Seumur-umur saya nggak pernah milih-milih orang saat bergaul. Mau apa pun latar belakangnya, saya pasti ajak ngobrol. Yang penting punya etika, baik, dan tidak kriminal alias merugikan orang secara materi atau mental, ya. Mau itu orang kanan, kiri, atas, bawah, sampai wibu, saya punya teman-teman yang begitu.
Ngomong-ngomong soal wibu, saya punya banyak teman-teman wibu yang bisa saya klasifikasi saking banyak jenisnya. Tapi, kira-kira ada tiga jenis yang sering saya temui secara keseluruhan. Saya bisa bilang ini valid karena saya sendiri adalah pelaku, sekaligus orang yang bergaul dengannya mereka.
Pertama, kasual wibu atau yang menyukai pop culture Jepang secara kasual atau secukupnya. Nggak terlalu berlebihan, dan cukup menikmati untuk diri sendiri atau ke orang yang paham. Orang yang begini nyaru sebagai wibu karena nggak pernah “pamer” soal itu. Saya termasuk yang ini, sih. Iya, saya suka anime dan manga, bahkan sampai mendengarkan musik-musik Jepang tapi nggak pernah “pamer” ke orang-orang lain. Era anying, ai sia.
Kedua, wibu yang intermediate. Mereka adalah wibu yang agak “pamer”, seperti mengenakan baju dan jaket akatsuki misalnya. Tapi, ngomong masih biasa dan normal. Cuma, dari luar kita tahu kalau ini orang tuh wibu, gitu. Tapi, ya, kadang-kadang kalau lagi kumat malah aneh banget asli. Biasanya mereka suka pakai tas laptop. Anjir stereotip, tapi kebanyakan gitu, sih.
Ketiga, wibu yang sangat akut. Akut parah. Mereka biasanya ngomong campur Jepang tapi nggak bisa hiragana, katakana, apalagi kanji. Udah gitu kelakuan bikin malu. Nggak bisa bedain mana dunia nyata dan anime. Untuk yang ketiga ini, saking akutnya pernah saya temui ngomong begini, “Andai Nihon (Jepang) menang PD (Perang Dunia) II, watashi (uwekkk) yakin Indonesia akan seperti Akihabara dan semua orang wibu.”
Hmmm. Untuk orang yang pernah ngomong gitu, dari lubuk hatiku yang paling dalam saya ingin katakan: Goblokkkkk. Kalau mengandai-andai tuh yang bener-bener aja ngapa, makanya itu otak jangan dipakai nonton anime doang. Baca buku, belajar sejarah, kek.
Orang-orang kayak tadi ini yang bikin wibu itu sebagai hal yang jelek. Syukurlah, belakangan wibu mulai berkurang cap jeleknya karena banyak yang mulai menerima kultur ini seiring dengan banyaknya anime bagus yang menarik atensi orang-orang. Orang-orang banyak yang suka, mereka pada seneng jadi wibu. Alhamdulillah. Tapi, ya, orang-orang yang akut kayak di atas masih ada. Masih ada dan lumayan banyak, loh. Nggak sekali dua kali saya ketemu orang yang berandai-andai kayak gitu.
Untuk teman-teman wibu, tolonglah sadar dan gunakan akalnya untuk berpikir. Oh iya, saya di sini akan menjelaskan alasan kenapa andai-andai semacam itu sangatlah bodoh sekali. Iya, pengandaian kalian soal Indonesia yang masih dijajah Jepang akan terlihat seperti Akihabara dan anime di mana-mana kalau Jepang menang PD-II. Sini saya ceritakan.
#1 Kemajuan Asia Raya? MIMPI!
Jepang hari ini memang dikenal sebagai maju dengan bermacam-macam inovasi teknologi yang mereka buat. Saya sendiri pun mengakui akan hal itu. Etos kerja mereka setelah kalah perang tidak hancur. Hari ini, mereka malah menjadi salah satu negara yang terkemuka di dunia dalam hal teknologi. Tapi ingat, mereka begitu karena kalah perang. Lantaran kalah perang. Sekali lagi. Kalah perang. Karena bagi mereka, dirasa invasi militer tidak bisa menjadi jalan menuju kejayaan, mereka menggunakan alternatif lain.
Coba kalau menang PD-II, yakin sih mereka akan tetap inovasi dalam teknologi. Yakin banget. Tapi, ya, apa iya bangsa yang dijajah mereka akan dapat “bagian” dari kemajuan tersebut? Nggak bakalan lah.
Jepang di masa PD-II adalah penjajah paling banyak janji bohong. Lihat saja, janji sebagai saudara tua dan melindungi Indonesia, tapi malah mengadakan romusha. Belum sederet kerja paksa dalam bentuk lain pada masa pendudukan Jepang, yang pastinya akan terus berlanjut kalau Jepang menang PD-II.
#2 Anime mungkin ada, tapi….
Anime mungkin akan tetap ada, wong sejarah anime saja jauh sebelum PD-II meletus. Diperkirakan anime sudah ada dari 1907, jauh sebelum ada Astro Boy yang katanya adalah anime paling pertama. Nih kalau penasaran soal sejarah anime. Saat PD-II ada juga sih anime, tapi pasti isinya tentang propaganda Dai Nippon doang.
Nggak mungkin lah isinya ada cinta-cintaan, apalagi kepikiran genre Isekai. Kagak bakal ada. Kalau Jepang menang, say goodbye buat Naruto, One Piece, Bleach, dan lain sebagainya. Anime bakal ada dengan isi penuh propaganda. Baik itu isinya menjelek-jelekkan musuh atau propaganda tentang kedigdayaan Dai Nippon. Mamam tuh anime.
#3 Kebebasan bangsa Indonesia hanya mimpi
Romusha hanya salah satu penyebab hal tersebut, belum lagi paksaan untuk ikut ke medan perang jika memang Jepang memimpin PD-II. Tahu Kamikaze? Siap-siap saja untuk hal itu. Masyarakat Indonesia diajarkan untuk menjadi pilot pesawat hanya untuk bunuh diri.
Belum lagi nasib perempuan yang banyak menjadi Jugun Ianfu dan korban rudapaksa tentara Jepang. Kebebasan beragama? Apa itu? Menundukkan badan kepada Tenno Heika dan menyembah Amaterasu adalah hal yang harus dilakukan. Islam, Kristen, Hindu, dan apa pun kepercayaan harus tunduk.
Kekayaan alam kita habis, aspal diambil untuk bagusnya jalan Jepang, dan emas-emas dijadikan perhiasan oleh perempuan Jepang yang jelita itu. Berbanding terbalik dengan perempuan bangsa Indonesia yang hanya jadi pemuas nafsu bejat tentara Jepang. Masih yakin untuk mendambakan Jepang menang PD-II?
Kalau masih batu, baca literasi-literasi akan kejamnya Jepang di Indonesia saat zaman penjajahan. Coba baca buku-buku karya Aiko Kurasawa, salah seorang sejarawan asal Jepang yang menceritakan bangsanya adalah bangsa yang kejam saat di Indonesia. Jangan malas mencari, jangan malas-malasan dengan hanya nonton anime dan banyak mengandai-andai.
BACA JUGA 4 Hal yang Paling Sering Bikin Kaum Wibu Ribut dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.