Piala Dunia Qatar 2022 akan dimulai 10 hari lagi, tapi, praktis hampir tidak ada antusiasme yang terlihat. Tayangan TV terlihat biasa saja, tak ada perdebatan di media sosial, bahkan fans Ronaldo dan Messi tak mengibarkan bendera perang. Mudahnya, Piala Dunia Qatar ini, tak dipedulikan banyak orang.
Praktis, orang yang (terlihat) agak peduli dengan gelaran ini merasa bahwa Piala Dunia kali ini akan jadi gelaran paling buruk sepanjang masa. Tidak begitu mengagetkan, karena, memang Qatar meraihnya dengan cara yang tak bisa dibilang bersih. Pun, gelaran kali ini, alih-alih menyajikan hiburan, justru merenggut kebahagiaan pencinta sepak bola.
Minim antusiasme, penuh cacian
Kalian tahu official soundtrack Piala Dunia tahun ini? Nggak? Nggak apa-apa juga. Tapi dari hal itu saja sudah membuktikan kalau memang gelaran kali ini nggak menarik. Setidaknya, kalau dibandingkan Piala Dunia 2010, gelaran kali ini amat terlihat njomplang.
“Wavin’ Flag” (versi bersih) sudah mengudara jauh hari dan melekat di kepala orang. Shakira? Jangan ditanya. Dia yang sudah terkenal, makin terkenal gara-gara Piala Dunia 2010. Dari indikator lagu saja, sudah kalah betul gelaran kali ini.
Namun, saya paham kenapa orang-orang tak antusias. Masalah-masalah HAM yang menyertai Piala Dunia ini memang jadi sorotan. Pemilihan Qatar sebagai tuan rumah pun jadi masalah.
Bagi kalian yang kurang paham isunya dan bingung kenapa Qatar dibilang “main mata”, pake logika ini aja: kenapa Piala Dunia yang biasa diselenggarakan di musim panas, digeser ke TENGAH MUSIM liga domestik? Dan kenapa liga domestik, yang sudah diatur jadwalnya sedemikian rupa, diminta mengalah? Kalau kalian mulai bertanya-tanya, nah, kalian paham maksudnya.
Ada sebuah laporan yang menyebutkan bahwa pemilihan Qatar sebagai tuan rumah sendiri sejatinya terjadi karena adanya korupsi dan suap-menyuap di antara “bapak-bapak berdasi”. Berdasarkan yang saya baca, semestinya yang menjadi penyelenggara dari Piala Dunia 2022 adalah Amerika Serikat. Namun, karena “satu dan lain hal”, rencana tersebut pun diubah dan Qatar terpilih sebagai tuan rumah dari ajang sepak bola terbesar tersebut. Atau jika ingin lebih jelas, coba lihat dokumenter tentang FIFA yang dirilis di Netflix.
Isu-isu HAM seperti perbudakan, pelanggaran hak asasi, dan pekerja yang diupah tak manusiawi membumbui perjalanan Qatar sebagai tuan rumah. Sepak bola, yang harusnya menghibur, dan menjadi sumber kebahagiaan, tak seharusnya menyiksa pekerja-pekerja. Sepak bola macam apa yang menyiksa?
Selanjutnya, kita bahas pihak yang paling tersiksa gara-gara jadwal kacau ini
Pemain tak lebih dari kuda yang disiksa
Membahagiakan penyelenggara, menyiksa pemain
Apa efek paling terlihat dari jadwal kompetisi yang terlalu padat? Betul, cedera.
Untuk pemain yang berlaga di Eropa, Piala Dunia 2022 bisa dibilang bencana. Mereka harus berlaga di tengah Liga Champion, liga domestik, dan cup domestik. Seminggu, mereka berlaga bisa 2-3 kali. Plus mereka harus latihan, atau harus menempuh perjalanan jika mereka harus bertandang ke kandang tim lintas negara.
Lalu, mereka akan menempuh perjalanan lagi ke Qatar, untuk membela negara mereka, dengan keadaan terengah-engah. Itu kalau mereka tidak cedera sebelum datang ke Qatar. Yang jadi masalah adalah, mereka cedera, padahal merekalah pemain andalan negara mereka.
Coba tengok nasib Sadio Mane. Potensi absennya Mane bikin Senegal khawatir. Dia bukan figur sepele yang bisa digantikan siapa saja. Atau coba bayangkan kalau Luka Modric, kapten dan role model Kroasia, cedera. Bisa dibayangkan betapa pincangnya Kroasia.
Daya tarik utama Piala Dunia, tak boleh dimungkiri, adalah pemain-pemain kelas dunia yang berlaga. Pun, penonton berharap ada bintang baru yang muncul dari gelaran tersebut. Jika jadwalnya saja sama sekali tak berpihak ke pemain, lalu untuk apa digelar?
Saya rasa, Piala Dunia 2022 Qatar tak berlebihan jika disebut sebagai Piala Dunia terburuk. Hak-hak asasi yang dilanggar, suap-menyuap, dan jadwal yang tak berpihak pada pemain jelas menunjukkan bahwa Piala Dunia ini digelar hanya untuk menyenangkan orang-orang yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan sepak bola. Jika Anda memilih untuk boikot, tak masalah. Saya masih nonton, tapi saya paham jika Anda pilih boikot.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nyatanya, FIFA Sama Saja dengan PSSI, Sama-sama Problematik!