Ada satu efek efisiensi anggaran yang bikin saya begitu sedih. Alih-alih mengutuk pihak yang bertanggung jawab, yang ada justru konflik antarkorban: ASN vs non-ASN.
Sejak pengumuman efisiensi anggaran keluar, mulai banyak orang yang mengeluarkan pendapat bahwa ini sebenarnya langkah yang baik. Tentu itu tidak masalah, hak untuk berpendapat memang harus ditegakkan dan dijaga. Sekalipun pendapat itu jelek dan bodoh, ya nggak apa-apa. Orang memang harus berangkat dari titik itu, agar bisa makin berkembang.
Hanya saja, jika pendapat bodoh itu dipaksakan, dan malah berkembang jadi konflik tak perlu, itulah yang jadi masalah. Persis yang terjadi hari ini.
Banyak orang malah menjadikan ini seakan-akan usaha untuk menghina ASN yang selama ini kerap dianggap jadi beban negara. Menyunat dana kementerian dianggap suatu hal yang lumrah, karena dana gemuk yang mereka terima itu (dianggap) nggak pernah tepat sasaran. Daripada nggak jadi apa-apa, mending dihilangkan saja sekalian. Malah bisa dialihkan ke sasaran lain.
Keliatan masuk akal kan? Iya, keliatan doang.
Daftar Isi
Efisiensi anggaran paling nggak masuk akal
Saya setuju bahwa dana yang diterima kementerian itu begitu besar. Sangat besar malah. Efisiensi anggaran sebenarnya memang jadi salah satu cara mengetahui kebutuhan sebenarnya. Tapi kata kuncinya adalah efisiensi. Nyatanya yang terjadi adalah pemotongan ugal-ugalan.
Ini masih jadi perdebatan panjang sebenarnya. Tapi saya coba bahas dulu.
Pemotongan ugal-ugalan ini justru tidak mencerminkan efisiensi anggaran sama sekali. Ada kementerian atau badan yang sebaiknya jangan pernah disentuh, seperti BMKG dan Basarnas. Ini logika dasar saja: menyunat anggaran badan yang ngurusin cuaca dan bencana di negara penuh potensi bencana alam itu jelas bukan langkah pintar.
Padahal ada hal yang bisa dilakukan untuk efisiensi. Misal, misalnya banget, dana pensiun untuk anggota dewan yang kerja cuman 5-10 tahun. Atau, menghilangkan fasilitas mewah yang tidak esensial yang diterima oleh pejabat. Apa pun itu, asalkan tidak mengorbankan ASN yang jabatannya kroco, hingga banyak yang dirumahkan. Kan aneh yak, ngomongin efisiensi, tapi pokok masalahnya malah tidak disentuh.
Itu baru satu contoh saja, masalah efisiensi anggaran ini masih banyak. Tapi malah direduksi jadi ASN vs non-ASN. Kalau level perdebatan cuma begitu terus, enak betul oligarki yang ada di atas sana. Mau bikin kebijakan berbahaya kek mana pun, akan aman-aman saja karena ada aja hal nggak esensial yang diributin.
Ngomong-ngomong, bakal banyak beasiswa dipotong dan UKT naik gara-gara efisiensi anggaran. Terus kalian masih milih adu bacot? Ya Allah.
ASN dan si paling swasta, berhenti adu bacot
Yang paling saya benci sih di peperangan ASN vs non-ASN ini adalah si paling swasta. Bikin opini kalau efisiensi anggaran itu biasa di swasta, 1 orang di swasta bisa ngerjain 5 kerjaan sekaligus, dan opini sok keras sejenisnya.
Sebenarnya opini tersebut ada benarnya. Tapi, nggak semua yang benar itu bisa dipakai dan tepat untuk dipakai.
Coba lihat masalah dengan lebih luas ngono lho. Masalahnya itu bukan 5-6 orang ngerjain satu pekerjaan atau gimana, tapi perkara pemerintah tidak tepat dalam bikin kebijakan. Oke, bahwa ada kerja-kerja tidak efisien dalam kementerian, misalnya. Tapi, solusinya bukan anggaran vital dipotong dan ASN pada dipecatin. Itu namanya akrobat logika. Kan bisa dibikin sistem yang lebih efektif, dan dilihat siapa yang sebenarnya benalu. Nah, yang dicabut itu aja, kagak semua dipenggal kepalanya. Kalau gitu mah, goblok namanya.
Asal tau aja ya, nggak hanya pekerja swasta yang mengerjakan banyak job desc dalam satu waktu. ASN pun juga. Pengin contoh nyata? Guru itu lho. Administrasinya bejibun, masih kudu ngajar, masih kudu memperhatikan siswa, masih dituntut untuk membentuk siswa jadi malaikat lagi. Kalau kayak gitu nggak kamu anggap job desc dobel-dobel, ada yang salah di caramu berpikir.
Kalau misalnya emang mau efisiensi anggaran, bisa dengan membaca tulisan Mas Ahmad Arief tentang ASN deadwood. Orang-orang kek ginilah yang bikin citra ASN terjun bebas, padahal pegawai negeri muda yang berdedikasi itu banyak. Kenapa orang berdedikasi kalian bacotin dan kena imbas masalah yang dibikin para deadwood?
Menang jadi arang, kalah jadi abu
Di saat-saat kayak gini, para si paling swasta harusnya justru jadi bekingan para ASN. Mereka kan tahu bahwa dipecat sewayah-wayah itu nggak enak, harusnya bersimpati. Bukannya malah ikutan tepuk tangan. Justru ini saat paling tepat bagi rakyat, terlepas apa statusnya untuk bersatu.
Ingat, mayoritas rakyat Indonesia itu bisa jatuh miskin dengan mudah. Bukan karena goblok dalam literasi finansial, bukan karena tiap hari beli kopi, tapi karena pemerintah yang ugal-ugalan. Jadi, ngapain kalian saling bunuh?
Perdebatan ASN vs non-ASN ini baiknya dihentikan. Di saat kalian saling bacok, ada kementerian yang mengangkat selebriti jadi stafsus. Sana lanjut bacok-bacokan lagi, jelas-jelas menang jadi arang, kalah jadi abu, dasar ora mutu!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA ASN Mau Baik atau Brengsek Adalah Cerminan Masyarakatnya