“Gue pengin kurus deh, tapi ya nggak sekerempeng lu juga, sih,” kata seorang teman yang lagi mau punya body goals. Mendengarnya berbicara seperti itu di depan saya yang tubuhnya memang kerempeng, ceking, kurus, kering ini sudah tidak berarti apa-apa lagi. Sebab sebagai perempuan dengan tinggi 160cm dan berat badan hanya 41kg ini, omongan orang-orang yang pesannya menyampaikan kalau saya “kelewat kurus” itu sudah berjuta kali masuk ke telinga sejak saya kecil. Punya badan kurus juga kerap disalahkan.
Selama ini, banyak orang frustasi karena tubuh mereka mungkin dianggap terlalu berisi. Tapi, kalian juga perlu tahu kalau tubuh kurus pun enggak bakal bebas dari judging masyarakat kita. Memiliki badan kurus tidak berarti bebas dari cibiran dan komentar.
Testimoni langsung dari saya sebagai pemilik badan kurus, kerempeng, ceking dan kering ini. Saya kerap dikomentari dengan berbagai macam opini. Tapi, buat saya pribadi, yang agak bikin nyesek ketika dianggap tidak adanya bagian tubuh yang montok dan menarik.
Ketika pantat tepos, payudara juga dari luar tidak berbentuk, sementara tren dan “standar kecantikan” saat ini justru memuja bentuk tubuh perempuan yang terlihat berisi di area yang tepat, di situ saya merasa gagal.
Tidak menampik, seberapa pun saya menanamkan anggapan bahwa “i am beautiful”, saat itu rasanya masih ada setitik keinginan untuk menjadi “cantik.” Setitik keinginan untuk memiliki tubuh yang senggaknya mencapai berat badan ideal. Ada setitik keinginan untuk punya bentuk tubuh yang kata orang-orang mirip gitar Spanyol itu. Saya pun kena penyakit masa kini, insecure. Untuk mengatasi ketidakpercayaan diri itu, saya menggunakan baju berlapis atau yang memiliki layer untuk menyamarkan kekurangan saya.
Walau sudah hidup berdampingan dengan omongan dan saran untuk “makan yang banyak biar berisi badannya”, tapi hasilnya nihil. Tentu ada sesuatu di dalam diri saya yang tidak bisa berbohong bahwa saya juga tidak ingin punya badan kurus yang dianggap kurang menarik ini. Mungkin juga, perasaan seperti ini tidak hanya saya alami, tapi orang lain dengan badan yang juga kurus. Saya paham, tidak ada yang benar-benar bahagia menanggapi cibiran.
Makanya nggak heran kalau ada banyak perempuan yang akhirnya terjebak pada pemakaian minyak atau masker abal-abal sampai membahayakan kesehatan payudaranya. Hanya demi dibilang montok dan jauh dari ejekan kerempeng. Beberapa perempuan bahkan akhirnya cari cara untuk membeli obat ilegal penambah berat badan yang belum terbukti aman.
Sampai suatu saat, entah kesurupan setan dari mana, saya juga membulatkan tekad untuk memiliki tubuh ideal ala gitar Spanyol. Hampir saja saat itu saya beli masker yang katanya bisa membuat payudara besar. Logika dari mana masker bisa membesarkan bagian tubuh tertentu, entahlah. Mungkin ini hanya strategi marketing yang memanfaatkan ketidakpercayaan diri orang-orang. Untungnya, saya mengurungkan niat untuk membeli obat-obat tidak jelas itu. Saya pun hanya mencoba olahraga yang tutorialnya saya lihat di YouTube.
Setiap hari libur kerja, saya kayak orang gila. Olahraga demi mendapatkan bentuk tubuh yang diinginkan. Channel YouTube yang sama hampir setiap hari saya tonton, sampai saya sudah hampir menghafal beberapa gerakannya. Saya juga mencoba untuk membetulkan posisi duduk saya yang di dalam otak saya, mungkin saja berpengaruh terhadap bentuk tubuh.
Berminggu-minggu saya melakukan itu, tapi tidak ada perubahan. Badan kurus tidak berubah jadi bentuk yang “cantik dan ideal” itu. Dan saya mulai lelah, mulai bosan dengan semua yang saya inginkan.
Menurunkan berat badan mungkin susah, begitu pun dengan menaikkan berat badan yang nggak kalah bikin frustasi. Apalagi kalau tujuan menaikkan berat badannya karena stimulus dari lingkungan sosial, bebannya jadi tambah berat.
Dari situ saya sadar, nyatanya badan kurus perempuan tidak bakal menjamin perempuan bisa jadi “primadona” masyarakat, atau setidaknya bebas dari bibir julid. Selama ini perempuan dengan tubuh gemuk menginginkan badan kurus sampai rela diet ketat dan menyiksa. Sayangnya, sudah kurus pun kita tidak bisa lepas dari cibiran.
Semakin saya mencoba untuk mendapatkan tubuh yang cantik dan ideal itu, semakin saya merasa tidak menyukai tubuh saya. Semakin saya mencoba untuk menjadi seksi, semakin saya merasa tidak seksi. Mungkin inilah yang disebut Alan Watts sebagai “The Backwards Law”.
Filsuf modern dari Inggris, Alan Watts pernah ngasih wanti-wanti umat manusia zaman sekarang tentang “The Backwards Law”. Inti gagasannya adalah, semakin kita mengejar perasaan menjadi lebih baik sepanjang waktu, semakin kita merasa tidak puas, sebab mengejar sesuatu hanya memperkuat fakta bahwa kita kekurangan hal itu dari awal.
Dalam konteks ini, Alan Watts benar. Semakin saya mendorong diri saya untuk menjadi lebih cantik, lebih seksi, lebih menarik, justru semakin saya merasa jijik dan tidak suka dengan diri sendiri. Saya justru semakin mengasihani diri sendiri karena membuatnya kelelahan. Saya hanya memberi makan nafsu dan ego saya untuk bisa memenuhi standar dan mulut julid orang-orang.
Maka dari itu, saya menghentikan semua pemikiran-pemikiran mau jadi seksi atau mau jadi gitar Spanyol itu. Saya mulai belajar untuk bersikap bodo amat. Tapi, saya tidak menjalankan body positivity seperti yang digaungkan orang-orang.
Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang bisa berpikir positif sepanjang waktu. Nggak salah kok mau terus berpikir positif tentang tubuh kita sendiri. Jika itu yang bisa membuat pribadi kita jauh lebih bebas, ya sila jalankan dan tanamkan mindset tersebut. Tapi, buat saya, saya nggak bisa menerapkan body positivity dan itu nggak cocok untuk saya. Jadi, saya coba menanamkan mindset body neutrality saja.
Saya lebih memilih fokus untuk apa yang bisa dilakukan tubuh saya daripada hanya sekedar menerima dan membuat mindset kalau “saya itu cantik luar-dalam”. Saya menghargai apa yang tubuh saya selama ini lakukan untuk saya. Sebab, walau badan saya kurus ceking begini, tapi tubuh inilah yang menjadi tulang punggung keluarga. Begitulah kira-kira konsep sederhana dari body neutrality.
Ribet ya, belajar syukur dan menerima semua yang ada di tubuh ini memang nggak pernah ada istirahatnya. Tapi, orang-orang masih enteng banget julid sana-sini ngomongin badan orang. Menyebalkan.
BACA JUGA Alih-Alih Body Positivity, Sebenarnya Alasan Untuk Melanggengkan Rasa Malas atau tulisan Atik Soraya lainnya.