Berita penangkapan oleh aparat kepolisian memang tidak ada habisnya. Setiap hari selalu saja ada kabar penangkapan seseorang atau sekelompok orang terkait kasus tertentu. Sebenarnya, makin cepat polisi mengusut kasus, makin bagus.
Meski begitu, kita tidak serta merta bisa sembarangan dalam prosesnya. Meskipun bukti-bukti udah kuat, penangkapan bahkan penetapan tersangka oleh aparat kepolisian tetap aja nggak bisa asal-asalan jo. Kenapa begitu? Karena pada intinya hukum acara pidana di Indonesia itu menganut due process of law/due process model.
Apakah itu?
Pada intinya due process of law/due process model megang banget prinsip HAM di setiap proses penyelesaian kasus pidana. Salah satu dampak hukumnya yang paling jelas adalah setiap orang yang kena kasus pidana harus tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan dari Pak Hakim yang menyatakan beliau bersalah. Atau bahasa hukumnya asas praduga tak bersalah.
Tapi masih saja banyak ditemui proses hukum yang mencederai prinsip due process of law tadi. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir banyak kasus yang bermunculan dari kasus penyiksaan tersangka, hingga kasus salah tangkap. Yang paling bikin geleng-geleng adalah salah satu kasusnya itu menimpa korban anak.
Mari kita cek beberapa kasusnya. September tahun lalu, Luthfi Alfiandi ditangkap saat demo besar-besaran di DPR. Luthfi mengaku kalo sempat disiksa saat penyidikan. Kasus lainnya, ada kasus 6 orang pengamen ditangkap terus disiksa dan dipaksa mengaku jadi tersangka. Lucunya, putusan kasasi di Mahkamah Agung menyatakan 6 orang pengamen ini tidak bersalah. DAANNN mereka ini usut punya usut korban salah tangkap, jengjengjeng~
Juli lalu, Sarpan disiksa dan dipaksa mengaku untuk menjadi pelaku dalam kasus pembunuhan Dodi Somanto. Bukan hanya itu, muncul kembali kasus penyiksaan dalam pengusutan kasus oleh polisi. Kejadian naas ini menimpa Pak Hendri yang diringkus polisi.
Pak Hendri beberapa kali bolak-balik ke kantor kepolisian. Tetapi yang terakhir Pak Hendri kembali dengan keadaan yang berbeda. Usut punya usut, Pak Hendri diduga disiksa hingga meninggal pas lagi digali keterangannya. Kok bisa muncul asumsi seperti ini? Katanya Pak Hendri meninggal karena asma oleh pihak kepolisian. Tapi ditemukan luka lebam di beberapa bagian tubuh. Hal inilah yang membuat anggota keluarga Pak Hendri ingin mengusut tuntas kasus menginggalnya Pak Hendri. Semoga saja bisa segera tuntas.
Terakhir, baru terjadi kemarin-kemarin ini. Ada kasus salah tangkap terhadap seorang anak. Tapi, pulang-pulang ke rumah anak itu menderita luka lebam. Iya kamu nggak salah baca, kali ini korbannya seorang anak usia 13 tahun.
Beberapa kasus tadi masih menjadi bukti bahwa masih banyak praktik di lapangan yang sembrono. Bahkan, kalau melihat data dari KONTRAS sepanjang Juni 2019-Mei 2020 setidaknya terdapat 62 kasus penyiksaan. Untuk rinciannya, pelaku paling dominan ialah polisi 48 kasus, TNI 9 kasus, dan sipir 5 kasus. Paling mencengangkannya, korbannya ada sebanyak 220 orang dengan rincian 199 korban luka-luka dan 21 korban tewas. Cek aja di website KONTRAS kalau ngga percaya!
Praktik penyiksaan ini merupakan beberapa bentuk warisan perbuatan dari sistem hukum acara pidana crime control model. Sistem yang sudah lama ditinggalkan, tapi warisannya masih saja dipakai hingga zaman sekarang.
Sistem crime control model singkatnya hanya mementingkan keefektifan dan keefisienan penyelesaian kasus pidana. Tidak mementingkan HAM siapa pun bahkan orang yang masih diduga pelaku. Asas hukum yang dipakai ya asas praduga bersalah. Artinya ente ditangkap sama polisi ente udah fix salah jo. Beberapa kasus tadi bisa jadi salah satu bentuk warisannya. Kok bisa gitu?
Kenapa orang baru ditangkap jadi tersangka kok pas menggali keterangannya harus pake kekerasan? Nggak usah jauh-jauh tersangka, orang yang masih jadi saksi aja tadi masih ditemukan pake kekerasan. Padahal sudah jelas-jelas sekarang kita ini pakenya asas praduga tak bersalah.
Belum lagi kasus terakhir yang korbannya anak. UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak menghendaki penyidik harus punya kualifikasi tertentu.
Pasti dibenak masyarakat akan bertanya-tanya yakan, kenapa bisa sampai lebam? Katanya si “nggak sengaja” kena mata pas lagi ngamananin. Tapi kayaknya kalo nggak sengaja, harusnya tidak menimbulkan lebam. Apa emang sekarang lagi nge-tren segala sesuatu proses hukum pake dalih “nggak sengaja” kayak terdakwa di kasusnya Novel Baswedan?
Sudah sepatutnya oknum polisi yang melakukan hal-hal kaya tadi ditindak tegas. Harusnya oknum ini bisa di pidana kena Pasal 422 KUHP. Bahkan untuk polisi ini udah ada peraturan dari Pak Kapolrinya langsung. Cek saja Pasal 10 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Tidak ada pembenaran sedikit pun melakukan penyiksaan dalam memproses hukum seseorang.
Lucunya lagi lagi, hingga saat ini belum ada oknum dari kasus-kasus di atas yang dipidana. Bahkan ditangkap untuk diproses penyelidikan atau penyidikan saja masih nihil. Nol besar. Paling mentok oknum tadi cuma dikasih hukuman disiplin kaya pencopotan jabatan atau pemindahan tugas. Gitu-gitu aja hukumannya.
Padahal perbuatan yang dilakukan sampai membuat korban menderita sampai-sampai ada yang hilang nyawa. Bisa ya kaya gitu. Kenapa sampai saat ini ngga pernah ada yang dipidana? Saya juga penasaran. Cuma institusi baju coklat yang punya jawabannya. Yang jelas, sudah pasti menimbulkan banyak tanda tanya besar sampai sekarang.
BACA JUGA Kuliah Capek-Capek Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga, Lha Emang Kenapa? dan tulisan Dimas Purna Adi Siswa lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.