Bayar UKT ITB Pakai Pinjol Itu Miris dan Jelas Tidak Bisa Dimaklumi, Niatnya Mencerdaskan Bangsa atau Menyengsarakan Rakyat nih?

Bayar UKT ITB Pakai Pinjol Itu Miris dan Jelas Tidak Bisa Dimaklumi, Niatnya Mencerdaskan Bangsa atau Menyengsarakan Rakyat nih?

Bayar UKT ITB Pakai Pinjol Itu Miris dan Jelas Tidak Bisa Dimaklumi, Niatnya Mencerdaskan Bangsa atau Menyengsarakan Rakyat nih? (Pixabay.com)

Saya beri dua kata lucu: pinjol ITB

Saya membayangkan bagaimana pelajaran sejarah Indonesia 100 tahun mendatang. Di bangku sekolah yang super canggih, cucu cicit kita sedang terpaku pada sebuah tajuk. “PADA TAHUN 2024, MAHASISWA MEMBAYAR UKT DENGAN SISTEM PINJOL.”

Mungkin mereka akan terhenyak dan ngeri membayangkan karut marut pendidikan leluhurnya. Sayangnya, kita sedang hidup di masa itu. Masa di mana biaya pendidikan sangat tinggi, sampai menggunakan sistem paylater sebagai solusi.

“Lha bagus dong, kampus memperhatikan masalah mahasiswa. Jadi menawarkan solusi yang sekarang sudah umum dilakukan?”

Mungkin Anda berpikir seperti itu. Iya, sistem paylater memang terlihat seperti solusi.

Solusi yang goblok, maksudnya.

Kampus paylater dengan bunga besar

Sebelum kita masuk ke dalam kekacauan, mari kita cermati isu bayar UKT pakai sistem pinjol ini. Cuitan di akun X ITBfess, akun menfess para mahasiswa ITB, menampilkan selebaran. Isinya adalah solusi pembayaran UKT dengan sistem pinjaman dari penyedia jasa DanaCita. Penyedia jasa ini adalah pihak ketiga yang dipercaya ITB.

Tujuan penawaran jasa ini untuk mempermudah mahasiswa dalam membayar UKT. Sehingga biaya kuliah tidak harus dibayarkan dalam satu waktu. Tapi respons macam apa yang diterima program ini?

Dari cuitan ini saja, banyak warganet yang bersuara kontra. Apalagi setelah ada cuitan baru yang menunjukkan skema pembayaran. Di cuitan tersebut, digunakan contoh cicilan pembayaran UKT Rp12.500.000 dengan tenor 12 bulan. Setiap bulannya, mahasiswa yang mengambil cicilan harus membayar Rp1.291.667. Ini sudah termasuk biaya bulanan dan persetujuan.

Ketika ditotal, si pengguna cicilan harus membayar Rp15.500.004. Atau harus membayar bunga sebesar 3 juta lebih. Berarti, bunga sistem cicilan ini sebesar 20% lebih. Tapi Anda tidak harus sampai menghitung persentase bunganya sih. Melihat angkanya saja memang sudah ra mashok blas. Akhirnya muncul ungkapan sinis terhadap ITB. Dari kampus paylater sampai kuliah modal pinjol.

Resmi dari ITB dan perkara legalitas

Tentu ITB segera merespons berita viral ini. Kepala Biro Komunikasi dan Humas ITB  Naomi Haswanto menyatakan ITB menawarkan banyak kemudahan dalam pembayaran UKT. Mahasiswa ITB dapat melakukan pembayaran melalui layanan virtual account, kartu kredit, maupun lembaga nonbank khusus pendidikan yang sudah terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Naomi menyatakan bahwa ITB tetap memberi subsidi untuk beberapa kelompok mahasiswa. Selain itu, ITB memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajukan keberatan atas besaran UKT. Sedangkan untuk yang tidak mampu membayar UKT, bisa mengajukan cuti akademik.

Selain menanggapi masalah isu viral ini, Naomi juga mengkritik Wakil Mahasiswa Taufiq Pangestu pada Majelis Wali Amanah. Karena Taufiq merilis pembahasan UKT bersama rektor ITB ke media sosial. Naomi menekankan bahwa membayar UKT adalah kewajiban mahasiswa sesuai peraturan.

Selain ITB, OJK juga menyoroti masalah pinjol untuk membayar UKT. OJK segera memanggil pihak DanaCita.  Berdasarkan penelitian OJK manfaat ekonomi (suku bunga) yang dikenakan oleh Danacita telah sesuai dengan SEOJK Nomor 19/SEOJK.06/2023.

Menurut OJK, Danacita juga menyampaikan bahwa kerja sama Danacita dengan ITB dalam bentuk fasilitas pembiayaan mahasiswa bukan yang pertama kali, namun hal tersebut juga telah dilakukan dengan perguruan tinggi lainnya.

Kita bisa melihat bahwa perkara cicilan UKT lewat pinjol ini resmi dan legal. Bahkan tidak hanya terjadi di ITB. Pertanyaannya, apakah sistem ini membantu mahasiswa? Atau jadi masalah baru yang menambah keruwetan pendidikan?

Student loan dan pinjol ITB, sama-sama jadi masalah

Saya langsung teringat perkara isu student loans di Amerika Serikat. Sebenarnya sistem tersebut berbeda dengan sistem pinjol yang ditawarkan ITB. Student loan adalah program pemerintah federal Amerika Serikat dengan sumber dana dari pemerintah. Student loan juga menawarkan berbagai metode pembayaran, salah satunya potong gaji setelah lulus.

Tapi saya tidak akan bicara perkara sistem student loan. Namun perkara masalah yang ditimbulkan sistem ini. Student loan tidak pernah menjawab isu biaya pendidikan di Amerika Serikat. Justru malah menjadi bom waktu bagi mahasiswa. Mereka harus terikat hutang yang tidak sedikit setelah lulus. Belum lagi adanya bunga yang bisa sampai 17%. Akhirnya, para sarjana Amerika Serikat harus terus mengencangkan ikat pinggang selama bertahun-tahun sampai lunas.

Sistem pinjol ITB malah lebih bermasalah. Sebab, mahasiswa tetap harus membayar cicilan selama kuliah. Apalagi bunganya lebih besar dari bunga student loan. Yang ada malah membuat mahasiswa harus membayar lebih karena tidak mampu melunasi di muka.

Masalah bagi “missing middle”

Solusi pinjol untuk membayar UKT ini tidak akan jadi masalah penerima subsidi pendidikan. Tidak juga jadi masalah untuk mahasiswa dari golongan ekonomi atas, karena yang akan terjebak adalah kelompok mahasiswa dengan ekonomi menengah. Sialnya, kelompok nanggung ini menjadi mayoritas di Indonesia.

Kelompok menengah ini terlalu kaya untuk mendapat subsidi, tapi terlalu miskin untuk melunasi UKT. Belum lagi tidak semua mahasiswa ekonomi menengah bisa mengakses beasiswa. Akhirnya tawaran pinjol dirasa jadi solusi (meski goblok). Meskipun harus membayar lebih banyak dari yang seharusnya.

Fenomena kelas menengah ini disebut “missing middle.” Tidak hanya dalam pendidikan, namun “missing middle” juga bermasalah di berbagai lini. Dari pemenuhan kebutuhan hidup sampai pengembangan diri tertahan karena situasi serba nanggung. Bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan sosial saja harus menata anggaran yang tidak seberapa.

Kelompok “missing middle” ini tidak memiliki banyak pilihan. Mereka membutuhkan pendidikan (serta ijazah) sebagai modal kerja. Tapi tetap kesulitan untuk mengakses hal tersebut.

Pinjol bukan solusi, kita butuh revolusi!

Lalu apa solusi untuk masalah biaya pendidikan ini? Solusi macam pinjol ITB jelas bukan solusi. Lagi pula, apa sih masalah yang bisa selesai dengan pinjol? Bahkan untuk pinjol legal dan diawasi OJK sekalipun.

Selama pemerintah masih memandang pendidikan sebagai industri, maka masalah biaya akan abadi. Pemerintah harus mengubah paradigma terhadap kebutuhan pendidikan masyarakat. Sehingga biaya pendidikan tidak lagi dipandang sebagai “biaya produksi sekrup kapitalis,” tapi sebagai biaya untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Pada akhirnya, revolusi pendidikan adalah solusi. Harus ada perombakan besar-besaran dari dasar sampai puncak. Dari kesejahteraan tenaga pendidik, kemudahan akses, sampai perkara biaya yang dibebankan pada peserta didik. Kalau perkara bagaimana revolusi pendidikan dilakukan, monggo pemerintah yang mengkaji. Mosok saya lagi yang harus cari solusi?

Tanpa mengubah paradigma, maka pendidikan akan selalu menjadi industri penghasil roda penggerak kapitalis semata. Tanpa revolusi pendidikan, maka pinjol akan jadi solusi singkat yang nantinya menjadi bom waktu. Apakah kita akan melihat pendidikan baru yang bebas dari cekikan biaya? Atau nantinya anak cucu kita akan tetap engap hanya demi menambah ilmu dan menyongsong masa depan?

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Middle Class vs UKT: Melawan Jelas Kalah, Mundur Makin Berdarah-darah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version