Program Pojok Baca Kelas di Sekolah Cuma Basa-Basi, Ujung-ujungnya Jadi Pojok Tidur Siswa

Program Pojok Baca Kelas di Sekolah Cuma Basa-Basi, Ujung-ujungnya Jadi Pojok Tidur Siswa

Program Pojok Baca Kelas di Sekolah Cuma Basa-Basi, Ujung-ujungnya Jadi Pojok Tidur Siswa (Unsplash.com)

Akhir tahun lalu, di sekolah tempat saya mengajar tiba-tiba ada program pojok baca. Hadirnya program ini sangat mendadak sekali sebenarnya. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba kepala sekolah menginstruksikan wali kelas dan siswa untuk segera bikin pojok baca di kelas masing-masing. 

Usut punya usut, ternyata karena ada instruksi langsung dari cabang dinas pendidikan. Alhasil, setiap wali kelas dan siswa buru-buru bikin pojok baca di kelas semenarik mungkin. Dari sini saja sebenarnya sudah kelihatan kalau program ini sekadar hasil instruksi atau suruhan alias paksaan. Bukan keinginan hati sekolah karena siswanya mulai suka membaca. 

Pojok Baca Kelas hanya formalitas di sekolah

Program pojok baca ini adalah program yang ditujukan pada siswa di setiap kelas agar menyulap pojok kelasnya menjadi pojok baca. Dengan kata lain, pojok kelasnya dialokasikan menjadi tempat membaca. “Bullshit” kata saya dalam hati. Sebab, tak secuil pun harapan untuk siswa bisa membaca di pojok itu berhasil. 

Dari latar belakang program pojok baca kelas ini diterapkan saja sudah menunjukkan kalau program ini hanya formalitas ikut perintah atasan. Formalitas dalam artian sekolah hanya memenuhi arahan dari atasan tanpa benar-benar mengerti maksud dari program ini yang sebenarnya.

Pasalnya, meskipun ada pojok baca, saya sebagai pengajar tak pernah satu pun melihat siswa membaca di pojok kelasnya itu. Pojok itu hanya menjadi hiasan dinding yang dibuat gemerlap tanpa orang. Pojok kelas yang disebut pojok baca itu hanya menjadi hiasan dan foto-foto saja. Nggak pernah beneran dipakai siswa untuk membaca buku. Kenapa?

Ruang kelas tidak nyaman untuk jadi tempat membaca

Menurut saya, alasan kenapa siswa enggan membaca buku di pojok baca kelas ya karena ruang kelas memang nggak nyaman dibuat tempat baca buku. Apalagi ruang kelas di sekolah saya, di Bangkalan Madura. Sudah cuaca panas, tak ada AC pula. Paling mentok di kelas hanya ada 3 kipas angin. Jelas nggak ngaruh sama suhu kota Bangkalan Madura yang wadadaw panasnya. Gerah lah.

Padahal kalau mau jujur, membaca adalah aktivitas yang perlu kenyamanan agar konsentrasi terjaga. Belum lagi, ruang kelas biasanya ramai dan riuh. Mana bisa siswa membaca dalam kondisi yang begitu riuh kayak pasar, kan?

Makanya beberapa siswa yang suka membaca biasanya ke perpustakaan untuk mendapat tempat baca yang nyaman. Kalau di perpustakaan sekolah saya, selain tempatnya sepi dan hening, juga ada 2 AC yang sangat sejuk. Sehingga, lokasinya sangat ideal untuk menjadi tempat membaca para siswa. 

Herannya, perpustakaan yang sudah sebegitu nyaman saja masih sepi dari aktivitas siswa baca buku, kok ini sok ngide bikin program pojok baca di setiap kelas. Ya jelas makin nggak laku lah. Program yang nggak tes pasar dulu ya begini ini. 

Menurut saya, seharusnya ditanamkan dulu gairah membacanya, baru dibuat pojok baca. Sehingga, pojok baca kelas hadir sebagai respons atas kebutuhan siswa yang kekurangan tempat untuk membaca, karena banyak siswa yang udah mulai suka baca.

Saya yakin alasan-alasan ini nggak pernah dipikirkan pembuat program dari atas. Soalnya sekolah hanya fokus menjalankan perintah atasan saja, tanpa memikirkan efektifitas dan keberlanjutan programnya. Apa namanya kalau bukan formalitas?

Lebih dari itu, persoalan literasi di sekolah bukan hal yang menjadi prioritas. Sekolah lebih fokus pada hasil siswa yang bisa tembus ke perguruan tinggi, daripada menghasilkan siswa yang berliterasi dan berwawasan. Paling tidak itu yang saya rasakan sebagai guru sejauh ini.

Hanya sedikit guru yang aktif memotivasi siswa untuk membaca

Ironisnya, hanya sedikit guru yang benar-benar mau memotivasi siswa untuk memaksimalkan pojok baca kelas sebagai tempat membaca. Berdasarkan pengamatan pribadi saya, paling mentok hanya guru Bahasa Indonesia yang terhitung cukup konsisten memotivasi siswa agar mau membaca buku di pojok baca. Guru yang lain, hampir nihil. Yaaa gimana mau memotivasi siswa buat baca, wong gurunya saja banyak yang jarang baca. Katanya sih nggak sempet karena kesibukan orang dewasa. Preeettt. 

Dari sini saya melihat semacam sebuah mitos di sekolah kalau memotivasi siswa untuk membaca buku itu hanya urusan guru Bahasa Indonesia saja. Guru yang lain nggak usah ikut-ikut. Aneh. 

Pojok tidur berkedok pojok baca kelas di sekolah

Kesimpulannya, program pojok baca dadakan di sekolah ini hanya menjadi pojok tidur. Kasarnya, program ini adalah program pojok tidur yang berkedok pojok baca. Bagaimana tidak, setiap saya mengajar di kelas, SELALU saja ada yang tidur di pojok baca.

Parahnya, saya justru TIDAK PERNAH melihat ada siswa yang membaca di pojok baca. Jadi, saya rasa tidak berlebihan kalau program ini lebih tepat disebut sebagai pojok tidur daripada pojok baca. Ya kan, Bapak/Ibu?

Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Perpustakaan Sekolah Sepi Bukan karena Minat Baca Rendah, tetapi (Dibikin) Nggak Bisa ke Perpustakaan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version