Cita-cita Membahagiakan Orang Tua Harus Tertunda karena Kewajiban Ikut PPG Prajabatan: Tips dari Peserta yang Berharap Segera Lulus

PPG Prajabatan Bikin Saya Menunda Cita-cita Bahagiakan Ortu (Unsplash)

PPG Prajabatan Bikin Saya Menunda Cita-cita Bahagiakan Ortu (Unsplash)

Oktober 2024 menjadi momen haru bagi saya. Keduanya orang tua, yang mendambakan saya mendapatkan karier baik, juga terharu. Setelah 4 tahun, saya akhirnya lulus dari kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Sial, momen ini tidak bertahan lama gara-gara PPG Prajabatan.

PPG adalah kependekan dari Program Profesi Pendidikan. Ini menjadi pijakan satu lagi tangga untuk menjawab dambaan orang tua. 

Maksudnya begini. Lulusan pendidikan seperti saya berbeda dengan jurusan pada umumnya. Kalau mereka bisa langsung melamar pekerjaan sesuai kualifikasi jurusan, saya harus melewati 1 lagi proses tambahan. Inilah dia, PPG Prajabatan.

Konon katanya, pemerintah mencanangkan PPG Prajabatan sebagai salah satu jalan keluar permasalah guru yang ada di Indonesia. Melansir website PPG kemendikbud​, PPG Prajabatan merupakan upaya strategis untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru serta menjadi syarat legal untuk menjalankan profesi ini.

Sebelum mendaftar PPG Prajabatan, sebetulnya saya sudah mengabdi di beberapa sekolah. Salah satunya sekolah swasta yang cukup “elite”. 

Jujur saja, gaji saya saat itu sudah 3 kali lipat jika membandingkan dengan gaji guru honorer di beberapa sekolah. Tapi sayang, meski 3 kali lipat, gaji saya masih di bawah UMR HAHAHA. Makanya, demi mencari secercah harapan, setelah melewati beberapa dilema, akhirnya saya mengadu nasib dengan mendaftar PPG Prajabatan.

Saat membuat tulisan ini, saya sudah berada di penghujung semester. Berbekal pengalaman yang ada, berikut beberapa pertimbangan saat kamu hendak mendaftar PPG Prajabatan.

#1 Kalau mau mendaftar PPG Prajabatan, kamu harus punya tabungan atau sampingan yang memadai

Masa studi PPG Prajabatan itu 1 tahun untuk 2 semester. Beasiswa yang diberikan biasanya hanya mencakup biaya pendidikannya saja. Uang untuk kos-kosan, transportasi, dan biaya hidup lainnya menjadi tanggungan pribadi.

Nah, di usia yang “cukup dilematis” ini, tidak bisa saya mungkiri, ada rasa “sungkan” untuk meminta tambahan biaya kepada orang tua. Terlebih apabila orang tua sedang ada pada kondisi sulit. 

Salah satu jalan keluarnya ialah memerlukan tabungan yang mencukupi. Siapkan jauh-jauh hari supaya kamu aman. Selain itu, sebaiknya kamu punya pekerjaan sampingan yang fleksibel mengingat program ini cukup padat kegiatannya.

#2 Mempertimbangkan jaminan setelah program

Menjadi guru serta tinggal di Indonesia itu seperti berada dalam situasi “difficult mode: hard”. Ini adalah kenyataan yang menggambarkan betapa kompleks dan menantangnya profesi ini di tengah berbagai perubahan kebijakan pendidikan.

Maka dari itu, sebelum mendaftar PPG Prajabatan, hendaknya kamu sudah tahu hal ini. Bahwa belum ada jaminan penempatan atau formasi PPPK setelah lulus. Masih terdapat serangkaian tes lainnya yang perlu kamu jalani. 

Selain itu, pemerintah masih kerap mengubah skema rekrutmen PPPK. Mulai dari mekanisme seleksi, syarat administrasi, hingga jumlah formasi. Kuncinya? Sebaiknya kamu punya skenario cadangan.

#3 Menyiapkan diri untuk jauh dari rumah

Bagi sebagian besar lulusan pendidikan, salah satu harapan terbesar setelah mengikuti PPG Prajabatan adalah bisa mengajar di kota besar. Tapi, kenyataannya, tidak semudah itu. 

Penempatan PPG di Indonesia umumnya berdasarkan pada kebutuhan guru di setiap daerah. Artinya, kota-kota besar biasanya sudah cukup terisi oleh guru-guru yang memenuhi kuota.

Bagi yang berharap mendapatkan penempatan di kota-kota besar, ini bisa jadi mimpi yang sulit terwujud. Seringnya, penempatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah yang kekurangan tenaga pengajar. Jadi, pada akhirnya, harus siap menerima kenyataan bahwa penempatan PPG Prajabatan bisa jauh dari tempat yang diekspektasikan.

Memang, perkara guru tidak ada habisnya. Permasalahan kerap berkutat pada kesejahteraan, beban tugas, dan bahkan terhadap profesionalisme guru. Di tengah semua itu, PPG hadir sebagai semacam “gerbang formal” untuk menyandang status profesional. 

Tapi gerbang ini datang bersama serangkaian tantangan yang bisa bikin kita berpikir ulang. Masih mau lanjut atau balik kanan? Semoga, tulisan ini menjadi semacam peta kecil dari seseorang yang sedang lewat melewati jalan ini.

Penulis: Rifai Gunadi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Alih-alih Mengharuskan PPG, Bukankah Lebih Baik Meningkatkan Kualitas Mahasiswa yang Jadi Calon Guru Sejak Mereka Kuliah S1?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version