Polisi tidur atau dalam bahasa Inggris disebut speed bump menjadi benda yang sering kita temui di jalan. Terutama jalan kampung atau di jalan komplek perumahan. Kehadiran polisi tidur di jalan-jalan tadi berfungsi sebagai alat untuk mengurangi kecepatan pengendara ketika kendaraan mereka telah memasuki kawasan permukiman penduduk.
Setidaknya dengan polisi tidur membuat penduduk sekitar merasa aman. Nggak ada pengendara yang nekat ngebut di jalan kampung, apalagi jalan kampung sering dijadikan sebagai alternatif tempat bermain anak-anak karena fasilitas ruang terbuka hijau seperti taman bisa dibilang langka di Indonesia.
Fungsinya penting, dan saya rasa sah-sah saja bila ada penduduk setempat yang ingin membuat speed bump versi mereka sendiri. Tapi ada satu hal yang bikin saya dan pengendara lainnya merasa risih dengan polisi tidur alakadarnya ini, apalagi kalau bukan tentang desainnya. Tolong dong, kalau bikin mbok ya jangan dibuat terlalu tebel sampai hampir lancip gundukan polisi tidurnya. Saya sering nemu polisi tidur kayak gitu dan rasanya kayak ngelindas “polisi” beneran.
Lagian buat apa sih dibikin tebel banget, apa nggak eman-eman sama shock breaker? Syukur-syukur habis lewat shock breakernya aman-aman aja, lha kalau sampai shock breakernya rusak gimana? Keluar duit deh buat beli shock breaker baru, mengsedih deh jadinya.
Apa juga nggak kasihan sama tukang sate, tukang bakso, tukang mi ayam, tukang siomay, dan tukang-tukang lainnya yang jualan pakai gerobak. Udah berat dorong gerobak udah gitu ketemu gundukan setinggi utang negara. Apa nggak kasihan?
Sama kalau buat polisi tidur tolong deh dikasih warna. Jangan warnanya polos atau malah nyatu sama aspal. Kalau buat akamsi sih enak, kan udah hafal sama jalannya. Mulai dari lubang jalan sampai posisi polisi tidurnya. Lha kalau bukan akamsi?
Untung kalau bawa motornya nyantai, kalau ngebut? Ya, wasalam deh. Kalau buatnya ngasal gini yang ada malah jadi penyebab kecelakaan baru dan bikin jengkel pengendara.
Kalau mau buat sendiri ya silakan, meski sebenarnya warga tidak punya wewenang. Tapi, andaikan nekat, mbok ya ikuti aturan main. Untuk membuat polisi tidur ini udah diatur di Permenhub Nomor 14 Tahun 2021 Pasal 3. Buat ukurannya udah ditetapkan di ayat 3 huruf b, mulai dari tinggi antara 5-9 sentimeter, lebar total antara 35 sampai 39 sentimeter dengan kelandaian maksimal 50 persen. Jadi soal ukuran jangan ngasal. Jangan pakai feeling buatnya.
Ya kalau merasa kesulitan buat ngitungnya, dikira-kira aja, jangan sampai ketinggian, kelandaian, atau malah ketinggian sama kelandaian sekaligus. Kombinasi warna juga diatur pada ayat 3 huruf c. Warnanya kombinasi kuning, putih, dan hitam dengan ukuran 25 sampai 50 sentimeter biar pengendara bisa langsung sadar ada polisi tidur di depan mata mereka. Jangan malah polos atau paling parah warnanya nyatu sama aspal. Soal bahan kalau bisa jangan yang terlalu keras, pakai yang lunak kayak karet bekas ban misalnya.
Kalau mau ikut aturan main kan enak, jadi benar-benar terasa fungsinya. Jalan kampung tetap aman, nggak ada pengendara yang berani kebut-kebutan di jalan. Buat pengendara juga merasa nyaman dan nggak perlu khawatir shock breakernya remuk gegara ngelindas polisi tidur yang dibuat asal-asalan. Win-win solution kan jadinya. Lagian aturan dibuat untuk dilanggar ditaati dan untuk menciptakan rasa takut aman dan nyaman untuk semua orang bukan?
Pihak yang berwenang sebenarnya bisa sih bikin sidak dan memberi arahan. Wong ya masih banyak yang nggak tau tentang undang-undangnya. Tapi, kalau mau sih. Kalau nggak mau, ya nggak tau, kok nanya saya~
Penulis: Maulana Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya