Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Polisi Marah, Satpam Ramah, dan Harapan-harapan Lainnya

Suwatno oleh Suwatno
22 Oktober 2021
A A
Polisi Virtual, Pisau Mata Ganda bagi Pemerintah terminal mojok.co

Polisi Virtual, Pisau Mata Ganda bagi Pemerintah terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Bahwa polisi dan satpam itu mempunyai tugas yang sama sebagai jagabaya, itu memang benar. Tapi, keduanya jelas sangat berbeda.

Malam itu hanya dua kepala yang bercokol di teras warung Yu Marmi. Solikin menahan Cak Narto yang hendak pulang karena mendung tiba-tiba terlihat menggantung. Ada bahan diskusi lagi, kata Solikin meyakinkan.

Solikin, sarjana yang kini menganggur itu, memperlihatkan sebuah berita di gawainya tentang teror yang diterima seorang warganet akibat mempertanyakan apakah keberadaan polisi bisa diganti oleh satpam BCA. Ia memindahkan layar ke sumber berita, sebuah utas cuitan di Twitter.

“Aneh-aneh aja, Kin.” ujar Cak Narto sambil kembali duduk.

“Lho kok aneh sih, Cak. Teror ini. Represi!!!” Cocor solikin.

“Lho ya sebab perbandingannya tidak imbang, Kin. Itu seperti membandingkan pelayanan Yu Marmi dengan kasir swalayan di seberang pasar desa itu.” Ujar Cak Narto lirih.

“Tapi, kan sama-sama melayani to, Cak. Pada prinsipnya kan sama saja. Dan yang diharapkan masyarakat juga nggak muluk-muluk: standar keramahan dalam pelayanan. Dan harapan itu dikomparasi dengan keramahan bank swasta yang satpamnya terkenal ramah luar biasa itu. Aku pikir itu hal yang wajar saja, Cak. Apanya yang aneh, coba?”

Diiringi kesal, gawai Solikin kembali dikunci dan dilemparkan begitu saja ke permukaan amben.

Baca Juga:

Ujian SIM Perlu Direvisi, Harusnya Lebih Fokus pada Etika dan Pengambilan Keputusan di Jalan

Pertigaan Lampu Merah Kletek Sidoarjo, Pertigaan Angker bagi Pengendara yang Tak Taat Peraturan Lalu Lintas

“Begini lho, Kin. Bahwa polisi dan satpam itu mempunyai tugas yang sama sebagai jagabaya, itu memang benar. Tapi, keduanya jelas sangat berbeda. Dan dari perbedaan itu, menurutku, harapan akan standar keramahan itulah yang aku maksud aneh. Semacam nggak pas, gitu.”

Solikin menarik dagu dan menaikkan kedua alis, seolah tak mengerti kalimat Cak Narto.

“Dari segi uraian tugasnya saja sudah jauh berbeda. Polisi sudah jelas punya tanggung jawab yang jauh lebih besar ketimbang seorang satpam. Seorang polisi ditugasi untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman bagi masyarakat. Sedangkan seorang satpam, tanpa bermaksud merendahkan lho yaaa, hanya bertugas menjaga keamanan wilayah perusahaannya saja. Perbedaan itu tentu akan bikin reaksi keramahan yang berbeda to, Kin?” Cak Narto mulai menggocek argumen.

“Lho bedanya di mana, Cak? Wong jelas-jelas sama-sama menjaga keamanan dan melayani gitu, kok. Paling banter, bedanya ada di objek dan wilayah kerjanya saja, Cak. Polisi di masyarakat luas, kalau satpam di lingkungan bank saja. Iya to?” Solikin mencoba merebut dominasi lapangan perdebatan.

“Lho, kamu pikir perbedaan objek dan wilayah kerja seperti itu tidak bisa menimbulkan output keramahan yang berbeda, Kin?” Bola argumen Cak Narto kembali ditimang.

“Sekarang misalnya gini,” Cak Narto mengambil ancang-ancang. Setelah ini ia pasti akan menedangkan argumen dengan retorika dan analogi, “Kamu seorang gembala kambing. Katakanlah kambingmu ada 300 ekor dan semuanya dilepas di sabana yang luasnya satu hektar gitu. Tentu tingkat stressmu sebagai seorang gembala akan lebih besar jika dibandingkan dengan tugas sebagai penjaga 300 ekor kambing yang cuma keluar-masuk kandang, to? Ini cuma misal lho, ya. Jangan dibawa ke mana-mana!”

“Itu belum mengukur betapa acaknya karakter kambing-kambing gembalaanmu, Kin. Ada yang kambing yang suka makan rumput beracun, misalnya. Atau ada kambing yang saling adu kepala, misalnya. Dan seterusnya, dan sebagainya. Apa ndak tambah stres kamu? Sedangkan Pak satpam bank itu kan jelas, ibaratnya dia hanya melayani kebutuhan kambing yang keluar-masuk kandang untuk ambil jatah makanan minuman. Perbedaan semacam itu kan jelas menimbulkan bentuk keramahan yang berbeda to, Kin?”

“Manusia kok disamakan kaya kambing, Cak. Itu jelas ra mashok.” Solikin mentekel serangan, “Lagian, Cak, semakin ke sini yang kelihatan di masyarakat malah lebih banyak kesewenang-wenangannya dibanding pelayanan mereka, polisi-polisi itu, Cak. Sampean udah nonton kan video yang kemarin viral? Yang oknum polantas mukuli pengendara motor itu? Terus yang mahasiswa dibanting sampai masuk rumah sakit itu, Cak?”

“Nah itu maksudku, Kin. Itulah kenapa membandingkan keramahan satpam dan polisi itu sesuatu yang tidak pas.” Bola argumen kembali di-juggling oleh Cak Narto.

“Kita ngomongin polantas ini, ya. Seorang polisi yang bertugas menjaga lalu lintas dalam satu sif, misalnya 12 jam, itu dia akan ketemu ratusan pengendara dan pengguna jalan. Dan dari jumlah itu, potensi pengendara yang melanggar lalu lintas itu bisa puluhan, dengan jenis pelanggaran yang pasti macem-macem, to? Belum lagi reaksi para pelanggar itu yang bisa macam-macam: ada yang kabur, ada yang balik melawan, ada yang tidak terima, ada yang menghina dan sebagainya…”

“…tentu saja dinamika jalanan seperti itu tidak dihadapi oleh seorang satpam, yang bertugas di ruangan dingin ber-AC dan jam tugas yang tidak sepanjang para polisi itu. Juga tingkat keberagaman orang yang dilayani. Maka tingkat stres-nya pasti beda dong, Kin. Ya, nggak?” Tendangan keras coba dilontarkan Cak Narto.

“Kok Sampean terdengar membela dan membenarkan tindakan kekerasan polisi sih, Cak?” Solikin kembali menekel.

“Lho lho lho, sebentar to! Apa pun alasannya, aku ndak pernah setuju dengan jalan kekerasan, Kin.” Cak Narto melompat menghindari tekelan Solikin, “Maksudku begini, polisi-polisi itu kan juga manusia biasa. Mereka sak dermo menjalankan tugasnya saja. Mereka itu ‘kan begitu pulang ke rumah dan melepas seragam, akan kembali menjadi bagian dari masyarakat, sama seperti kita-kita gini. Absennya keramahan dalam pelayanan mereka itu jelas karena situasi, Kin. Dan membandingkannya dengan keramahan seorang satpam bank itu jelas kurang tepat, Kin. Meski aku, sebagai bagian dari masyarakat, juga berharap keramahan seperti itu.”

Tiba-tiba suasana agak hening. Bunyi berdecit air dalam teko yang dijerang Yu Marmi di atas tungku terdengar nyaring dari dalam warung.

“Sekali lagi ya, Kin, aku tidak pernah sepakat dengan kesewenang-wenangan dan kekerasan yang telah dilakukan oleh oknum-oknum polisi itu. Dan, aku juga yakin, ketika polemik seperti itu, insiden-insiden gesekan dengan masyarakat itu, disikapi dengan tegas oleh atasan mereka, pada akhirnya yang rugi ya mereka-mereka itu sendiri. Ada yang dimutasi, dicopot jabatan, atau bahkan dipecat dan dipenjara.” Ada sejenis nada simpati di ujung kalimat Cak Narto.

“Alaaah…  biarin aja, Cak, sukurin! Itu kan memang risiko jadi bawahan. Hehehe.” Intonasi Solikin setengah mengejek.

Cak Narto masih tepekur menatap gulita mega. Di pelupuknya berkelebatan pemandangan istri yang berjauhan dengan suami dan anak-anak yang tak lagi diantarkan tidur oleh bapaknya.

“Itu memang risiko, Kin, tapi…” Cak Narto menyalakan sebatang kretek, “…sebenarnya itu semua bisa dipetakan, dikendalikan dan diperbaiki.”

“Apanya, Cak?”

“Ya itu tadi, Kin. Risiko gesekannya bisa dipetakan lantas diperbaiki ke depannya.”

“Susah, Cak, ibarat penyakit ini sudah akut. Sistemik dan menahun…” Solikin menarik pinggang, “…jangan Sampean bilang solusinya kerendahan hati lagi ya, Cak. Klise itu! Setidaknya argumen Sampean itu yang konkret gitu, lho. Solutip!!!” Nada sinis dan skeptis menetes di ujung bibir Solikin.

“Memang akut, Kin. Dan ya, kerendahan hati itu memang sesuatu yang klise. Tapi, kalau ditanya apa solusi yang konkret untuk permasalahan semacam ini bisa dengan cara sederhana, Kin: melengkapi setiap personel polisi itu dengan sebuah peranti yang dapat merekam gambar dan suara. Agar setiap tindak tanduk mereka dalam menghadapi masyarakat, baik sebagai pelayan maupun penegak hukum, itu terdokumentasi sempurna.”

Mata Solikin terbelalak seperti menyadari sesuatu dan langsung menimpali, “…dan rekamannya itu bisa diakses bebas oleh masyarakat ya, Cak. Nanti bisa sebagai bukti jika mau bikin keluhan atau pengaduan. Atau bisa jadi bukti di pengadilan, misalnya. Itu seperti bodycam di polisi-polisi di barat, Cak!” Senyum tiba-tiba menyembul di wajah Solikin.

“Heem. Selain itu, peranti itu bisa sekaligus menjadi alat kontrol psikis bagi personel polisi. Setidaknya mereka akan selalu ingat, bahwa setiap ucapan dan perbuatannya, selain harus menjunjung tinggi sumpah jabatan, juga senantiasa diawasi dan terekam di peranti itu.” Cak Narto menyesap kopinya yang mulai terlihat ampasnya itu.

“Dan akhirnya masyarakat tak perlu lagi khawatir tidak punya bukti jika ingin mengadukan pelanggaran, misalnya. Si pak polisi juga bisa membela diri kepada atasannya jika ternyata dalam rekaman itu kekerasan terjadi akibat reaksi perlawanan dari seseorang, misalnya. Dan, bagian humas kepolisian juga akan lebih mudah menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Nah, dari sana, Kin, frasa ‘mengambil tindakan tegas dan terukur’ akan menjadi masuk akal dan tidak lagi subyektif.”

***

Dua orang itu cekikikan, merasa telah menjadi pakar konflik dan manajemen gesekan. Cak Narto bahkan sudah lupa akan niatnya pulang beberapa saat lalu.

Di tengah tempias hujan yang terbawa ke arah teras warung, kedua orang itu saling beradu argumen dan kemungkinan-kemungkinan, dan harapan-harapan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 21 Oktober 2021 oleh

Tags: polisiSatpam BCA
Suwatno

Suwatno

Penulis adalah bapak (muda) dengan tiga orang anak. Tinggal di Palangka Raya.

ArtikelTerkait

Supeltas Solo: Hadir Raganya, Terabaikan Jasanya

Supeltas Adalah Simbol Betapa Nggak Becusnya Polisi Lalu Lintas Kita

29 Mei 2023
Project Multatuli dan Hal-hal yang Nggak Mashook dari Twit Kepala Analis CCIC Polri terminal mojok.co

Project Multatuli dan Hal-hal yang Nggak Mashook dari Twit Kepala Analis CCIC Polri

13 Oktober 2021
Kasus Brigadir J: Ditertawakan Rakyat, Makin Menjatuhkan Martabat Polisi

Kasus Brigadir J: Ditertawakan Rakyat, Makin Menjatuhkan Martabat Polisi

10 Agustus 2022
Ujian SIM Perlu Direvisi, Harusnya Lebih Fokus pada Etika dan Pengambilan Keputusan di Jalan

Ujian SIM Perlu Direvisi, Harusnya Lebih Fokus pada Etika dan Pengambilan Keputusan di Jalan

27 Februari 2025
Kenapa Harus Satpam BCA Satpam Instansi Pemerintah Nggak Kalah Oke, kok! terminal mojok

Kenapa Harus Satpam BCA? Satpam Instansi Pemerintah Nggak Kalah Oke, kok!

18 Oktober 2021
Pejuang Tes SIM Garis Lurus, Sudah Saatnya Menggugat!

Pejuang Tes SIM Garis Lurus, Sudah Saatnya Menggugat!

1 Januari 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025
Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

16 Desember 2025
Gak Daftar, Saldo Dipotong, Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life Stres! (Unsplash)

Kaget dan Stres ketika Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life, Padahal Saya Nggak Pernah Mendaftar

21 Desember 2025
Air Terjun Tumpak Sewu Lumajang, Tempat Terbaik bagi Saya Menghilangkan Kesedihan

4 Aturan Tak Tertulis agar Liburan di Lumajang Menjadi Bahagia

17 Desember 2025
Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven

Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven

17 Desember 2025
3 Rekomendasi Brand Es Teh Terbaik yang Harus Kamu Coba! (Pixabay)

3 Rekomendasi Brand Es Teh Terbaik yang Harus Kamu Coba!

18 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan
  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.