Pilihan Boruto Sudah Tepat, Bahwa Jadi Hokage Itu Tidak Enak

Masa kecil kita dijejali oleh banyak hal seputar pentingnya meraih cita-cita. Mulai dari mimpinya Naruto yang sudah kesampaian, hingga Monkey D. Luffy yang hampir sampai titik nadir dalam kehidupannya. Semua berkutat pada tujuan, ambisi, dan keinginan. Pola-pola itu terbentuk dan masuk dalam otak saya. Mulai dari keinginan masuk SMP negeri, hingga salah satu perguruan tinggi yang sepertinya tidak mau menerima saya sekadar duduk dan belajar tentang seni. Dari anime-anime di atas, yang mengajarkan tentang usaha dan kerja keras, membentuk sifat pantang menyerah dan daftar perguruan tinggi yang sama sampai tiga tahun berturut-turut adalah bukti sahihnya. Walau nihil hasilnya, tapi tak mengapa, saya berhasil mengimplementasikan nilai-nilai adiluhung dalam anime yang secara hormat saya sebutkan.

Mengerucut pada salah satu dari dua anime hebat di atas, yakni Naruto dengan segala jerih payah mulai dari sulitnya menjadi Jinchuriki, hingga kisah cinta njelimet dirinya dengan Sakura. Menjadi Hokage adalah pilihan Naruto, sempat dianggap tidak sadar diri karena kebodohannya, ia berhasil menembus batas-batas ketidak mungkinan itu dengan menakjubkan. Pun di kehidupan nyata, status sebagai pemimpin selalu diperebutkan, dari pemilihan ketua OSIS sampai hal remeh seperti ketua kelas. Jabatan yang tugasnya memimpin doa, menyuruh bendahara laporan dan tampil ketika dibutuhkan. Ada yang berkelahi atau diem-dieman contoh kecilnya.

Sepertinya hegemoni menjadi seorang pemimpin berhenti sampai Naruto saja, bahwa dalam beberapa kesempatan, anaknya yang bernama Boruto, menyatakan tidak ingin menjadi Hokage seperti ayahnya. Pun dalam pemilihan ketua kelas di animenya, Boruto tenang-tenang saja ketika Sumire yang dipilih atas dalih kepandaiannya. Tapi inilah yang sering terjadi dalam betapa menyeramkannya bursa pemilihan ketua kelas bahwa yang pandai kadang dicap bisa segalanya.

Apa sebenarnya yang dituju oleh Boruto dalam kehidupannya? Yakni menjadi seorang Sasuke yang berkelana seperti Rhoma Irama dengan penuh misi berbahaya. Boruto ingin menjadi partner in crime dari seorang Sarada, seorang Klan Uchiha yang berani-beraninya bermimpi menjadi orang nomer satu di Konoha. Atas beban masa lampau, nyatanya Boruto tidak memandang remeh mimpi Sarada. Bahkan ia mendukungnya.

Tidak dimungkiri bahwa sejarah dimiliki oleh pihak yang menang. Dan besar kemungkinan mereka telah belajar mata pelajaran Sejarah Konoha Kurikulum KTSP versi pihak yang menang. Pihak yang menganggap bahwa Itachi adalah biang pemberontakan bersama Partai Akatsuki yang biadab. Ah, sudahlah, mereka juga masih dalam proses tumbuh. Mungkin mereka telah dirasuki oleh propaganda peninggalan Danzo dan sering memutar film Pengkhianatan UCHIHA. Tinggal menunggu waktu saja ketika mereka kuliah dan menemukan film-film versi lain kronik Klan Uchiha seperti SENYAP: The Look of Itachi atau 40 Years of Silence an Konoha Tragedy. Sehingga banyak yang akan Sarada lalui jika memutuskan menjadi seorang pemimpin. Dan Boruto memilih untuk berada di samping Sarada dengan jalan ninja yang ia pilih.

Banyak pengalaman yang membentuk pola pikir Boruto seperti ini. Dan beberapa alasan ini dapat dijadikan seagai rujukan bahwa pilihan Boruto tidak idealis-idealis amat, melainkan ia mengerti betapa tidak enaknya menjadi seorang Hokage dari ayahnya.

Pertama, mempersoalkan harta Naruto dan Hinata. Memang rumahnya Naruto sekarang masuk dalam kategori bagus. Pakaian-pakaian yang digunakan Naruto sekeluarga juga terlihat mewah. Namun. Ada rincian menarik bahwa bisa saja apa yang mereka miliki kini, adalah apa yang Hinata peroleh dari ayahnya yang terkenal tajir. Bagaimana tidak tajir, Hinata adalah keturunan langsung dari Klan Hyuuga. Bukan Kojiro Hyuga temannya Tsubasa Ozora, namun Klan Hyuuga ini adalah salah satu dari empat klan bangsawan di Desa Konoha. Klan ini acapkali mendapat tugas kelas S dari Hokage karena spesifikasi Byakugan yang dapat menembus berbagai medan. Satu misi S saja, para ninja ini digaji sebesar lebih dari 1.000.000 Ryō (mata uang Desa Konoha).

Dan sebagai catatan, 1 Ryō jika dikurskan ke dalam Yen, maka angkanya berada dalam kisaran 10-12 Yen. Sedang 10 Yen kini berada dalam angka 1200 Rupiah. Belum lagi Desa Konoha ini begitu ramah akan penghuninya. Biaya hidupnya sangat murah seperti Jogja, terbukti dengan adanya Ichiraku Ramen yang dijadikan Naruto kecil langganan favoritnya. Padahal, ketika Naruto kecil, keuangannya terbilang sangat minim karena mengandalkan beasiswa dari Hiruzen Sarutobi, sang Hokage Ketiga. Ditunjang dengan harga tanah yang kemungkinan cukup miring karena daerah ini termasuk zona merah amukan jinchuriki.

Tidak bermaksud menyepelekan, tapi apa yang Naruto sekeluarga peroleh bisa saja hasil buah tangan Hiashi Hyuuga, ayah Hinata yang terkenal penyayang (belakangan ini). Jika masalah warisan, saya tidak tahu keluarga ini memakai pembagian yang bagaimana. Jika memakai cara hitung sederhana, maka Hinata dan adiknya, Hanabi Hyuuga, memperoleh 2/3 dari harta Hiashi Hyuuga. Misalkan harta Pak Hiashi adalah enam ratus juta Ryō, maka hasil hitungnya adalah 2/3 x 600 juta Ryō = 400 juta Ryō. Jadi, Hinata dan Hanabi masing-masing memperoleh 400 juta Ryō. Bukan angka yang kecil untuk sekadar membeli tanah dan membangun rumah, bukan?

Kedua, jabatan atas belum tentu kekayaanmu berada di atas juga. “Ini adalah jalan ninjaku,” kata Naruto yang hingga kini menjadi sangat ikonik. Setelah melihat keadaan bahwa apa yang dirinya peroleh ketika menyandang gelar Hokage hanyalah berkutat pada kesibukan dan melupakan kebahagiaan anaknya, apakah seperti ini jalan ninja yang Naruto pilih? Begini lho, dalam beberapa kesempatan, dalam anime yang sampai sekarang masih masuk kategori filler, dalam chapter 93 yang menampilkan dompet erentuk kodok milik Naruto. Bagaimana bisa seorang Hokage yang telah menyelamatkan penduduk Konoha ini tidak memiliki uang sama sekali? Atau Naruto menyimpan asetnya dalam ATM?

Pun purna Hokage seperti Kakashi Hatake, setelah meletakkan jabatannya, ia hanya menghabiskan waktu bersama Guru Guy di rumahnya. Tidak membangun dinasti keluarga atau mencoba mendidik anaknya masuk dalam bursa pemilihan Hokage berikutnya karena hingga saat ini Kakashi belum memiliki anak. Juga Tsunade, yang hidupnya biasa saja, masih sederhana dan apa adanya.

Ada dua kemungkinan. Pertama, karena hutang Naruto kepada Konoha atas kejadian kala dirinya melawan Pain. Hancur leburnya Konoha bisa saja menjadi hutang abadi untuk Naruto. Atau kedua, sebenarnya memang gaji seorang Hokage itu sedikit? Kalau gitu, mending jadi Anbu dan melaksanakan tugas rank S aja dong, ya? Walau nyawa taruhannya, tapi setidaknya yo nggak pakai voucher potongan harga dari Teuchi—bakulnya Ichiraku Ramen sebagai hadiah pernikahan Naruto dan Hinata—yang ia pergunakan ketika jajan to ya. Ya, walaupun itu hadiah spesial untuknya, sih.

Ketiga, sejak menjadi seorang Hokage, sepertinya kekuatan Naruto di-nerf habis-habisan. Naruto seperti hilang sosok kuatnya ketika menjadi seorang Hokage. Ya, memang, sih, lawan-lawannya kini bukan tentang negara sebelah seperti Sunagakure, tapi sekarang Naruto gampang sekali diculik. Bahkan geng anak-anaknya ini yang berusaha menyelamatkan. Entah hal ini adalah upaya mem-balance kekuatannya dengan shinobi lain agar tidak overpower amat, atau kesibukannya di belakang berkas membuat dirinya kehilangan kekuatan terbesarnya? Sampai-sampai Kurama dalam tubuhnya yang dipanggil tiap dalam keadaan genting saja bilang, “Urusan seperti ini kau memanggilku?”

Mungkin faktor ini yang membuat Boruto berpikir dua kali untuk jadi Hokage. Ayahnya dipukul Himawari saja mengaduh, apa lagi dipukul musuh? Tapi ngilu juga sih melihat Naruto digebuk Himawari—anak keduanya—tepat di bagian krusial dan aset negara seperti itu. Tapi reaksi yang diperlihatkan seorang pahlawan perang dunia shinobi sepertinya berlebihan, ah.

Padahal ya Hokage itu manusia biasa. Sakit jika dipukul, teriak jika kaget. Seperti halnya shinobi lainnya. Hanya saja, kini Naruto harus menjaga sikap. Terlebih pembagian tugas dalam membahagiakan keluarganya atau menghabiskan waktunya dengan lembur mengurus desa adalah perkara yang sulit. Susah, sih, jatuhnya malah seperti dihadapkan dalam dua pilihan yang sama-sama penting dalam kondisi yang berbeda. Dan Boruto jelas saja tidak menginginkan terjebak secara sengaja dengan apa yang pernah terjadi pada ayahnya.

Keempat, sosok Sasuke kadung keren di mata Boruto. Mungkin jika ditarik garis lurus dalam kehidupan nyata, Sasuke itu seperti traveler vlogger. Pergi ke mana pun asal ada konten untuk dibahas, terkenal di dunia maya yang kadar eksistensinya kini lebih tinggi dari kehidupan nyata. Namun, bedanya, Sasuke pergi ke suatu tempat untuk memeriksa sesuatu yang akan ia laporkan kompatriotnya, Naruto.

Dalam chapter 114 pun ditemui geng laki-laki seperti Boruto, Mitsuki, dan Shikadai yang benar-benar tergila-gila oleh permainan kartu tajos. Kartu Shinobi ini diadaptasi dari sejarah ninja di jaman ayahnya Boruto. Dan ketika itu, kartu yang didapatkannya adalah bertipe SSR (Super Super Rare) bergambarkan ayahnya. Tapi apa yang Boruto inginkan adalah sang idola yang mengubah pola pikir tentang makna sebuah “kekuatan”, yakni Sasuke Uchiha.

Mau bagaimana pun hasilnya, apa yang dipikirkan oleh Boruto ini cukup menjadi anti-tesis kebanyakan anime yang tujuan akhirnya menginginkan sebuah kedudukan yang tinggi. Boruto adalah saya, atau mungkin kita, yang berpikiran pragmatis dan menyikapi hidup apa adanya. Beratasan dengan sebuah hal yang layak dituntut dan dikejar, dengan hal yang dipaksakan akan membuat semuanya berjalan berantakan. Toh, tidak ada salahnya menjadi Sasuke, bebas dari seragam dan bentakan atasan karena ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan selagi berbarengan dengan sebuah kebaikan.

BACA JUGA Mencari Falsafah Hidup dari Film Anime atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version