Sekira satu tahun yang lalu, pandemi membikin para pekerja kantoran juga banyak perusahaan kalang kabut. Kondisi dunia kerja berubah. Mesti adaptasi dalam banyak aspek: proses bekerja, meeting rutin, komunikasi dengan rekan kerja satu dengan yang lain, hanya menjadi sebagian di antaranya. Klimaksnya adalah PHK bagi karyawan yang, boleh dibilang, mungkin tidak diinginkan sama sekali oleh perusahaan itu sendiri. Namun, karena kondisi finansial harus tetap seimbang dan bisnis harus tetap berproses, mau tidak mau, suka atau tidak, para pekerja menjadi kena imbasnya.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, pandemi masih menghantui siapa pun, di mana pun lokasinya. Tak terkecuali para pekerja, tentunya. Bahkan, selama 2020, banyak pekerja dipaksa bekerja dari rumah masing-masing. Hanya pekerja di bidang tertentu yang dipaksa bertahan untuk bekerja langsung di tempat atau lapangan sebagaimana biasanya.
Lantas, setelah setahun lebih pandemi menghantam segala aspek di ruang lingkup pekerjaan, bagaimana situasi dan kondisi dunia kerja setelahnya—khususnya dari sisi perekrutan? Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa PHK terjadi di mana-mana.
Berkaitan dengan hal tersebut, apakah saat ini dan dalam beberapa waktu ke depan akan ada perekrutan secara besar-besaran dari beberapa perusahaan, dan kondisi dunia kerja kembali seperti dulu kala?
Realitasnya, proses perekrutan berjalan sebagaimana biasanya. Tidak nihil, tidak juga secara besar-besaran. Biasa-biasa aja gitu. Sulit dimungkiri hal ini bisa terjadi karena menyesuaikan kebutuhan perusahaan.
FYI, perhitungan kebutuhan karyawan terkini tidak selalu sama dengan total karyawan yang di-PHK sebelumnya. Misalnya, jika sebelumnya karyawan yang di-PHK ada sepuluh orang, secara perlahan di waktu mendatang kebutuhannya bisa tidak lagi sama. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor. Dua yang patut di-highlight adalah, pertama, pertimbangan efisiensi biaya. Kedua, setelah melalui evaluasi, pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan sepuluh orang, ternyata masih bisa dihandle oleh 5-7 orang, misalnya.
Khusus di tengah pandemi seperti sekarang ini, rasa-rasanya wajar jika sebagian perusahaan menerapkan kalkulasi tersebut agar roda bisnis terus berputar. Proses perekrutan tidak dilakukan secara besar-besaran dan harus melalui perhitungan yang sangat matang agar tidak surplus.
Sedangkan di ruang lingkup pekerjaan secara formal, sangat besar kemungkinan para karyawan akan dihadapkan dengan situasi yang, meski tidak asing, namun harus tetap beradaptasi dengan hal tersebut karena durasi dan intensitas yang berbeda. Semuanya serba online: meeting, proses end to end dengan para kandidat, sampai dengan proses kerjanya.
Terkait proses seleksi karyawan secara online, saya–mungkin juga banyak HRD di luar sana–pun merasakan bagaimana dan apa saja kendala yang dihadapi. Koneksi internet, situasi dan suasana yang kadang kala tidak kondusif, dan lain sebagainya.
Soal lokasi kerja, boleh jadi tuntutan karyawan untuk bekerja di rumah—atau setidaknya dengan sistem shifting/secara bergantian siapa yang stand by di kantor—akan terus dilakukan dalam waktu mendatang. Nggak semua-muanya, memang. Namun, siapa tahu jika dirasa efektif, efisien, dan bisnis tetap berjalan dengan baik, secara perlahan dan bertahap, para karyawan akan bekerja dari rumah masing-masing. Semua pekerjaan diproses secara remote.
Sampai pada akhirnya, keberadaan kantor dirasa lebih fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan. Kalaupun perlu, tidak menutup kemungkinan kapasitas kantor akan lebih memerhatikan seberapa banyak komposisi karyawan yang aktif di kantor. Sehingga akan efisien dari segi penggunaan listrik, kertas (karena semuanya serba online dan digital), dan komponen lainnya.
Namun dalam prosesnya, bekerja serba online—apalagi di rumah dalam waktu yang lama—disadari atau tidak, punya efek laten yang sangat menyebalkan: karyawan rentan jenuh dan kecenderungan burnout akan meningkat. Ujung-ujungnya akan bersinggungan dengan kesehatan mental. Lantaran jam kerja yang bukan hanya fleksibel, tapi juga bisa jadi lebih panjang.
Selain itu, meeting online bisa dilakukan kapan pun secara serampangan dan serasa nggak ada habisnya. Saat menemui kendala ada kalanya tidak bisa langsung melakukan problem solving karena harus melalui proses diskusi yang tidak mudah. Intensitas interaksi dengan rekan kerja yang dirasa berkurang dari sebelumnya, dan seterusnya. Semua saling berkaitan satu sama lain.
Harus diakui bahwa, bagi perusahaan dan karyawan, proses adaptasi secara menyeluruh dalam menghadapi pandemi memang sangat berat. Apalagi daya adaptasi setiap orang berbeda-beda. Belum lagi tuntutan pekerjaan yang sering kali bikin mumet. Maka, sudah sewajarnya kesehatan dan ketahanan mental pun tetap harus dijaga dengan baik. Dalam hal ini, tidak bisa tidak, kolaborasi antara karyawan dan perusahaan sangat diperlukan agar dapat mencapai tujuan bersama. Kondisi dunia kerja yang seperti sekarang, mau tak mau, bikin kita harus gesit dalam mencari solusi.
BACA JUGA Psikotes Nggak Perlu Dimanipulasi, Recruiter Paham Mana yang Alami dan Nggak dan artikel Seto Wicaksono lainnya.