yang ujung-ujungnya cuma pencitraan. 

Kuliah di kampus yang fasilitasnya terbatas bukan cuma menyulitkan proses belajar, tapi juga bisa menguras waktu dan biaya tanpa hasil yang sepadan. Eman-eman jika setelah lulus yang tersisa hanya penyesalan karena merasa tidak memiliki cukup bekal untuk menghadapi dunia kerja yang penuh tantangan dan gebrakan ini.

Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Gagal Seleksi Masuk UGM Nggak Bikin Dunia Kalian Berakhir dan Hidup Kalian Akan Tetap Baik-baik Saja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version