Mie Ayam Jogja dan Mie Ayam Solo: Begitu Berbeda, tapi Sama-sama Bikin Hati Tenang

Mie Ayam Jogja Ternyata Tak Seenak Reputasinya, Makan Sekali Langsung Kapok, Mie Ayam Malang Jauh Lebih Enak mie ayam solo

Mie Ayam Jogja Ternyata Tak Seenak Reputasinya, Makan Sekali Langsung Kapok, Mie Ayam Malang Jauh Lebih Enak (Shutterstock.com)

Sebagai orang Solo yang mempunyai istri orang Jogja, tentu saja sudah cukup lama mondar-mandir antara Jogja dan Solo, saya punya satu kesimpulan sederhana tapi krusial: perbedaan yang cukup unik di antara dua kota ini bukan hanya tentang pakaian adat, dialek, harga kos, atau gaya hidup. Tapi ada di semangkuk mie ayam.

Betul sekali, mie ayam. Hidangan sejuta umat, tersebar di setiap penjuru jalanan, baik diperdagangkan dalam bentuk gerobak, kaki lima, atau semi rumah makan. Mie Ayam adalah penyelamat perut di akhir bulan, dan teman setia mahasiswa perantauan, penghangat di kala dingin. Sekilas sama: mie, kuah, ayam, sawi, dan pangsit. Tapi begitu sendok pertama menyentuh lidah, baru terasa. Mie ayam Jogja dan mie ayam Solo seperti dua sepupu yang lahir dari keluarga yang sama tapi tumbuh dengan kepribadian berbeda.

Mie ayam Jogja, manis dan romantis

Mari mulai dari Jogja. Mie ayam di kota pelajar ini identik dengan kemanisan. Mungkin karena warganya lembut dan romantis, bumbunya pun ikut manis. Potongan ayamnya berlumur kecap dengan warna cokelat mengilap yang menggoda. Kuahnya cenderung ringan, sekadar membasahi mie agar tak kering. Kadang, rasa gurihnya kalah oleh kecap yang menari-nari terlalu riang di lidah. Tapi bagi banyak orang, inilah ciri khas yang bikin kangen. Mie ayam Jogja seperti cinta masa SMA: manis, agak lebay, tapi selalu bikin ingin kembali.

Berbeda dengan Solo. Di kota batik ini, mie ayam tampil lebih kalem, lebih “sopanan”. Cita rasanya condong ke arah gurih ringan, dengan kuah yang lebih banyak dan bening. Potongan ayamnya bukan hanya disemur kecap, tapi sering dicampur dengan bumbu rempah yang lebih berani. Kalau Jogja cenderung manis seperti puisi Chairil Anwar yang belum disunting, Solo adalah esai yang rapi, tenang, dan berimbang antara asin dan gurih. Tidak heran banyak orang Solo yang datang ke Jogja sering mengernyit, “Iki kok legine kebangeten, yo?”

Soal topping pun beda. Di Jogja, banyak penjual yang gemar menambahkan cah sawi atau bakso kecil atau bakso goreng sebagai pelengkap. Kadang ada juga yang pakai minyak ayam kental berwarna kekuningan yang bikin rasa makin nendang. Di Solo, justru kesederhanaan yang dijaga: mie, ayam, dan kuah. Kadang ditambah pangsit rebus atau goreng, tapi jarang neko-neko. Filosofinya sederhana: tak perlu berlebihan untuk bisa memuaskan.

Solo dinikmati dengan tenang

Hal menarik lainnya adalah suasana tempat makannya. Di Jogja, mie ayam sering dijual di depan kampus, pinggir jalan, atau warung tenda yang ramai mahasiswa. Suasana riuh tapi hangat. Di Solo, mie ayam lebih sering dinikmati di warung yang tenang, kadang di rumah warga yang disulap jadi kedai kecil. Makannya sambil ngobrol pelan, seperti menikmati waktu yang berjalan lebih lambat.

Pada akhirnya, saya tak bisa bilang mana yang lebih enak. Mie ayam Jogja dan mie ayam Solo punya keunikan masing-masing—seperti dua sahabat yang saling melengkapi. Mie ayam Jogja mengajarkan saya bahwa hidup perlu sedikit manis agar tak terasa getir. Sementara mie ayam Solo mengingatkan bahwa keseimbangan dan kesederhanaan adalah kunci kenikmatan yang tahan lama.

Jadi, kalau Anda sedang di perbatasan Klaten dan bingung mau pilih yang mana, pesannya dua-duanya saja. Lagi pula, dalam urusan mie ayam, tak perlu berpihak. Cukup biarkan lidah yang menentukan ke mana ia jatuh cinta.

Penulis: Panggio Restu Wilujeng
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mie Ayam Sekitar UNS yang Jadi Andalan Mahasiswa: Enak, Murah, dan Bebas Parkir

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version