Perdebatan yang Sia-Sia dengan Orang Tua Saat Nonton Rumah Uya

Perdebatan yang Sia-Sia dengan Orang Tua Saat Nonton Rumah Uya

Orang tua saya gemar sekali menonton sinetron. Iya, orang tua: ibu dan bapak. Sinetron di TV swasta mana pun, pada jam berapa pun. Selagi di rumah dan ada sinetron tayang, pokoknya ditonton. Berita dan beberapa acara lainnya hanya menjadi selingan ketika sedang iklan. Menyebalkan? Memang. Apalagi nggak jarang orang tua saya suka emosi sendiri dan ikut berkomentar, “Nah, rasain, makanya jangan selingkuh! Udah dapet suami kaya dan ganteng juga!”

Hadeeeh, Pak, Bu, nggak usah serius bangetlah kalau nonton sinetron. Menikmati tontonan boleh, tapi nggak perlu ikut komentar seakan ngasih usulan ke para pemeran adegan juga. Mereka nggak dengar. Suara dari depan layar kaca nggak akan mengubah keputusan para pemeran adegan, lho!

Meski nggak bisa dimungkiri, alur cerita pada setiap episode sinetron salah satu tujuannya memang untuk memainkan emosi para penonton setianya. Yang menyebalkan, terkadang ending cerita di tiap episodenya dibuat kentang. Nanggung. Sengaja, biar penonton semakin penasaran, terus menonton kelanjutan ceritanya, lalu lanjut nonton lagi di keesokan harinya. Begitu terus sampai tamat. Setelah itu, lanjut season berikutnya. Gitu aja terus.

Selain sinetron, orang tua saya juga sangat senang menonton reality show. Iya, acara yang kurang lebih berisikan drama yang sama dengan segala keabsurdan ceritanya. Sama-sama bikin kesel. Dan reality show yang orang tua saya sukai, bahkan sampai dengan saat ini menjadi tontonan favorit adalah Rumah Uya.

Hampir tiap sore di waktu senggang, mereka menonton Rumah Uya. Jika saya sedang di rumah dan mencoba memindahkan tayangan tersebut, nggak jarang saya diomelin. “Eh, jangan dipindah dulu, Mas! Ibu lagi seru nontonnya.” Saya sudah coba sampaikan ke ibu dan bapak secara baik-baik, “Pak, Bu, ini tuh acara settingan, nggak perlu diseriusin gitu.” Akan tetapi, mereka tetep kekeuh pada pendirian bahwa acara ini adalah nyata adanya.

Saya coba jelaskan kembali bahwa beberapa pemerannya adalah talent dan perseteruannya ya berdasarkan script. Hasilnya tetap nihil. Bagi orang tua saya, Rumah Uya seakan menjadi penengah bagi setiap orang yang memiliki masalah. Bahkan tak jarang memberi solusi yang baik.

Kadang saya mikir, kalau memang Rumah Uya bukan acara settingan dan benar adanya—bisa menyelesaikan masalah dan mendamaikan banyak orang—kenapa ketika ada perpecahan politik, kelompok yang terbagi menjadi dua kubu nggak datang aja ke Rumah Uya? Kan enak, bisa duduk bareng dan damai. Eh, gimana?

Meski sudah diberitahu berkali-kali bahwa acara ini settingan, orang tua saya tetap menjadikan Rumah Uya sebagai tontonan di sore hari. Respons saya selalu sama, “Pak, Bu, masih nontonin ini aja.” Beberapa hari terakhir, mereka tidak merespons ketika saya coba memberi komentar. Pikir saya, mungkin Bapak Ibu semakin menikmati setiap drama yang terdapat di dalam setiap episodenya.

Apalagi, saat ini di Twitter sedang ramai membicarakan salah satu episode Rumah Uya terbaru, iya yang ada orang lompat-lompat itu. Dari lompat pagar, tembok, tangga, sambil berlari dengan begitu kencangnya. Ditambah angle yang mumpuni. Betul-betul mirip film action. Jago betul memang parkour-nya. Saya sih hanya ketawa geli sambil kebingungan melihat video-nya. “Ini apa banget, sih?!”

Setelah semakin sering menonton acara Rumah Uya, akhirnya orang tua saya berpendapat bahwa acara ini hanyalah settingan belaka. Bapak dan Ibu kompak merasa ada yang janggal dari setiap pertikaian yang ditampilkan. “Bener, Mas. Lama-lama acara ini kok membingungkan, ya. Masa mau aja sih aibnya diumbar?” Nah, itu salah satu poinnya. Maksud saya juga begitu, Bapakku, Ibuku~

Terus, kenapa selama ini kita harus selalu mendebatkan hal yang sama berulang kali? Sesuatu yang sebenarnya sia-sia untuk diperdebatkan, karena kita sudah sama-sama mengetahui jawabannya. Tapi, nggak apa. Lebih baik telat menyadari daripada nggak sama sekali. Maksud saya, nggak apa-apa kalau memang mau nonton, tapi, nggak perlu lah sampai serius banget. Apalagi sampai marah-marah segala.

Saya, kalaupun harus nonton acara sejenis, biasanya hanya untuk sekadar hiburan. Jadi bahan tertawaan atau ceng-cengan. Nggak pernah sampai serius. Capek kalau nonton acara seperti itu sampai serius segala. Hidup saya sudah terlalu banyak bercanda, jadi, alangkah baiknya kembali serius dalam menjalani hidup.

BACA JUGA Memangnya Dia Artis? Kok Nggak Pernah Masuk TV? atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version