Hari Kemerdekaan Indonesia masih 3 bulan lagi. Namun, setiap sekolah dan pemerintah, baik pusat maupun daerah sedang sibuk menyeleksi putra putri terbaik untuk diberi mandat sebagai pasukan pengibar bendera pusaka atau Paskibra. Tiap siswa yang ingin menjadi anggota Paskibra harus melewati tahapan seleksi yang super ketat dan berlatih dengan sangat berat. Maka tak heran jika kesan bangga dan prestisius begitu melekat bagi mereka yang menyandang status sebagai Paskibra.
Saya pernah menjadi anggota Paskibra, tapi hanya sebatas Paskibra sekolah, nggak sampai kota apalagi nasional. Namun, saya cukup bangga walaupun berada di tingkat yang rendah. Saya mengikuti ekstrakurikuler tersebut berdasarkan kerelaan dan kesadaran diri sendiri tanpa paksaan siapa saja. Saya menganggap bahwa Paskibra itu keren dan sanggup membentuk mental yang kuat. Tapi, dari pengalaman itulah akhirnya saya mengerti bahwa Paskibra tidaklah seindah kelihatannya, saya malah cukup menyesal pernah tergabung di dalamnya.
Senioritas di Paskibra
Hal yang paling saya sadari adalah paskibraka mengajarkan untuk tunduk dan patuh pada semua ucapan senior atau pelatih. Dalam praktiknya, para senior dan oknum pelatih ini seringkali melakukan perpeloncoan yang bikin seluruh badan remuk. Sebenarnya, jika perintah mereka realistis, masuk akal, atau mengajarkan hal bermoral, saya tidak keberatan. Malah dengan senang hati saya lakukan. Tapi, ketika mereka memerintahkan hal absurd seperti guling-guling di tanah, push-up terus-menerus, atau sengaja dijemur, saya pun mempertanyakan sebenarnya buat apa sih melakukan hal-hal itu?
Mirisnya, di tengah kegiatan tersebut, para junior tidak diperbolehkan mempertanyakan atau membantah ucapan senior. Sekali bantah, fisik dan mental bisa jadi korban. Entah apa konsekuensi yang bisa terjadi jika berani menyangkal. Dulu saya juga nggak berani melawan mereka dan selalu melakukan apa yang diperintah. Namun, saya menjadi sadar bahwa praktik seperti itu, menurut saya merupakan suatu upaya pembungkaman senior terhadap junior. Atau biasa disebut senioritas. Senior bisa melakukan apapun seenak jidatnya hingga junior itu selalu taat padanya.
Saya merasa Paskibraka itu (maaf) dibodohi oleh senior dan pelatihnya sendiri, apalagi kalau ada senior yang berlagak arogan. Harus melakukan ini dan itu tanpa banyak ceriwis. Kalau tidak, pasti dianggap melawan. Saya dkk pun pernah mengalaminya, seperti diminta push up di atas lapangan basket yang disengat matahari hingga membuat tangan melepuh. Lalu, kami pernah disiram air hingga basah kuyup sekujur badan. Senior saya yang melakukan itu pun juga mengalami hal serupa bahkan lebih menyakitkan dari seniornya dulu. Akhirnya hal tersebut menjadi ajang balas dendam senior yang dilampiaskan ke junior. Memang benar sih mental jadi bakoh, saking bakohnya kami jadi terbiasa dengan cacian atau hukuman.
Pembungkaman yang tidak saya sukai
Terlepas dari itu, saya tahu bahwa Paskibra mengajarkan hal-hal positif yang berguna dalam kehidupan seperti kepemimpinan, kedisiplinan, kesetiaan, dan persaudaraan. Dalam beberapa aspek hidup saya, nilai-nilai yang diwariskan Paskibra tersebut masih saya pegang erat-erat. Saya ingat betul, dulu ketika ada satu teman yang dihukum, maka saya dan teman-teman yang lain juga ikut merasakan kepedihannya. Bahkan, kami merelakan diri untuk dihukum juga. Kami merasa iba tapi tidak berdaya.
Akan tetapi, ketika ingat kembali pada pembungkaman yang kerap terjadi, saya jadi jengkel dan menyesal menjadi anggota Paskibra. Selain karena sudah tidak relevan, usaha tersebut hanya mematikan daya kritis siswa. Walaupun perintah tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka harus tetap mematuhinya. Ketika mereka hanya dituntut sebagai pelaksana perintah, maka secara tidak langsung para anggota Paskibra sedang digiring menuju sistem kepemimpinan militeristik. Selalu “Siap laksanakan” untuk tercapainya tujuan. Iya sih baris-berbaris mirip tentara, tapi sistem melatihnya ya jangan disamakan. Rakyat sipil kok di-militerisasi?
Pelatihan Paskibra perlu direlevansikan dengan situasi modern saat ini. Para senior atau pelatih seharusnya tidak lagi menggunakan cara lama dalam melatih atau menginstruksi junior. Tidak perlu ada bentak-bentak, hukuman fisik, permintaan aneh, atau perintah nggak masuk akal demi menjaga kehormatan Anda sekalian. Untungnya apa sih? Biar disiplin? Bukan disiplin jatuhnya, tapi takut. Takut dihukum, takut diguling ke tanah, takut dimarahi.
Dan anggota Paskibra harus berani bertanya dan menolak segala perintah yang tidak masuk akal. Kebanggaan dan rasa hormat menjadi anggota Paskibra itu memang menggiurkan, tapi jangan sampai pemikiran jadi korban. Dia harus tetap kritis dan tajam.
Sekali lagi, cerita di atas berdasar pengalaman saya mengikuti kegiatan Paskibra di sekolah. Mungkin tidak semua Paskibra mengalami apa yang saya rasakan. Hanya saja, saya tetap ingin membagikannya supaya mereka yang hendak mengikuti kegiatan ini benar-benar menyadari kemungkinan kejadian yang akan dihadapi.
Penulis: Yessica Octa Fernanda
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
