Plis deh, Stop Jadi Dokter dan Apoteker Dadakan!

fakultas kedokteran dokter apoteker diagnosis dadakan mojok

fakultas kedokteran dokter apoteker diagnosis dadakan mojok

Pagi ini ketika saya bangun dan mengecek ponsel, ada pesan masuk dari salah satu teman saya. Isinya foto dia yang sedang dirawat di salah satu klinik dekat rumahnya. Lantas saya kaget. Memang beberapa hari yang lalu dia sempat mengabari saya bahwa dia pingsan di rumah. Sudah saya suruh untuk periksa ke dokter, tapi nanti saja katanya. Eh, tahu-tahu dia malah dirawat inap. Ternyata, dia overdosis obat.

Saya tahu dia adalah orang yang sakit sedikit minum obat. Berbeda dengan saya yang nggak akan mau menyentuh obat kecuali saya sudah nggak mampu mengangkat kepala. Kalau sakit perut sedikit, dia bakal self diagnosis maag kambuh dan minum Promag. Kalau sakit gigi, dia bakal mencoba semua obat yang kata orang ampuh untuk sakit gigi. Kalau sakit kepala, dia minum paracetamol atau Antalgin.

Padahal saya sudah sering bilang lebih baik ke dokter daripada asal menenggak obat. Benar saja, malah overdosis kan. Sebelum dia pingsan, beberapa minggu yang lalu dia memang sedang sakit gigi dan sudah mencoba semua jenis obat sakit gigi, tapi tetap tidak berefek katanya. Entah obat apa lagi yang dia minum kali ini. Katanya lagi, dia overdosis karena dosis obat yang dia minum terlalu besar sampai badannya nggak mampu menanggung. Saya jadi nggak tahu mau menyebut dia ngeyel atau bodoh. Tapi, kasihan juga kalau ngatain orang yang lagi sakit.

Saya yakin yang begini banyak sekali terjadi di sekitar kita. Kalau ada tetangga yang cerita kalau lututnya sakit, langsung saja bilang bahwa itu rematik atau asam urat dan menyarankan minum obat ini itu, tidak lupa disertai testimoni, “Saya minum obat itu sembuh lho Mbak sakit dengkulnya. Coba deh.” Saya yakin para dokter dan apoteker menangis melihat hal ini.

Lah, gimana nggak menangis, wong para dokter dan apoteker itu perlu sekolah yang lamanya bukan main dan mahal untuk bisa mendiagnosa dan memberi resep obat. Orang-orang yang nggak punya latar pendidikan kesehatan kok bisa ngasih tips obat sembarangan begitu. Sebenarnya saya juga nggak punya latar pendidikan di bidang kesehatan, tapi saya nggak mau sembrono. Saya kalau minum obat bisa dihitung paling banter setahun dua atau tiga kali saja. Kalau nggak sakit parah, saya nggak mau minum obat. Dan yang pasti, saya nggak menyarankan orang minum sembarang obat tanpa anjuran dokter.

Ada lagi contoh yang saya lihat beberapa waktu lalu. Kakak saya yang sedang punya keluhan seputar usus tiba-tiba kedatangan tamu di pagi hari. Ternyata yang datang adalah saudara jauh yang entah dari mana mendengar kabar bahwa kakak saya sedang sakit. Beliau datang mempromosikan obat yang katanya obat herbal. Yang saya dengar dari caranya menawarkan sih mirip bisnis MLM gitu hahaha.

Dengan disertai testimoni bahwa segala penyakit dan racun yang ada di tubuh beliau sudah hilang akibat rutin minum obat herbal tersebut. Duh, kok sepertinya tidak meyakinkan. Mana mungkin kan satu jenis obat bisa dipakai untuk mengobati semua penyakit. Kalau memang bisa, kenapa saya harus menenggak tiga atau empat jenis obat sekaligus saat demam? Dan yang saya minum juga resep dari puskesmas, tidak mungkin abal-abal dong.

Dan lagi, yang menawarkan obat ini tidak memiliki latar pendidikan di bidang kesehatan. Terlepas dari komposisi herbal-herbalan itu, tetap saja tidak meyakinkan. Masak sih racun di tubuh hilang semua? Apa sudah cek darah, cek paru, cek semuanya sampai bisa memastikan racun tersebut hilang? Miris sekali saya melihat maraknya self diagnosis yang terjadi di masyarakat.

Mungkin hal ini terjadi juga karena kebiasaan orang-orang zaman dahulu yang hobi memberi tips obat herbal, karena seperti yang semua orang tahu Indonesia kaya akan tanaman herbal. Ya sebenarnya nggak apa-apa kok ngasih tips, hitung-hitung membantu orang sakit. Nggak apa-apa dengan syarat obat itu tidak diminum. Kalau sebatas dioles nggak akan bermasalah karena nggak bikin keracunan. Lah kalau sembarangan diminum, orang awam mana tahu dosis yang tepat untuk tubuh?

Orang Indonesia juga minim sekali yang melakukan medical check-up secara rutin (saya juga sih, hehe.) Selain ketidaktahuan akan seberapa dosis yang diperlukan, kita juga nggak tahu tubuh kita punya alergi terhadap apa. Kalau masih saja sembarangan self diagnosis dan jadi apoteker serta dokter dadakan, efek buruknya adalah sesuatu yang mengerikan. Jadi, mending stop deh budaya memberi tips-tips obat kepada orang lain. Kalau ketemu orang sakit, suruh periksakan ke dokter saja, jangan malah kita yang sok jadi dokter dadakan.

BACA JUGA Pengalaman Saya Bersahabat dengan Orang dengan Kecenderungan Bunuh Diri dan tulisan Vivi Wasriani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version