Peringatan hari kontrasepsi internasional pada 26 September 2021 terasa sedih karena ada 1,4 juta Kehamilan Tak Direncanakan (KTD) di 115 negara terjadi selama pandemi, tulis Mbak Kalis dalam twitnya. Bagi para pengikut Mbak Kalis, kebanyakan pasti sudah paham bahwa alat kontrasepsi bukan kewajiban perempuan saja. Beberapa pengikut Mbak Kalis membalas cuitan tersebut dengan bercerita tentang kesediaan suami mereka untuk menggunakan kondom sebagai kontrasepsi. Bahkan, ada pula yang sudah bersedia menjalani Metode Operasi Pria (MOP) atau vasektomi.
Disebutkan bahwa salah satu penyebab meningkatnya angka KTD selama pandemi adalah kesulitan para akseptor KB untuk mendapatkan kontrasepsi. Perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal, seharusnya sebulan atau tiga bulan sekali suntik di faskes terdekat. Sementara untuk pengguna kontrasepsi jenis implan dan IUD, idealnya secara berkala melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Nah, kurangnya APD di faskes dan keterlambatan distribusi alat kontrasepsi menyebabkan banyak akseptor KB yang memutuskan berganti ke metode alami. Padahal, metode alami memiliki kemungkinan gagal paling tinggi dibanding kontrasepsi jenis lain.
“Untungnya suamiku mengalah, dia yang memakai kontrasepsi,” begitu ujar beberapa perempuan.
Sik, to. Istilah mengalah rasanya, kok, kurang tepat untuk dipakai dalam hal kesepakatan penggunaan kontrasepsi, ya? Seharusnya memilih alat kontrasepsi dilakukan secara sadar sebagai hasil keputusan bersama dalam sebuah keluarga. Mengalah gimana? Wong namanya saja keluarga, urusan kontrasepsi jelas wajib dibicarakan berdua, dong.
Idealnya, baik laki-laki maupun perempuan perlu saling memahami risiko-risiko yang akan diterima tubuhnya atau tubuh pasangannya saat memilih metode kontrasepsi. Maka, untuk bisa bersepakat tentang kontrasepsi pilihan jelas butuh diskusi. Nah, jika tak memiliki dasar pengetahuan yang setara soal kontrasepsi, bagaimana bisa mengambil keputusan bersama tentang metode yang akan dipilih?
Saya sendiri pernah mengalami KTD pada kehamilan kedua, pada 2014. Rasanya? Ambyar, Bund. Saya butuh waktu dua tahun untuk bisa membangun kelekatan dengan anak kedua saya seperti yang saya miliki dengan anak pertama. Saat itu, saya dan suami menggunakan metode kontrasepsi alami seperti yang kami pelajari kala mendapat pembekalan pra nikah. Kondom, coitus interruptus, dan Metode Ovulasi Billings (MOB) menjadi metode kontrasepsi yang kami pilih.
Lewat MOB, saya jadi tahu bahwa masa subur bisa dikenali melalui lendir. Sayangnya, saya sungguh tak paham bagaimana cara membedakannya. Maka, gagal sudah KB alami yang tadinya ingin kami terapkan selamanya. Saya masih ingat betul bagaimana sedihnya saat mendapat ucapan selamat dari tetangga yang tahu bahwa saya hamil lagi. Bisa-bisanya, lho, mereka sudah diberi tahu oleh kerabat saya. Hamil karena suami sah tapi selama tiga bulan pertama yang bisa saya pikirkan hanya berharap bahwa kehamilan saya tidak nyata. Oh, Kawan, tanpa kasus yang berat seperti KDRT pun, KTD tak pernah terasa ringan.
Petualangan saya dalam memilih alat kontrasepsi terus berlangsung hingga anak ketiga lahir. Karena tak cocok dengan IUD, saya diberi saran oleh dokter kandungan untuk memilih Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Pilihannya adalah tubektomi atau vasektomi. Saya menolak dan memilih metode suntik progestin setiap tiga bulan sekali. Semua baik-baik saja kecuali mood saya yang berubah menjadi sangat labil. Kalau hanya nyeri, pusing, dan mual, saya bisa tahan. Tapi mood yang tak stabil? Saya sungguh tak tahan dengan itu.
Saya pun kembali ke bidan dan akhirnya memilih pil progestin yang hingga hari ini masih saya gunakan. Dalam petualangan saya memilih kontrasepsi, suami selalu terlibat. Berkali-kali ia menyarankan saya untuk berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal melihat perubahan mood dan keluhan mual yang terjadi pada saya. Tapi, ah saya lebih ngeri dengan KTD. Meski suami saya menolak vasektomi seperti saya yang enggan melakukan tubektomi, saya tetap lega. Paling tidak, ia tidak termakan stigma bahwa kontrasepsi merupakan kewajiban dan tanggung jawab istri.
Saya sempat bertanya pada penyuluh KB di RT tempat saya tinggal soal kepedulian kaum pria untuk urusan kontrasepsi. Menurutnya, kebanyakan kaum pria masih memandang bahwa KB adalah kewajiban istri saja. Bisa jadi, penyebabnya karena penyuluhan untuk kaum pria masih sangat kurang. Saya mencoba untuk bertanya juga pada bidan Delima di dekat rumah saya soal layanan konsultasi kontrasepsi untuk pria. Rupanya konsultasi untuk calon akseptor pria tak semudah untuk perempuan. Harus janjian dulu karena dokternya tak selalu standby seperti halnya bidan.
Untuk mengikis stigma bahwa kontrasepsi adalah tanggung jawab perempuan, salah satu caranya adalah dengan konseling pra nikah perihal kontrasepsi untuk pria. Mengutip pernyataan dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), Kepala BKKBN, dalam Webinar bertajuk “Suami Hebat untuk Keluarga Sehat” sejak 20 bahkan 30 tahun yang lalu persentase pria sebagai akseptor KB tak pernah lebih dari 5 persen. Dan dari partisipasi pria dalam berkontrasepsi yang ala kadarnya itu, jumlah yang memilih vasektomi dari tahun ke tahun pun hanya berkisar di angka 0.2 persen.
Padahal, program MOP bebas biaya sudah diselenggarakan, bahkan di beberapa daerah nggak cuma bebas biaya tapi juga mendapat reward dari pemerintah daerahnya. Eh, tetap saja peminatnya masih jarang. Melek kontrasepsi memang seharusnya tak lagi dibahas secara malu-malu, kok. Jangan sampai, sepuluh tahun lagi, stigma bahwa perempuanlah yang wajib memakai kontrasepsi masih ada. Mungkin nggak, ya?