Sebagai seseorang yang sejak lahir menetap di Makassar, harus saya akui bahwa Makassar memang sudah mengalami banyak perubahan. Salah satunya dalam hal kondisi jalan raya. Sebagai kota besar, yang namanya kemacetan tentu tidak terhindarkan. Bahkan meski sejak tahun 2009 sudah ada flyover, nyatanya kemacetan tetap jadi teman akrab warga Kota Makassar.
Perihal masalah kemacetan ini, tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu penyebabnya adalah jumlah kendaraan bermotor yang makin meningkat. Namun, di sisi lain, pertimbangan warga yang lebih memilih naik kendaraan pribadi, tentu saja karena Makassar belum punya alternatif transportasi publik yang memadai.
Pada 2016 yang lalu, Wali Kota Makassar sempat meluncurkan angkotan kota versi modern yang kemudian disebut Pete-Pete Smart. Dalam bahasa Makassar, pete-pete berarti angkutan kota (angkot). Konon, armada ini dilengkapi dengan Wi-Fi, televisi, dan penyejuk udara. Setiap armada, memuat 17 penumpang. Saya sebut konon karena saya pun belum pernah membuktikan kebenarannya.
Pak Wali Kota juga mengembar-gemborkan bahwa selain berteknologi canggih, Pete-Pete Smart juga aman, nyaman, dan tentu saja murah. Hanya dengan 10.000 rupiah/tiket, sudah bisa digunakan untuk satu hari dan semua jalur.
Daftar Isi
Sayangnya, sampai saat saya menulis artikel ini, kehadiran Pete-Pete Smart tidak ubahnya kendaraan imajinasi belaka. Launching dan promosinya oke, tetapi hasilnya nihil. Dari yang tadinya haltenya masih oke, sampai akhirnya menjadi seonggok kenang-kenangan, Pete-Pete Smart tidak kunjung hadir untuk mengurai masalah transportasi publik di Kota Makassar.
Gagal dengan program Pete-Pete Smart, Pak Wali kembali mencanangkan transportasi lain yang diberi nama Co’mo (Commuter Metromoda). Dalam bahasa Makassar, co’mo berarti gemuk atau gendut. Lagi-lagi, konon katanya armada yang merupakan pengganti Pete-Pete Smart ini akan dijadikan sarana transportasi yang menghubungkan 5.000 lorong wisata dengan hotel-hotel yang ada di Makassar.
Sayangnya, lagi-lagi warga Kota Makassar masih harus bersabar. Sebab, sampai sekarang, kehadiran si co’mo masih antara ada dan tiada. Kalau Pete-Pete Smart kemungkinan menjadi proyek yang terlalu smart bagi jalanan Kota Makassar, co’mo pun sepertinya masih terlalu co’mo untuk berbaur dengan kondisi jalanan Kota Makassar yang begitu akrab dengan kemacetan.
Bagaimana dengan Trans Mamminasata? Si merah yang nyaman, murah, dan lebih nyata kehadirannya. Harus saya akui, awal kemunculan Trans Mamminasata yang dikelola oleh Dishub Sulsel ini, dampak positifnya sangat terasa. Dishub Sulsel sempat mencatat bahwa belum sebulan beroperasi pada tahun 2021 yang lalu, setidaknya sudah ada 35.163 orang yang merasakan kenyamanan naik Trans Mamminasata.
Sayangnya, makin ke sini jumlahnya tidak kunjung naik. Bahkan terbilang sepi. Kok bisa? Padahal busnya sudah nyaman dan biayanya murah. Wah, berarti warga Kota Makassar, nih, yang malas naik bus, lebih suka naik kendaraan pribadi!
Bukan warganya malas, tapi transportasi umumnya memang nggak efektif
Hmmm, biar saya coba jelaskan berdasarkan status saya sebagai warga Kota Makassar. Begini loh. Dalam banyak hal, kenyamanan adalah hal yang paling diutamakan. Cari pasangan kan juga gitu tih? Maunya yang bisa bikin nyaman. Benar bahwa armada bus Trans Mamminasata itu sudah sangat nyaman sebagai transportasi publik.
Masalahnya, kenyamanan yang dibutuhkan kan bukan cuma terkait armadanya. Ya haltenya, rutenya, ini juga jadi pertimbangan penting. Sayangnya, dua hal itu luput dimiliki oleh Trans Mamminasata.
Perihal rute yang disebut “rute mati”, hal ini memang dampak dari demo para supir angkot yang merasa jalur mereka diserobot. Alhasil, Trans Mamminasata cuma dapat rute ampas. Nah, karena tidak menjangkau seluruh sudut Kota Makassar, tidak heran kalau warga jadi pikir-pikir dulu untuk naik Trans Mamminasata. Sama juga dengan haltenya yang masih sangat terbatas.
Belum lagi urusan jalur, di Makassar belum ada jalur khusus Trans Mamminasata. Jadinya ya bus ini harus berbaur dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Namanya kendaran yang ukurannya besar, tentu nggak bisa sat-set. Makan waktu di jalan. Masalah ini pun lagi-lagi bikin warga jadi berpikir ulang.
Sebagai warga Kota Makassar, memilih naik Trans Mamminasata bagi saya terbilang belum efisien sebagai transportasi harian. Sudahlah berat di waktu, akses, berat di ongkos pula. Untuk bisa menjangkau halte terdekat, saya harus naik ojek online terlebih dulu. Itu pun tempat yang ingin saya datangi belum tentu masuk dalam rute yang disediakan oleh Trans Mamminasata. Kalau sudah begitu, artinya saya harus naik ojek online lagi dong.
PR untuk Wali Kota dan Pemprov
Nah, masalah kemudahan akses halte dan rute inilah yang jadi PR besar Pemkot Makassar maupun Pemprov Sulsel kalau memang mau mengakrabkan warga dengan transportasi publik. Untuk Pak Wali Kota, dibanding bikin gerakan “Ojol Day” yang menginstruksikan ASN untuk naik ojek online tiap Selasa, kenapa nggak coba bikin gerakan “Bus Day”, “Trans Mamminasata Day”, atau apa pun lah itu nama programnya, terserah Bapak. Toh, bikin program dengan nama yang spektakuler, cetar membahana, dan memantik diskusi publik adalah keahlian Bapak.
Sementara untuk Pak Gub (PLT), yuk lebih dikencangkan lagi sosialiasi dan promosinya terkait Trans Mamminasata, Pak. Dibenahi lagi apa yang masih jadi kendala. Sebab, selama warga merasa naik Trans Mamminasata belum efisien alias belum memudahkan dalam banyak aspek, selama itu pula naik Trans Mamminasata tidak masuk prioritas pilihan sarana tranportasi.
Penulis: Utamy Ningsih
Editor: Rizky Prasetya