Perpustakaan Kampus Harusnya Buka 24 Jam, Masa Kalah Sama Warkop?

Perpustakaan Kampus Harusnya Buka 24 Jam, Masa Kalah Sama Warkop? perpustakaan daerah

Perpustakaan Kampus Harusnya Buka 24 Jam, Masa Kalah Sama Warkop?

Ada satu misteri besar yang sampai sekarang belum pernah bisa saya pecahkan: kenapa perpustakaan kampus selalu tutup lebih cepat daripada warung kopi pinggir jalan? Padahal jelas-jelas, tugas kuliah itu paling sering datangnya tengah malam. Saat kantuk sudah maksimal, saat pikiran mulai absurd, justru di situlah ide-ide ajaib skripsi biasanya mampir. Tapi sayangnya, ketika kepala penuh inspirasi, pintu perpus sudah lebih dulu digembok.

Sementara itu, lihatlah warung kopi dan burjo. Mereka santai saja buka 24 jam, melayani mahasiswa dengan mata panda, lengkap dengan bonus colokan listrik dan Wi-Fi gratis (yang seringnya ngadat). Ironisnya, tempat nongkrong lebih siap menemani mahasiswa lembur daripada institusi pendidikan yang katanya ingin melahirkan generasi cerdas bangsa. Ya, jangan-jangan kampus sebenarnya lebih takut kehilangan lampu listrik daripada kehilangan mahasiswa yang sedang dikejar deadline.

Kalau dipikir-pikir, perpus kampus buka 24 jam itu bukan sekadar kemewahan, tapi kebutuhan pokok. Sama pentingnya dengan nasi kucing di angkringan, atau gorengan gajih yang bikin minyaknya bisa dipakai ulang buat dua kali Lebaran. Mahasiswa butuh ruang yang nyaman, tenang, dan penuh referensi—bukan sekadar meja kayu warkop yang goyang kalau dipakai mengetik. Perpustakaan 24 jam adalah hak, bukan bonus.

Manfaat perpustakaan kampus buka 24 jam

Pertama-tama, perpustakaan 24 jam jelas akan menyelamatkan kesehatan mental mahasiswa. Bayangkan saja, ketika tengah malam kepala sudah mumet, ingin mencari referensi tambahan, tapi yang terbuka cuma tab browser dengan iklan pinjol berseliweran. Kalau perpus buka 24 jam, mahasiswa bisa langsung kabur ke sana, menemukan buku, jurnal, atau sekadar kursi empuk untuk menenangkan diri. Minimal, ada suasana serius yang bikin rasa malas sedikit berkurang.

Selain itu, perpustakaan kampus 24 jam bisa jadi benteng terakhir melawan gaya hidup nongkrong berlebihan. Bukan berarti nongkrong di warkop itu salah, tapi masa depan bangsa rasanya lebih cerah kalau mahasiswa lebih sering dikepung buku daripada asap rokok. Kalau ada pilihan ruang belajar yang nyaman, bersih, dan aman di kampus, banyak mahasiswa pasti rela mengorbankan jam nongkrongnya. Daripada uang habis buat kopi sachet lima ribu, mending habis buat fotokopi referensi skripsi.

Dan jangan lupakan, perpustakaan 24 jam bisa menumbuhkan kultur riset yang lebih serius. Mahasiswa yang terbiasa belajar di malam hari bisa lebih produktif karena tidak lagi terbatas jam operasional. Kampus juga bisa pamer: lihat, kami punya fasilitas yang benar-benar mendukung mahasiswa. Jadi, perpustakaan bukan sekadar gedung besar penuh buku berdebu yang pintunya dikunci jam 9 malam, melainkan rumah kedua bagi mahasiswa, kapan pun mereka butuh.

Perpus 24 jam vs warkop 24 jam: Pertarungan sejati mahasiswa

Fakta di lapangan sederhana saja: kalau butuh tempat begadang, mahasiswa lebih sering memilih warkop ketimbang perpustakaan. Alasannya jelas, karena perpus sudah ditutup. Akibatnya, ruang belajar mahasiswa jadi bergeser ke ruang nongkrong. Akhirnya, skripsi bab tiga lebih banyak ditulis di atas meja lengket bekas tumpahan kopi ketimbang di meja baca yang wangi kayu. Ironis, kan, kampus kalah dari warung kopi soal fasilitas belajar.

Perbedaan paling kentara, warkop memang ramah kantong, tapi tidak ramah konsentrasi. Bagaimana bisa serius menggarap tesis kalau kanan-kiri sibuk main Mobile Legends, tawa ngakak, atau debat bola yang nggak ada ujungnya? Di perpustakaan kampus, gangguan paling besar mungkin cuma suara orang bersin atau kursi diseret—itu pun masih bisa ditoleransi. Jadi sebenarnya, kalau perpus buka 24 jam, mahasiswa akan lebih punya alasan kuat buat belajar beneran, bukan sekadar numpang Wi-Fi.

Selain itu, perpustakaan 24 jam bisa jadi simbol bahwa kampus benar-benar peduli pada kebutuhan mahasiswanya. Bukan cuma soal “belajar” di siang hari, tapi juga menemani perjuangan mereka di malam hari. Karena, ayo jujur saja: mahasiswa itu lebih sering melek jam dua pagi ketimbang jam tujuh pagi. Jadi kalau kampus ingin benar-benar relevan dengan kehidupan mahasiswanya, perpus 24 jam jelas pilihan yang masuk akal.

Tantangan (jika) perpustakaan kampus buka 24 jam

Tentu saja, ide perpustakaan buka 24 jam ini tidak semulus jalannya mahasiswa ke warkop sehabis kuliah. Hambatan pertama pasti soal biaya. Bayangkan listrik, pendingin ruangan, sampai gaji tambahan untuk staf yang harus jaga malam. Kampus yang biasanya masih suka irit lampu di lorong jam delapan malam, tiba-tiba harus mikirin listrik 24 jam penuh. Bisa-bisa, uang kuliah naik bukan buat kualitas dosen, tapi buat bayar listrik perpus yang terang benderang semalam suntuk.

Selain itu, faktor keamanan juga jadi PR besar. Membuka perpus semalam suntuk berarti harus ada satpam ekstra, sistem keamanan ekstra, bahkan mungkin CCTV tambahan. Kita tahu, kalau ada ruang luas dengan Wi-Fi kencang yang buka nonstop, selalu ada potensi munculnya “mahasiswa misterius” yang entah benar-benar belajar atau sekadar menjadikan perpus sebagai kos darurat gratisan. Jangan-jangan, nanti malah lebih ramai mahasiswa tidur dengan posisi kepala di meja ketimbang mahasiswa yang serius baca buku.

Pustakawan juga manusia

Nah, jangan lupakan soal SDM. Pustakawan juga manusia, mereka punya jam tidur, punya keluarga, dan tentu butuh istirahat. Tidak mungkin kampus menyuruh stafnya berjaga 24 jam tanpa konsekuensi. Kalau pun digilir, tetap saja ada beban kerja tambahan. Jadi wajar kalau kampus ragu: mau memanjakan mahasiswa, tapi takut kerepotan di sisi pengelolaan.

Pada akhirnya, wacana perpustakaan kampus buka 24 jam memang terdengar utopis, penuh tantangan, tapi juga masuk akal untuk diwujudkan. Sebab, mahasiswa tidak hanya butuh ruang kuliah di siang hari, tapi juga ruang aman untuk berjibaku dengan deadline di malam hari. Kalau warung kopi saja bisa, kenapa kampus tidak? Perpustakaan 24 jam bukan sekadar soal listrik, satpam, atau pustakawan, tapi soal keberanian kampus mengakui bahwa otak mahasiswa bekerja paling keras justru ketika matahari sudah lama terbenam.

Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pinjam Buku di Perpustakaan Itu Menyenangkan, yang Menyebalkan Cari Bukunya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version