Kalau ada penghargaan buat perempatan paling membingungkan di Jogja, Perempatan Mirota Godean harus masuk nominasi. Bukan cuma karena kemacetannya yang makin epik dari tahun ke tahun, tapi juga karena kisah pilu lampu lalu lintasnya yang drama banget. Dari dulu perempatan ini kayak proyek eksperimental yang nggak kelar-kelar: dipasang lampu merah, dicopot, dikasih pak ogah, makin macet, dipasang separator, makin horor.
Kalau kita pikirin baik-baik, mungkin ini bukan perempatan biasa. Ini mungkin perempatan yang dikutuk.
Dulu, di masa-masa awal perempatan Mirota Godean masih waras, pemerintah memasang lampu lalu lintas. Seperti di perempatan normal lainnya, mobil dan motor ya harus patuh, nunggu lampu hijau buat jalan. Semua berjalan baik. Orang-orang antre dengan tertib. Sopir-sopir truk nggak perlu bingung harus berhenti atau tancap gas. Pokoknya sistem berjalan.
Sampai akhirnya, lampu lalu lintas itu DICOPOT.
Alasannya? Ada yang bilang biar lebih lancar. Ada yang bilang sering rusak. Juga, ada yang bilang ada wangsit dari leluhur bahwa perempatan ini harus kembali ke hukum rimba. Entah yang mana yang benar, yang jelas setelah lampu itu dicopot, semuanya berubah.
Daftar Isi
Era pak ogah, demokrasi lalu lintas yang kebablasan
Setelah lampu lalu lintas dihilangkan dari Perempatan Mirota Godean, lahirlah para pak ogah, pejuang-pejuang jalanan yang hadir membawa harapan, tetapi malah jadi sumber penderitaan. Dengan modal gestur tangan yang lebih lincah dari wasit sepak bola, mereka mengatur kendaraan—kadang dengan efektif, kadang dengan metode “siapa yang bayar duluan, dia yang jalan duluan”.
Masalahnya, semakin banyak pak ogah, semakin kacau lalu lintasnya. Bukannya memperlancar, mereka malah jadi seperti bos kecil di tiap sudut jalan. Truk mau belok? Pak ogah maju. Motor mau nyelonong? Pak ogah kasih kode. Mobil mau putar balik? Pak ogah kasih izin, lalu jalanan jadi tambah sumpek.
Perempatan ini bukan lagi perempatan. Ini sudah jadi ajang negosiasi, transaksi, dan survival of the fittest.
Perempatan Mirota Godean era separator, ketika niat baik berujung horor
Melihat kekacauan ini, pemerintah akhirnya turun tangan lagi. Mereka pasang separator pembatas jalan di tengah jalan. Mungkin tujuannya baik, biar lalu lintas lebih teratur, biar nggak ada kendaraan nyelonong sembarangan, biar mobil nggak asal putar balik.
Tapi masalahnya… ternyata separator ini malah bikin macet tambah parah!
Kenapa? Karena mobil atau motor yang mau putar balik harus jalan lebih jauh buat cari celah. Akibatnya, kendaraan numpuk di titik-titik tertentu, bikin antrean makin panjang, dan bikin orang makin stres. Kalau dulu macetnya cuma di Perempatan Mirota Godean, sekarang merembet sampai ke ujung dunia.
Solusi? Ada, tapi…
Kalau mau dicari solusi, sebenarnya banyak. Bisa dengan membuat lampu lalu lintas lagi (jangan dicopot-copot lagi dong, capek!). Bisa dengan membuat U-turn khusus biar kendaraan yang mau putar balik nggak ganggu lalu lintas utama. Atau, bisa juga dengan mempekerjakan petugas lalu lintas beneran, bukan pak ogah yang lebih lincah dari Spider-Man.
Tapi masalahnya, kenapa solusi-solusi ini nggak diterapkan dari dulu? Kenapa harus coba-coba dulu, bikin macet dulu, bikin orang stres dulu, baru cari solusi? Kenapa rasanya seperti nonton sinetron yang nggak habis-habis, selalu ada konflik baru di tiap episode?
Perempatan Mirota Godean adalah bukti nyata bahwa kadang, dalam kehidupan ini, niat baik aja nggak cukup. Harus ada eksekusi yang bener. Dari lampu merah ke pak ogah, dari pak ogah ke separator, rasanya perempatan ini sudah menjalani berbagai fase kehidupan yang melelahkan.
Jadi kalau besok kamu lewat sini dan terjebak macet, tarik napas, buang napas, dan sadarilah bahwa kamu sedang menjadi bagian dari sejarah panjang perempatan yang tak pernah selesai ini.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Perempatan Gramedia Jogja: Perempatan Ruwet yang Mencoreng Keindahan Jalan Jenderal Sudirman Jogja