Pernikahan yang Didasari Cinta Mengapa Bisa Berakhir Seumur Jagung?

Magang di Pengadilan Agama Bikin Saya Lebih Realistis dalam Memandang Pernikahan broken home

Ilustrasi perceraian

Hari ini saya dapat kabar dari saudara saya, sebut saja Budi. Lama tak memberi kabar tiba-tiba saja Budi bercerita kalau setelah Lebaran dia akan menggugat cerai istrinya. Saya kaget. Otak saya lantas menghitung-hitung usia pernikahan Budi. Baru mau 3 tahun! Duh, Gusti… baru mau 3 tahun dan sudah mau bercerai.

Budi tak banyak menyebutkan alasan kenapa dirinya akan bercerai. Dia hanya bilang sudah tidak ada kecocokan lagi. Klise, memang. Saya juga tidak mengorek lebih dalam. Bagi saya, setiap rumah tangga itu unik. Tak perlulah dicari tahu sampai detail akar masalahnya. Rumah tangga rumah tangga mereka, siapa lah saya ini? Lagi pula, jika saya ada di posisi dia, saya juga pasti akan malas menceritakan alasannya. Buat apa? Kasih solusi nggak, nebar aib iya. Pun masih butuh waktu juga untuk menata hati dulu. Bagaimanapun juga perceraian bukanlah seperti putusnya orang pacaran. Ini lebih dalam dan lebih menyakiti banyak orang. Maka, saya hanya menegaskan pada Budi untuk berpikir lebih matang dan tidak terburu-buru. Tapi di ujung telpon dia menegaskan bahwa keputusannya itu sudah bulat. Ya sudah.

Budi masih lebih beruntung daripada saudara saya yang lain, sebut saja Andi. Jika Budi mampu mempertahanan rumah tangganya dalam waktu hampir 3 tahun, Andi hanya mampu bertahan selama 4 bulan. Ya. Umur pernikahannya hanya 4 bulan alias 120 hari saja.

Di luar sana mungkin masih banyak Budi dan Andi lain yang umur pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak usah artis lah. Dunia kita terlalu berbeda dengan mereka. Tidak bisa dibandingkan. Mereka terlalu Louis Vuitton bagi kita yang cuma kantong kresek. Mari kita bandingkan dengan yang selevel saja: saudara, tetangga, dan teman kita. Adakah? Kalau saya, ada. Ya itu tadi, rumah tangga Budi dan Andi.

Saya jadi berpikir, mengapa pernikahan bisa berakhir ke perceraian? Bukankah keduanya, saat menikah dulu, saling mencintai? Lantas ke mana rasa cinta itu pergi? Saya tahu betul baik Budi dan Andi mencintai pasangannya. Saya bisa melihat binar-binar bahagia saat mereka bersama pasangannya dulu. Tapi sekarang? Bercerai? Aish….

Sebagai orang yang sudah mengarungi pernikahan selama hampir 10 tahun, saya cukup mengerti bahwa membangun rumah tangga itu tidaklah mudah. Bayangkan saja, dua kepala yang beda isi tinggal bersama. Mau tutup mata, ada dia. Buka mata, dia lagi dia lagi. Belum kalau ada intervensi dari pihak ketiga.

Eh, pihak ketiga ini tidak melulu dia yang kita temui di tempat kerja, yang asik diajak ngobrol sehingga bikin hati kita kembali merasa deg deg pyar bum bum. Bukan juga dia yang kita kenal lewat medsos kemudian ternyata begitu perhatian. Tidak. Pihak ketiga itu bisa juga hadir dalam wujud: mertua, kakak ipar, adik ipar, om, tante, dll. Seringnya sih seperti itu. Tidak ada masalah dengan pasangan, tapi justru masalah itu hadir dari orang-orang di sekitaran. Mertua yang suka ikut campur, adik ipar yang sok yes, kakak ipar yang pinjem duit nggak pernah dibalikin, dll. Atau pihak ketiga itu bisa juga dalam wujud yang tak bernyawa, sebut saja: duit.

Dilihat dari latar belakangnya, saya menduga perceraian Budi dan juga Andi didasari atas faktor ekonomi alias duit. Budi seorang karyawan kontrak di pabrik kecil di luar kota. Kalau kontraknya habis, dia akan mencari pekerjaan lain. Tak jarang dia harus menganggur beberapa waktu dulu sebelum mendapat pekerjaan lain. Andi seorang pengusaha di bidang jasa. Penghasilannya tidak menentu. Kalau banyak yang order, keuangan aman. Kalau pas lagi sepi ya sepi.

Akhirnya, ketika cinta dibenturkan dengan ekonomi, cinta juga yang kalah. Janji suka dan duka dilalui bersama menguap sudah. Tidak semua. Saya yakin ada juga pasangan yang masih saling bertahan dan menguatkan meski ekonomi kekurangan. Tetap bisa tersenyum bahagia meski  besok bingung mau makan apa. Tapi sekali lagi, faktor ekonomi itu seperti pemantik api: terbakar jika di hadapannya adalah bensin, tapi bisa mati jika di hadapannya adalah air.

Untukmu yang jomblo, semoga tulisan ini tidak semakin menambah beban pikiranmu ya. Pasangan aja belum dapat, lha ini kok ditambah tulisan tentang beratnya pernikahan. Kalau memang nanti sudah bertemu jodoh yang tepat (yang tepat, bukan yang cepat), menikah saja. Adanya suatu perceraian jangan sampai membuat takut untuk menikah. Cemen, ah.

BACA JUGA Petaka dari Pertanyaan “Kapan Nyusul Nikah?” Pas di Kondangan dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version