Dari zaman kakek kita hingga kini, pegawai negeri sipil diromantisasi tanpa henti. PNS selalu dianggap sebagai abdi negara, yang sudah selayaknya dan sepantasnya bekerja dengan tulus dan ikhlas membaktikan diri kepada negara. Terakhir, UU nomor 5 tahun 2014 yang mengatur tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan dengan jelas pada Pasal ke 4 bahwa salah satu nilai dasar PNS adalah “mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia”.
Masalahnya, stigma pengabdian yang melekat selama berpuluh tahun menjadi biang keladi bashing kepada profesi PNS itu sendiri. Masyarakat awam yang menganggap PNS selaku abdi negara dengan gampangnya melakukan cap negatif kepada ketika ada oknum PNS yang mulai “bertingkah” dengan perilaku-perilaku indisipliner atau bahkan korup.
Masyarakat dengan mudahnya melakukan justifikasi bahwa PNS tidak bertindak sebagai abdi atau pelayan negara seperti seharusnya. Misalnya saat melihat segelintir oknum PNS yang main Zuma di jam kerja, ngopi saat pelayanan buka, bahkan tak ada di kantor. Terbaru, ulah oknum PNS sultan di suatu Kementerian membuat masyarakat menjadi benci setengah mati kepada PNS karena menganggap tidak sepatutnya abdi negara bertindak hedon atau foya-foya begitu.
Sudah tak becus kerja, malah berfoya-foya. Pikir mereka begitu, dengan mengambil sampel asal-asalan.
Sebenarnya apa yang bikin orang punya sentimen negatif terhadap PNS? Jawaban paling sederhana ya satu: sebab PNS digaji dari uang pajak yang dibayarkan. Tidak rela rasanya jika mati-matian mereka bayar pajak hanya untuk menggaji “kayu mati”.
PNS itu buruh!
Saya menawarkan satu pandangan baru. Sebenarnya tidak baru-baru amat karena sudah sering dilontarkan para akademisi atau birokrat yang lebih pintar. Daripada disebut sebagai abdi negara, mending sekalian saja PNS secara kolektif dan masif mendeklarasikan dirinya sebagai “buruh negara”. Sebab dilihat dari sisi mana pun, PNS itu ya buruh.
Sebutan abdi negara itu benar-benar merugikan kita dari dua sisi. Pertama, masyarakat meminta kita bekerja dengan baik, berorientasi pelayanan, serta tidak layak hidup sejahtera. Kedua, pemerintah tidak serius ingin menyejahterakan kita selaku pekerja publiknya dengan dalih “abdi negara akan mendapat balasan di akhirat”.
Serius, dengan mendeklarasikan diri sebagai buruh negara, justru kita mendapat jauh lebih banyak keuntungan. Saya paham, pasti banyak yang gengsi dan enggan disebut buruh karena kesannya adalah pekerja kasar. Banyak PNS di bidang-bidang tertentu yang membutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi pasti tidak mau disebut buruh. Selain itu, PNS kadang memang merasa dirinya elit dan begitu berharga karena tupoksinya penting bagi negara. Buktinya ada tuh instansi yang cabut dari KORPRI.
Begini teman-teman. KBBI sendiri mengartikan buruh sebagai “pekerja atau orang yang bekerja untuk orang lain untuk mendapatkan upah”, sedangkan abdi sendiri diartikan sebagai “orang bawahan; pelayan; hamba; budak tebusan”. Lihat saja, dari pengertian dasar di KBBI saja sudah jelas bahwa sebutan abdi itu cuman bagus di telinga doang.
Selain itu kita ini memang buruh lho secara definisi. Kita bekerja pada orang lain selaku pemberi kerja yang menggaji kita. Kita ini bekerja pada negara dan negara menggaji kita. Mau setinggi apa pun jabatan kalian, mau sementereng apa pun bidang kerja kalian, selama kalian masih digaji oleh negara melalui pajak, ya kalian itu buruh negara.
Lebih sederhana lagi, ya PNS itu buruk.
Baca halaman selanjutnya
Collective power
Ajakan ini jelas bukan untuk PNS Kementerian Sultan, tapi silakan kalau mau bergabung. Setelah menganggap diri sebagai buruh negara, kita bisa lho berserikat dengan benar dan proper. KORPRI itu benar, tapi tidak proper. Abdi negara adalah stigma yang membuat kita gampang kena eksploitasi, framing, bahkan bashing. Tetapi dengan menjadi buruh, kita bisa melakukan counter secara benar dengan kekuatan suara yang besar karena serikat itu mempersatukan buruh negara dari berbagai instansi dan bidang pekerjaan.
Anggap saja ada satu juta PNS selaku buruh negara yang bergerak bersama untuk melakukan intervensi atau tuntutan terhadap policy making di Kemenpan RB atau Kementerian Keuangan atau bahkan DPR. Iya saya langsung saja ke isu utama kita selaku buruh negara, yaitu kesejahteraan yang minim dan timpang dengan yang lain. Jangan mau-mau saja nrimo ing pandum dengan doktrin klasik pengabdian.
Internal governance
Teman-temanku para buruh negara, dengan kalian bersatu dan berserikat, kalian juga bisa saling memberikan koreksi dan edukasi secara internal. Iya, selaku buruh negara kita juga tidak boleh egois dan hanya menuntut terus-terusan. PNS selaku buruh negara dan serikatnya juga harus memiliki konsistensi untuk memperbaiki diri dan mendorong sesama PNS untuk bekerja dengan baik karena kita ini profesi yang dibayar negara demi memajukan negara juga.
Bahkan seharusnya ada aturan internal sendiri yang bisa mengatur apa saja larangan bagi PNS beserta sanksinya. Disiplin internal juga perlu ditegakkan disini, seperti serikat profesi pada umumnya. Jika ada pelanggaran, lakukan tindakan atau pecat sekalian. Serikat buruh negara harus memiliki komitmen dalam menjaga kualitas PNS juga di samping melakukan perjuangan demi kepentingannya.
Demi birokrasi
Apa yang diperjuangkan oleh pada buruh negara ini pada akhirnya tetap diharapkan dapat memperbaiki outcome dari birokrasi itu sendiri. Adanya ruang untuk bersatu, bersuara, dan berpendapat akan memotivasi PNS selaku buruh negara untuk bekerja lebih giat lagi karena mereka merasa kepentingannya diperjuangkan. Mereka juga merasa lebih demokratis karena memiliki kesempatan untuk menyampaikan masukan.
Ini lebih masuk akal dan efektif untuk reformasi birokrasi kita, alih-alih doktrin pengabdian. Kita tidak bisa berharap sifat keikhlasan dan ketulusan dalam bekerja akan memajukan birokrasi kita. Sebagai buruh negara kita dimampukan untuk bersuara sekaligus mengoreksi diri, semata-mata demi birokrasi republik tercinta.
Selamat hari buruh, rekan-rekan PNS. Tuhan beserta buruh dan kaum-kaum yang memperjuangkan kesetaraan!
Penulis: Raja Pranatha Doloksaribu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kita Sebaiknya Nggak Perlu Nyinyir PNS yang Menuntut Upah Layak