Kalau Piyungan mau mendapuk diri jadi wisata gunung sampah, sebaiknya lewati Bantargebang dulu
Demi sampah. Sungguh ketika TPST Piyungan ditutup selama 45 hari ada lebih banyak sampah yang bisa dilihat. Tak terkecuali di kontrakan kawan saya yang bernama Farid (nama samaran), yang minggu lalu nunjukin enam kantong sampah plastik yang full tank dibiarkan di depan kontrakan.
“Iyalah, ditumpuk, kan Piyungannya juga ditutup,” kata dia saat saya komentari penataannya yang cukup buruk. Sebab, berhimpitan dengan parkiran sehingga rumah berisi enam kamar tapi diisi delapan orang tersebut terkesan lebih sempit.
Atau mungkin di grup WhatsApp yang saya masuki, masalahnya tak jauh beda. Piyungan tutup, kata dia, kita harus memilah sampah kembali. Pisahkan antara yang organik, dan yang anorganik, cuci bersih plastik-plastik bekas makanan dan minuman, dan hindari jajan yang kemasannya sekali pakai.
Begitupun di Mojok. belakangan yang lalu, saya kembali melihat tulisan soal sampah, dan lagi-lagi ada nama Piyungan di situ. Ditulis oleh Fajar Junaedi dengan judul “Gunung Sampah TPST Piyungan Adalah Objek Wisata Andalan Jogja yang Siap Dikemas Lebih Cantik demi Menarik Wisatawan”.
Di tulisan ini, beliau ingin menjadikan TPST Piyungan menjadi wisata Gunung Sampah Pertama di Dunia. Yang bahkan “UNESCO pasti bangga dan siap menjadikan gunung sampah Jogja sebagai percontohan untuk negara maju,” kata beliau dalam tulisannya.
Ada beberapa hal yang kiranya dengan tulisan ini saya ajukan ini sebagai banding agar tidak buru-buru mengklaim seperti itu. Sebaiknya jangan terlalu gegabah, Pack.
Lewati dulu Bantargebang
Pertama, jika ingin menjadikan tempat tersebut sebagai Wisata Gunung Sampah Pertama di Dunia, punten, lewati dulu gunung sampah Bantargebang di Bekasi.
Dilihat dari area luar, Anda sekalian pastilah takjub. Selain emang gede banget, Bantargebang ini seperti Piramid kalo diliat-diliat. Dan memasuki area dalam, mata Anda tidak akan berhenti penasaran menilik ke sekeliling, dengan anggapan bahwa pasti harta karun tersimpan di sini. Dan memang, dimulai dari Jenglot, kalung-kalung emas, kamera, uang dollar, uang gepokan, mainan, atau apapun itu, bisa Anda temukan di tumpukan sampah setinggi 40 meter lebih ini, asalkan sabar, dan telaten.
TPST Piyungan biasa nampung berapa? Apa? 700 ton/hari? Ah, mana maen. Bantargebang lah, bisa 6.500 sampe 7.000 ton perhari. 10 kali lebih banyak, 10 harinya Jogja.
Kedua, masalah luas tanah, sebenernya kalo dipikirin juga bisa kebayang sih, secara perbandingan perharinya beda jauh. Tapi agar based on data saya paparkan aja, totalnya seluas 110,3 hektare, dibagi jadi dua, 18,09 persen buat jalan dan sisanya buat sampah doang. Beda jauh (banget) sama Piyungan yang 12,5 hektare. Dan kalo diukur sama umurnya juga nih, beda 16 tahun, Piyungan lahir 1996 dan tentu saja, juara favorit saya, Bantargebang tahun 1989.
TPST Piyungan (?)
Kemudian ketiga, dan mungkin akan jadi yang terakhir, karena ditakutkan melakukan pembantaian berlebih. TPST Bantargebang sudah go internasional loh, kalo perlu dijabarin pernah di-notice sama aktor yang meranin Jack di Titanic, Leonardo DiCaprio, yang bahkan (sekali lagi) pernah juga di-post sama NatGeo.
Hmmm, “I’m the king of the world,” Zheyengqu (Bantargebang, 1997).
Disclaimer: Mungkin penggunaan kata Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) bagi Piyungan di sini mungkin tidaklah tepat. Sebab, TPST sendiri (harusnya) melakukan kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, daur ulang, mengolah, dan pemroses akhir sampah. Dengan kata lain tempat pulang terbaik bagi sampah. Dan hari ini, rumah itu ditutup dan gagal menampung kerinduan anak-anaknya yang gelandangan di jalanan. Tapi gapapa, sebut TPST aja ya, biar lebih keren walaupun Piyungan gagal keren.
Hingga akhirnya menulis ini, bikin tambah muak saya mengenai sampah. Dari papan bertulis “buang sampah pada tempatnya,” diskusi sampah, obrolan juga temen yang kayak yang sampah, teman mencuri kill di game online adalah nyampah, sarjana yang tidak berguna disebut sampah masyarakat, pemulung, dinas kebersihan, kamar penuh sampah, Pandawara konten sampah, flora dan fauna yang hidup susah karena sampah, hmm apalagi kira-kira yang mengandung sampah?
Mungkin tidak ada entitas yang tidak bisa berkaitan dengan sampah, dan tulisan ini adalah adalah salah satu di antaranya—entah sebagai metafora maupun literal—dan apakah masing-masing dari kita hanyalah bisa memungut tali tambang dan menalikannya di dahan, membuat simpul kemudian loncat dengan tak melupakan leher terikat sebelumnya; sehingga tak ada lagi yang memproduksi sampah, atau setidaknya, mayat Anda dan talinya menjadi sampah terakhir, apakah menjadi solusi terbaik buat semua ini, mungkin?
Penulis: Selo Rasyd Suyudi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Adakah Dana Istimewa untuk Sampah yang Tidak Istimewa?