Saya Benci PSI, tapi Saya Harus Akui Strategi Brandingnya Hebat

Saya Benci PSI, tapi Saya Harus Akui Strategi Brandingnya Hebat

Saya Benci PSI, tapi Saya Harus Akui Strategi Brandingnya Hebat (Pixabay.com)

Saya benci politik. Apalagi kalau bicara tentang partai politik, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat saya bersimpati. Mau itu partai politik pengusung ideologi agamis, nasionalis, ataupun sosialis, semua sama saja. Mereka sama-sama oportunis dan sama-sama cari muka dengan dalih untuk membangun Indonesia yang lebih baik lagi. Bahkan kalau boleh jujur, ada satu partai politik yang saya benci setengah mati sampai saat ini: Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Tolong ya, PSI jangan baper. Kebencian saya itu tentunya bukan tanpa alasan. Sejak berdiri pada 2014 yang lalu, partai yang berlogo kepalan tangan yang sedang memegang bunga mawar ini (nah, dari desain logonya saja sudah membuat saya benci) kerap membuat polemik di masyarakat. Bukannya unjuk prestasi dengan berbagai program yang visioner, partai politik yang baru lahir kemarin sore ini malah mengomentari ini-itu dan protes sana-sini. Coba, siapa yang tidak benci dengan ulah seperti itu?

Tapi setelah belajar Ilmu Komunikasi, khususnya tentang branding, barulah saya memahami bahwa apa yang dilakukan oleh PSI—baik sadar maupun tidak—adalah upaya untuk membangun brand. Tujuannya adalah supaya partai tersebut dikenal oleh masyarakat Indonesia secara masif. Tidak peduli dengan stigma negatif yang bakal muncul, yang penting viral saja dulu. Begitu.

Berbagai aksi yang membuatnya semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia

Saya tidak perlu menyebutkan satu per satu aksi PSI yang banyak menuai polemik di masyarakat. Kamu bisa mencarinya sendiri di internet. Tapi yang paling kontroversial menurut saya adalah ketika PSI menggelar event “Kebohongan Awards” pada 2019. Pada gelaran itu, PSI memberikan penghargaan dengan kategori “Kebohongan Paling Lebay”, “Kebohongan yang Hakiki”, dan “Kebohongan Terhalusinasi” kepada salah satu pasangan capres dan cawapres menjelang Pilpres 2019.

Apa-apaan?

Aksi semacam ini tentunya membuat PSI jadi bahan pembicaraan di media massa dan media sosial. Tanpa disadari, ini adalah bentuk branding terselubung untuk memperkenalkan partai ini kepada masyarakat luas. Apalagi ketika menolak Perda Syariah dan poligami di penghujung 2018, saya yakin sebagian besar umat Islam di Indonesia pasti menghujatnya. Tapi di sisi lain, semakin banyak orang yang menghujat, maka nama PSI semakin banyak dikenal orang.

Narasi kontroversial dalam setiap baliho PSI

Kamu pasti sering memperhatikan sampah visual (baca: baliho partai politik) yang banyak bertebaran di pinggir jalan. Di antara sekian banyak sampah visual tersebut, baliho milik PSI cukup berbeda dengan yang lain. Perbedaannya terletak pada pemilihan warna yang khas dan narasi yang dipilih. Ketika partai politik lain membuat baliho berwarna, PSI justru membuat baliho dengan konsep grayscale dengan tulisan warna merah dan putih. Sederhana tapi berbeda dengan yang lain. Untuk urusan ini, saya kasih bintang lima, deh.

Selain pemilihan warna, baliho milik PSI juga sering menggunakan narasi yang kontroversial dan memancing cibiran orang banyak. Sebut saja pilihan narasi “Tegak Lurus Bersama Pak Jokowi” yang menurut saya tidak relevan dengan konteks yang ada. Dalam bahasa Matematika, tegak lurus itu artinya saling berpotongan dan membentuk sudut siku-siku. Nah, tidak nyambung, kan?

Satu lagi narasi dalam baliho PSI yang menuai kontroversi adalah “PSI Menang, BPJS Gratis”. Entah apakah hal tersebut sudah dikaji atau belum, tapi ya narasi seperti ini cukup menyita perhatian masyarakat. Sebagian masyarakat mungkin berharap narasi itu bisa menjadi kenyataan, sebagian lagi justru menghujat karena hal itu seperti mimpi di siang bolong. Tapi ya, lagi-lagi nama PSI semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Semakin moncer ketika melibatkan tokoh-tokoh populer

Bergabungnya mantan vokalis grup band Nidji, Giring Ganesha, sebagai kader PSI membuat nama PSI semakin moncer. Kamu pasti tahu kalau grup band Nidji cukup fenomenal pada zamannya dan memiliki fanbase yang kuat. Makanya ketika Giring didapuk menjadi Ketua Umum PSI di tahun 2021, saya yakin simpatisan PSI juga bertambah banyak, khususnya dari para penggemar fanatik grup band Nidji tadi.

Di tahun 2023 ini, PSI kembali menjadi pusat perhatian ketika Kaesang Pangarep yang notabene putra bungsu Presiden Jokowi, bergabung dengan PSI. Eh, bukan cuma sekadar gabung sih, tapi juga didaulat menjadi Ketua Umum. Kalau begini ceritanya, PSI sudah menjadi partai politik yang terkenal di Indonesia. Siapa sih yang tidak kenal dengan partai yang dipimpin oleh anaknya presiden?

Jadi meskipun benci terhadap PSI, saya harus akui kehebatan mereka dalam menjalankan strategi branding. Saya berani bilang bahwa saat ini ketenaran PSI telah melampaui partai-partai politik lainnya yang telah berdiri sejak lama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), atau Partai Buruh. Satu-satunya partai politik yang bisa menyamai ketenaran partai tersebut adalah Partai Perindo. Ya bagaimana tidak tenar, wong lagu mars-nya diputar setiap hari di televisi, kok.

Penulis: Andri Saleh
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Dosa-Dosa PSI dan Alasan Kenapa Mereka Sama Sekali Tidak Menyuarakan Aspirasi Kaum Muda

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version