Perkara Menu Mbak Kalis Mardiasih: kalau Menu kayak Gitu Dibilang Kurang Gizi, Terus Kita Suruh Makan Apa?

menu masakan indonesia kalis mardiasih mojok

menu masakan indonesia kalis mardiasih mojok

Perguliran info ataupun berita terkini via Twitter akhir-akhir ini memang sangat wasweswus. Saking cepatnya, kadang sering pada ngetwit “baru ditinggal blabla udah ketinggalan aja”. Saking cepatnya pula, banyak info, berita, update yang viral-viralnya dari hal-hal yang sebenarnya biasa aja tapi diributkan setengah mati. Tidak usah disebutkan, karena banyak dan sudah tenggelam, dan saya juga sudah lupa hehe.

Tapi, pagi ini ada yang lewat di timeline, seseorang yang quote tweet dari Mbak Kalis Mardiasih yang cukup ramai. Berawal dari Mbak Kalis yang mengupdate pada tanggal 4 Juli 2021 pukul 13.03 siang yang menuliskan “aku comeback. hari ini punya energi buat masak dan pamer makanan bergizi” disertai dengan sepiring cantik nasi, bayam, jagung, sambal, tempe gorang dan beberapa helai daun kemangi dengan kuah nyemek.

Saat melihat twit itu, dalam pikiran ini sama sekali tidak ada yang aneh bagi saya. Namun, mungkin berbeda dari sudut pandang akun CEO Ruang Gurau. Beliau menyampaikan, “Not to offend anyone, but.. Kalau makanan begini di Indonesia disebut bergizi, ya pantes pada kurang gizi” dengan emot murung. Menurut beliau, setelah cuitan itu banyak animo netizen untuk menyimak ilmu nutrisi banyak sekali. Dan mungkin bagi beliau, saatnya bikin utas siapa tahu viral wkwk  untuk berbagai info kepada khalayak ramai. Disampaikan beberapa hal mengenai nutrisi, gizi, vitamin, dan info lainnya.

Namun ada tweet lanjutan, “Disclaimer: saya tidak punya pendidikan formal di bidang nutrisi. Bisa jadi informasi yang saya sampaikan kurang akurat. Tujuan thread ini bukan untuk share informasi yang ditelan mentah-mentah, tapi sebagai trigger proses belajar masing-masing.”

Sebentar…

Saya tidak dalam posisi untuk berkata setuju ataupun tidak dengan hal tersebut. Namun, saya melihat dari sisi mbak-mbak biasa dari kabupaten. Dari awal, tweet dari Mbak Kalis Mardiasih sama sekali tidak ada yang aneh bagi saya. Sebab, menu itu memang lazim dimasak bagi kami warga kabupaten.

Saya tahu, niat Mas CEO tersebut ingin menumbuhkan kesadaran orang-orang akan pentingnya takaran gizi sehari-hari. Sebab, tiada logika tanpa logistik yang cukup. Tapi, masalahnya, sedari kecil kami diberitahu kalau makanan yang kalian bisa lihat di piring Mbak Kalis Mardiasih itu mengandung gizi yang banyak. Apalagi sayur, duh sampe dipaksa-paksa buat suka.

Namun, beliau—si CEO—menyampaikan bahwa tanaman memiliki kandungan antinutrisi dan racun, tahu dan produk kedelai, mengandung penghalang enzim yang mencerna protein, efek samping mengkonsumsi serat, dan beberapa penjelasan lainnya. Saat membaca itu, otak saya susah nyandak dan kesulitan memahaminya.

Apabila memang beliau berniat mulia ingin memberi info mengenai kurang gizi pada sepiring makanan itu, sepertinya penjelasannya dan bahasanya susah dicerna bagi ibu-ibu seperti ibu saya yang hidup di kampung, hal ini sangat disayangkan. Meski statement ini akan terlihat bodoh tapi ya gimana ya, mohon maaf sekali tapi sampai usia saya 20-an makan sayur itu sehari-hari dan saya merasa baik-baik saja. Seluruh utas itu seakan mencoba memberi tahu bahwa banyak orang Indonesia yang salah kaprah perkara gizi ini. Padahal makanan yang biasa saya konsumsi, itu ya makanan yang bisa kita temui bahannya di sekitar kita. Masak ya bahan yang ada salah semua? Kan aneh.

Jika memang sepiring cantik masakan Mbak Kalis Mardiasih itu dikatakan kurang bergizi, lalu ingin berharap makanan apa yang harus dikonsumsi warga Indonesia khususnya daerah kabupaten seperti kami? Apa kita perlu mengganti menu masakan warga Indonesia?

Lalu diganti dengan apa jika sebagian bahan baku yang sering kita gunakan sepertinya kurang gizi? Atau sebenarnya bukan kurang gizi namun proses pengolahannya saja yang kurang pas? Perlu penjelasan lebih lanjut dan dengan bahasa yang gampang sajalah ngomongnya. Padahal beliau saja berkata bukan pakar. Lah?

Dari semua keributan diskusi mengenai sepiring masakan Mbak Kalis Mardiasih yang juga menjadi pemandangan di pawon saya hampir setiap hari, membuat saya berpikir kalau hal-hal viral itu sebenarnya nggak penting-penting amat. Apanya yang penting coba dari ngomentarin makanan orang?

Dulu mungkin banyak yang bilang karena sebagai figur publik harus siap dengan semua komentar orang-orang. Namun kini, sosial media membuat semua itu berlaku bagi siapa saja. Hal biasa yang kita lakukan lalu diunggah di sosmed itu sama saja seperti kita melemparkan diri ke jurang untuk siap dengan semua tanggapan bahkan nyinyiran.

Saya pikir kalau memang menu Mbak Kalis Mardiasih itu dianggap nggak sehat, ya sudah. Nyatanya makanan yang blio makan itu adalah makanan yang bahannya tumbuh di negara ini dan layak dikonsumsi. Kalau harus mengganti makanan secara ekstrem, nggak mungkin.

Lagian ngapain orang yang bukan pakar ngatur-ngatur menu makan orang?

BACA JUGA Suka Duka Jadi Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan atau tulisan Ratih Kusuma Wardani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version