Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Probolinggo, Kota Kelahiran yang Tak Pernah Benar-Benar Jadi Rumah untuk Pemudanya

N.A. Tohirin oleh N.A. Tohirin
14 September 2025
A A
Paiton Probolinggo, Kecamatan Paling Menyedihkan di Jawa Timur (Unsplash)

Paiton Probolinggo, Kecamatan Paling Menyedihkan di Jawa Timur (Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Kalau kita bicara soal pemuda, hampir selalu muncul dua wajah: wajah penuh semangat, gairah, optimisme—dan wajah penuh cemas, waswas, bahkan gamang soal masa depan. Keduanya sering datang berbarengan, dan tak jarang bercampur dalam satu tubuh. Bayangkan wajah pemuda Kota Probolinggo: di satu sisi mereka punya energi yang berlimpah, tapi di sisi lain mereka juga terhimpit oleh realitas kota kecil yang kadang terasa terlalu sempit untuk mimpi-mimpi besar.

Kota Probolinggo, bagi banyak orang Jawa Timur, mungkin bukan nama pertama yang muncul ketika menyebut kota dengan geliat anak mudanya. Malang sudah punya citra kota pelajar sekaligus basis komunitas kreatif. Surabaya sudah kadung jadi pusat urban modern yang menggaungkan startup, festival musik, dan ekosistem digital. Bahkan Banyuwangi sudah bertransformasi dengan jargon “Sunrise of Java”-nya yang dielu-elukan ke mana-mana. Lalu Probolinggo?

Ya, Probolinggo tetap Probolinggo: kota pelabuhan yang sering hanya disebut sepintas lalu ketika orang bicara tentang Bromo, atau sekadar tempat transit kereta api sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur. Itu saja sudah cukup menjelaskan betapa kota ini punya kompleks cemas tersendiri di mata pemudanya: kota yang indah, punya potensi, tapi sering diabaikan.

Nongkrong, warkop, dan laptop sebagai ritual

Mari jujur. Kalau kita jalan-jalan sore di Probolinggo, terutama di sekitar jalan utama atau kawasan kampus, kita akan menemukan banyak pemuda nongkrong. Nongkrong di warung kopi dengan setia ditemani wifi, atau nongkrong di pinggir jalan dengan gitar akustik seadanya. Ada yang sibuk mengetik di laptop, entah sedang menulis tugas kuliah atau sedang coba bikin konten untuk YouTube dan Instagram. Ada yang berdiskusi penuh semangat, seolah-olah warung kopi itu ruang sidang PBB mini.

Di balik itu semua sebenarnya ada denyut kehidupan yang nyata. Pemuda Probolinggo punya energi. Mereka membentuk komunitas musik indie, bikin film pendek dengan kamera seadanya, menggelar acara literasi di pojok kota, sampai bikin usaha rintisan yang mencoba peruntungan lewat jualan online. Mereka mungkin kalah modal, kalah akses, tapi tidak kalah semangat.

Hanya saja, energi itu sering terhenti di tembok besar bernama “tidak ada ruang”. Kota ini memang mempercantik diri: taman kota dipenuhi lampu warna-warni, alun-alun dipercantik, mural-mural menghiasi tembok. Tapi bagi pemuda, fasilitas itu kadang hanya tampak seperti etalase yang indah, bukan ruang nyata untuk berkarya.

Kalau mau bikin gigs musik, misalnya, izin bisa ribetnya minta ampun. Kalau mau bikin pameran seni, akses gedung publik bisa susah. Dan, kalau mau bikin komunitas literasi, fasilitas minim. Pada akhirnya, banyak pemuda memilih jalan pintas: ya sudah, nongkrong lagi saja, sambil berharap keajaiban datang dari kopi saset.

Probolinggo bersolek, tapi pemuda jadi penonton

Belakangan, pemerintah kota memang tampak rajin bersolek. Probolinggo punya wajah baru: alun-alun yang instagramable, event-event festival tahunan, sampai jargon smart city yang selalu digembar-gemborkan. Dari luar, semua tampak menjanjikan.

Baca Juga:

Percuma Probolinggo Punya Wisata Pegunungan yang Indah tapi Akses Jalannya Rusak Parah

Paiton Probolinggo yang Menyedihkan: Ketika Kehidupan Si Kaya dan Si Miskin Sangat Kontras dan Memprihatinkan

Tapi pertanyaannya: untuk siapa semua ini? Pemuda justru sering merasa ditempatkan hanya sebagai penonton. Ketika ada festival besar, mereka dilibatkan sekadar jadi panitia teknis atau pengisi acara dadakan. Tapi ketika bicara soal perencanaan kota, soal bagaimana ekosistem kreatif dibangun, suara mereka jarang terdengar.

Ironis sekali. Pemerintah kota begitu sibuk “memoles wajah” untuk menyambut investor dan turis, tapi lupa memberi ruang hidup yang sehat bagi anak mudanya. Kota terasa lebih ramah pada tamu ketimbang pada warganya sendiri.

Tak heran, banyak pemuda merasa harapan mereka sering tak diindahkan. Mereka hanya disuguhi etalase: lihatlah, kota ini indah! Kota ini modern! Tapi di balik itu, kesempatan untuk tumbuh bersama kota masih minim.

Harapan yang sederhana

Padahal, kalau ditanya, harapan pemuda Probolinggo sederhana. Mereka ingin ruang berkarya yang benar-benar hidup. Ruang publik yang tidak hanya jadi tempat selfie, tapi juga jadi tempat tumbuhnya gagasan. Akses untuk usaha kecil yang tidak selalu dibenturkan dengan birokrasi. Kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih luas, supaya mereka tidak selalu merasa kota ini hanya tempat singgah sebelum merantau.

Mereka tidak ingin dipandang sebelah mata. Mereka ingin kota ini melihat mereka sebagai aset, bukan beban. Sebagai subjek pembangunan, bukan objek yang hanya dipakai ketika butuh.

Pemuda, Kota, dan Dilema Cinta Tak Dibalas

Tapi ya itu tadi: rasa cemas selalu ada. Banyak anak muda yang akhirnya memilih pergi. Mereka kuliah di Malang, Surabaya, atau luar Jawa, lalu tidak kembali. Bagi mereka, Probolinggo terlalu sempit untuk ambisi besar. Kota ini jadi rumah yang hangat tapi tidak bisa memberi nafkah mimpi.

Cemas yang paling terasa adalah: siapa yang akan menjaga denyut kota ini kalau semua pemuda potensial justru hengkang? Kota bisa bersolek secantik apa pun, tapi kalau anak mudanya tidak merasa betah, maka yang tersisa hanya bangunan tanpa jiwa.

Di titik inilah “cemas harap” jadi dilema khas pemuda Probolinggo. Mereka punya energi, tapi sering tidak punya panggung. Mereka punya mimpi, tapi jalannya terjal. Dan, mereka punya cinta pada kota, tapi cinta itu sering tak dibalas.

Banyak yang bertahan karena cinta. Mereka tetap menggelar acara musik meski audiensnya bisa dihitung dengan jari. Mereka tetap menulis puisi meski hanya dibaca segelintir orang. Pun, mereka tetap membangun komunitas meski tanpa dukungan dana. Itu semua dilakukan karena rasa sayang pada kota.

Tapi lama-lama cinta juga bisa lelah kalau tidak pernah diakui. Apalagi kalau cinta itu hanya dibalas dengan jargon, brosur pariwisata, atau baliho program pemerintah. Pemuda bisa patah hati, lalu memilih pergi.

Cemas harap yang tak pernah padam di Probolinggo

Namun, seperti kata pepatah lama, pemuda memang makhluk yang tidak pernah benar-benar putus asa. Mereka bisa cemas, tapi juga bisa menemukan harapan dari hal-hal kecil. Dari gigs musik di garasi rumah, dari kelas literasi di ruang tamu, dari komunitas kecil yang berkumpul di warkop. Dari hal-hal kecil itu, mereka menjaga bara agar tidak padam.

Barangkali, di sela rasa cemas itu, ada harapan yang diam-diam tumbuh: bahwa suatu hari kota ini akan berubah. Bahwa pemerintah kota akan benar-benar melihat mereka sebagai aset. Bahwa Probolinggo tidak lagi hanya jadi tempat transit, tapi jadi rumah yang ramah untuk mimpi.

Sampai hari itu datang, pemuda Probolinggo akan terus hidup dengan dilema cemas harap. Mereka cemas akan masa depan, tapi tetap berharap pada kemungkinan. Mereka cemas pada kota yang terasa sempit, tapi tetap berharap kota ini bisa memberi ruang. Dan, mereka cemas pada cinta yang tak terbalas, tapi tetap berharap suatu hari cinta itu akan diakui.

Dan barangkali, justru di titik itulah letak kekuatan pemuda: mereka bisa cemas sekaligus berharap dalam satu nafas.

Penulis: N.A. Tohirin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Probolinggo Itu Kota di Jawa Timur, dan Kami Bukan Orang Madura meski Pakai Logat Madura

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 14 September 2025 oleh

Tags: pemerintah probolinggopemuda di probolinggo\probolinggo
N.A. Tohirin

N.A. Tohirin

Penulis kemaren sore tapi yang tidak kesiangan.

ArtikelTerkait

madura

Drama Bahasa Jawa dan Madura di Keluarga Besar Saya

13 Agustus 2019
probolinggo jawa timur bromo malang mojok

Probolinggo Itu Kota di Jawa Timur, dan Kami Bukan Orang Madura meski Pakai Logat Madura

19 Januari 2021
Pilkada, Momen Favorit para Begal di Probolinggo Beraksi: Sebuah Irama Kriminal yang Selalu Berulang

Pilkada, Momen Favorit para Begal di Probolinggo Beraksi: Sebuah Irama Kriminal yang Selalu Berulang

25 November 2024
Tol Probowangi: Sesuai Kebutuhan, atau Ambisi Semata?

Tol Probowangi: Sesuai Kebutuhan, atau Ambisi Semata?

22 September 2022
Paiton Probolinggo Memang Aneh Desa Bukan, Kota Juga Bukan (Unsplash)

Paiton Probolinggo Memang Aneh: Desa Bukan, Kota Juga Bukan

24 Desember 2024
Duka Hidup di Dusun Jaran Goyang Probolinggo, Sudah Jalannya Bergoyang, Plus Dianggap Sarang Ilmu Pelet, Sulit!

Duka Hidup di Dusun Jaran Goyang Probolinggo, Sudah Jalannya Bergoyang, Plus Dianggap Sarang Ilmu Pelet, Sulit!

13 Juli 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UNU Purwokerto, Kampus Swasta yang Sudah Berdiri Lumayan Lama, tapi Masih Nggak Terkenal

UNU Purwokerto, Kampus Swasta yang Sudah Berdiri Lumayan Lama, tapi Masih Nggak Terkenal

15 Desember 2025
Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

16 Desember 2025
Bali, Surga Liburan yang Nggak Ideal bagi Sebagian Orang

Pengalaman Motoran Banyuwangi-Bali: Melatih Kesabaran dan Mental Melintasi Jalur yang Tiada Ujung  

19 Desember 2025
Yamaha Xeon: Si Paling Siap Tempur Lawan Honda Vario, eh Malah Tersingkir Sia-Sia Mojok.co

Yamaha Xeon: Si Paling Siap Tempur Lawan Honda Vario, eh Malah Tersingkir Sia-Sia

13 Desember 2025
Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025
Lumajang Bikin Sinting. Slow Living? Malah Tambah Pusing (Unsplash)

Lumajang Sangat Tidak Cocok Jadi Tempat Slow Living: Niat Ngilangin Pusing dapatnya Malah Sinting

19 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik
  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.