Ada satu momen unik pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali beberapa waktu yang lalu. Momen unik itu muncul saat Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono alias Pak Bas, berlagak seolah-olah menjadi fotografer profesional di kegiatan akbar tersebut.
Beliau—dengan penampilan yang nyentrik dengan mengenakan topi terbalik—begitu cekatan membidik kamera DSLR lensa panjang ke arah para pemimpin negara dunia. Sontak saja aksi beliau itu menuai respons positif di jagat maya. Bahkan, sempat trending juga di Twitter dengan tagar #PakBas.
Juru bicara Kementerian PUPR segera memberikan keterangan pers bahwa Pak Bas melakukan aksi tersebut karena beliau punya hobi fotografi. Selain itu, tugas dan pekerjaan Kementerian PUPR di perhelatan G20 itu memang sudah selesai. Jadi ya nggak salah-salah banget kalau Pak Bas menyalurkan hobinya di kegiatan tersebut. Tapi sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya justru melihat ada hal lain di balik aksi Pak Bas itu. Ada begitu banyak pesan nonverbal yang sarat makna di situ. Kurang lebih, inilah pesan nonverbal yang disampaikan oleh Pak Bas.
#1 G20 kurang greget
Apa yang bisa kamu harapkan dari sebuah kegiatan besar yang dihadiri oleh pemimpin negara di dunia dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi global, ketahanan pangan, dan energi? Buat para pemimpin negara, pemangku kebijakan, dan pejabat pemerintahan, mungkin kegiatan ini sangat penting. Tapi buat orang awam macam saya ini, jelas kegiatan tersebut nggak menarik dan kurang greget.
Nah, ketika Pak Bas melakukan aksinya menjadi fotografer dadakan, seakan-akan memberikan pesan bahwa perhelatan akbar yang super formal sekelas G20 itu perlu dibuat momen-momen spesial yang bisa menarik perhatian semua kalangan sekaligus menghibur. Terbukti, aksi yang dilakukan Pak Bas di G20 menjadi trending di jagat maya. Bisa jadi orang yang awalnya nggak peduli dengan kegiatan G20 ini malah menjadi tertarik.
#2 Pejabat perlu bersikap egaliter
Penampilan nyentrik Pak Bas yang mengenakan topi terbalik sambil menenteng kamera DSLR lensa panjang terkesan jauh dari citra pejabat pada umumnya. Para pejabat publik yang biasanya berpenampilan mewah, rapi, dan formal justru dipatahkan oleh penampilan Pak Bas yang lebih mirip fotografer profesional. Dalam aksinya tersebut, Pak Bas lebih banyak berbaur dengan para jurnalis media ketimbang pemimpin-pemimpin negara dan pejabat lainnya.
Sebetulnya, dalam aksinya itu beliau memberikan pesan bahwa pejabat itu perlu bersikap egaliter dan berbaur dengan masyarakat. Jangan cuma bisa mengaku-aku bersama wong cilik dan pro rakyat tapi perkataan, perbuatan, dan kebijakan-kebijakannya justru malah mencekik wong cilik dan rakyatnya sendiri. Banyak kan yang begitu? Banyak banget malah.
#3 Jurnalistik itu penting
Ketika Pak Bas menenteng kamera DSLR lensa panjang dan membidiknya ke arah pemimpin-pemimpin negara dunia, saya menangkap pesan bahwa kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh reporter, fotografer, dan unsur media massa lainnya adalah hal yang penting dalam kegiatan tersebut.
Sukses atau nggaknya suatu kegiatan akbar sekelas KTT G20 di mata dunia nggak bisa dilepaskan dari peran media massa. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberi ruang kepada media massa dalam menyebarkan informasi dan berita sesuai dengan fakta, tanpa adanya intervensi atau pesanan dari pihak-pihak tertentu.
Itulah pesan nonverbal yang disampaikan melalui aksi Pak Bas. Pendapat saya bisa jadi benar tapi bisa juga salah. Tapi terlepas dari itu semua, kita harus banyak belajar dari beliau. Di saat pejabat lain sibuk cari muka untuk kepentingan Pilpres 2024, beliau justru jauh dari kesan pencitraan. Beliau lebih memilih beraksi—baik disengaja atau nggak—untuk menghibur masyarakat yang sedang susah.
Salam takzim, Pak Bas!
Penulis: Andri Saleh
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Presiden Ukraina, Contoh Telak Pemimpin yang Tak Tahu Apa-apa