Sebenarnya saya malas membahas perkara film. Selain tidak berminat, saya membayangkan film—alur cerita dan adegannya—terlalu mengada-ada. Dan Lembaga Sensor Film—yang rese. Tigal hal itu membuat saya menjaga jarak jika ada obrolan perkara film. Setidaknya begitulah, beberapa tahun terakhir.
Anehnya sepulang kerja, dengan badan yang capek. Saya iseng googling sebuah film—yang kata temen kerja sekaligus aktivis semasa kuliah—asal Korea yang recommended bukan kaleng-kaleng. Tidak perlu waktu lama, keesokan harinya saya memutuskan menonton film itu.
Film ini berjudul Parasite (judul aslinya Gisaengchung) karya Bong Joon-ho. Awas, spoiler alert! Pada permulaan film, penonton sudah disuguhkan semacam panggung tragedi keluarga miskin Kim Ki-taek (Song Kang-ho). Bekas sopir yang menganggur. Sehari-sehari hanya bekerja sebagai buruh borongan melipat kardus pizza. Ia tidak melakukan pekerjaan itu sendirian, tetapi dibantu istrinya, Choong Sook (Jang Hye-jin), dan kedua anaknya Ki-woo (Choi Woo-shik) dan Ki-jeong (Park So-Dam).
Tentu mereka melakukan pekerjaan itu bukan perkara seberapa besar upah yang mereka terima. Tidak ada pilihan lagi. Sederhana saja, asalkan bisa untuk makan sehari-hari di rumah semi-basement di ujung gang.
Sempit, pengap, sekaligus lembab. Jendela kacanya sejajar dengan jalan sehingga kejadian di gang misalnya tetangga pemabuk yang gemar kencing sembarangan—mereka tahu. Begitulah gambaran singkat rumah mereka. Jauh dari kata layak.
Saking melaratnya, Ki-woo dan Ki-jeong—dalam sebuah adegan—hanya bisa bermain ponsel di area toilet rumah. Menumpang WiFi tetangga. Pun sesekali waktu Ki-taek membiarkan jendela terbuka agar isi rumah terpapar fogging secara cuma-cuma. Miris memang.
Anehnya mereka menikmatinya. Adegan-adegan tersebut dibungkus rapi secara humoris. Mereka bahkan tidak terlihat depresif. Santai saja. Atau jangan-jangan mereka sudah terbiasa dengan penderitaan hidup. Barangkali sudah terlatih untuk menjadikannya lelucon. Seandainya itu kita, pasti sudah sambat kemana-mana.
Alur ceritanya mulai menarik—setidaknya menurut saya—ketika teman Ki-woo menawarinya pekerjaan sebagai guru les privat seorang siswi SMA dari keluarga kaya. Berbekal ijasah yang dipalsukan—jangan-jangan komedian Qomar terinspirasi dari film ini. Entahlah, saya tidak ingin membahasnya—Ki-woo penuh percaya diri, bergaya necis nan modern berangkat ke sebuah rumah milik keluarga Park di kawasan perumahan elit.
Mereka terdiri dari Tuan Park (Lee Sun-kyun), Nyonya Park (Cho Yeo-jeong), anak perempuannya Da-hye (Jung Ziso)—yang akan diajar oleh Ki-woo—dan adik laki-lakinya yang masih anak-anak, bernama Da-song (Jung-Hyeon-jun).
Awalnya Nyonya Park menyeleksi Ki-woo dengan metode wawancara. Tentu tahapan ini berjalan dengan lancar karena Ki-woo sudah terlatih menjual omong kosong. Hingga berlanjut ke sesi pengajaran pertama. Da-hye pun langsung merasa cocok dengan tipikal guru lesnya.
Nah, sejak resmi bekerja untuk keluarga Park, Ki-woo sudah berpikir tentang cara terbaik untuk mengeksploitasi kesempatan berharga ini. Dengan cara seperti apa? Silakan tonton sendiri film Parasite ini. Kalau nulis terlalu banyak nanti dimarahi redaktur tauk.
Poinnya adalah sejak awal penonton sudah diajak untuk bersimpati dengan kemiskinan yang mendera keluarga Ki-taek. Meski pada akhirnya melakukan penipuan berantai—entah kenapa—perbuatan itu cenderung bisa dimaklumi. Saya menduga bukan karena mereka ditempatkan sebagai pemeran tokoh utama semata, tapi karena mereka dinarasikan sebagai korban kemiskinan—meminjam istilah yang sedang trending—terstruktur, sistematis, dan masif. Ups.
Kemiskinan sistematis terjadi ketika seseorang menerimanya karena warisan keluarganya, korban ̶j̶a̶n̶j̶i̶ kebijakan pemerintah, tinggal di wilayah kumuh, dan terpinggirkan. Maka saya cenderung simpatik bahkan memaklumi jika mereka bertindak kriminal atas nama keterpaksaan. Eh
Tak heran muncullah kesenjangan sosial-ekonomi secara ekstrem. Masyarakat kemudian terbelah di berbagai tempat terutama di kota-kota besar. Seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Menonton Parasite menurut hemat saya bisa menjadi semacam refleksi atas kesenjangan sosial-ekonomi yang terpampang nyata di lingkungan sekitar kita.
Masalah ini sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini. Sejak awal tahun 2017, berbagai media massa telah menyinggung tentang tingginya ketimpangan di Indoesia dan termasuk yang terburuk di dunia. Lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, melakukan survey yang dirilis di akhir tahun 2016. Menyebutkan bahwa ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survey lembaga itu, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Nah isu inilah yang kemaren sempat ̶d̶i̶a̶n̶g̶k̶a̶t̶ ̶d̶a̶l̶a̶m̶ ̶p̶e̶r̶d̶e̶b̶a̶t̶a̶n̶ digoreng oleh para elit partai politik saat kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Hanya pemanis untuk menggaet suara. Tak lebih dari itu. Lah wong para elit partai politik itu bagian dari 1 persen orang kaya tadi.
Makanya kalau Mas Agus mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat periode 2019-2024 saya mendukung penuh. Beliau ini bagian dari wong cilik dan low profile. Konon, saat lamaran ke Blora Mas Agus ini tidak memakai sepatu tetapi sandal swalow. Simbol wong cilik. Kurang bukti apa coba.
Balik lagi ke fokus pembicaraan. Kini Indonesia memiliki Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024. Kita menyongsong sebuah pemerintahan baru. Maka sudah selayaknya pemerintah menjadikan ketimpangan ini sebagai tantang besar pembangunan yang harus (segera) diatasi.
Mengevaluasi seluruh kebijakan mulai dari reforma agraria, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dan pembangunan infratsruktur—seberapa jauh kebijakan-kebijakan tersebut berdampak langsung kepada warga.
Parasite tidak hanya menyuguhkan ̶p̶e̶m̶e̶r̶a̶n̶ ̶O̶p̶p̶a̶-̶o̶p̶p̶a̶ ̶g̶a̶n̶t̶e̶n̶g̶ keindahan alur cerita dan akting yang menawan. Lebih dari itu. Ia menyadarkan kita. Kesenjangan itu ada dan nyata.