Surat Terbuka untuk Pedagang Pentol: Pentol Kotak Itu Inovasi Paling Nggak Penting dan Menyalahi Kodrat!

Surat Terbuka untuk Pedagang Pentol: Pentol Kotak Itu Inovasi Paling Nggak Penting dan Menyalahi Kodrat!

Surat Terbuka untuk Pedagang Pentol: Pentol Kotak Itu Inovasi Paling Nggak Penting dan Menyalahi Kodrat! (Martin Thoma via Wikimedia Commons)

Apa sih yang merasuki para pedagang sampai nekat menciptakan pentol kotak?

Sebagai orang yang lahir di Indonesia, saya bersyukur karena selain kaya akan budaya, negeri ini juga kaya akan camilan nikmat yang mampu menggoyang lidah. Beberapa camilan yang menjadi favorit banyak orang di antaranya batagor, tahu bulat, cimol, cireng, dan masih banyak lagi.

Akan tetapi dari sekian banyak camilan yang saya sebutkan di atas, ada satu camilan yang mendapat tempat khusus di hati saya, yakni pentol. Menurut saya, olahan campuran tepung dan daging dengan bentuk bulat ini adalah camilan yang enak dan minimalis. Kita nggak perlu memikirkan banyak hal saat akan menyantapnya selain mikirin mau pakai sambel atau nggak.

Selain itu, menemukan makanan satu ini juga bukan perkara sulit. Di mana pun kamu berada, kamu pasti mudah menemukannya. Makanya saya menobatkan makanan satu ini sebagai camilan terfavorit abad ini. Bahkan, saya sampai ingin merevisi kalimat Karl Marx yang mengatakan “agama itu candu” menjadi “pentol itu candu”.

Sayangnya, belakangan ini saya dibuat kecewa dengan inovasi para pedagang yang menciptakan pentol dengan bentuk kotak. Jujur saja, pentol kotak adalah inovasi yang nggak mutu dan cenderung menyalahi kodrat makanan itu sendiri.

Pentol kotak hanya mengurangi esensi dan kenikmatan makan yang sesungguhnya

Menurut saya, pentol itu bentuknya wajib dan harus bulat. Saya yakin, mendengar namanya saja, kamu pasti langsung kebayang bentuknya yang bulat, kan? Bahkan dari beberapa generasi terdahulu bentuk pentol sudah pasti bulat. Lalu, kenapa para pedagang kini menyimpang dari pakem tersebut?

Pentol kotak hanya membuat saya merasakan culture shock saat menikmatinya. Sebab, bertahun-tahun saya terbiasa dengan bentuknya yang bulat dan kenyal. Meskipun terbuat dari adonan yang sama, percayalah kalau perasaan saat menikmatinya itu beda, seperti memasukkan benda asing ke dalam mulut.

Baca halaman selanjutnya: Inovasi yang mempersulit diri sendiri…

Rasa sama hanya beda bentuk, sebuah inovasi yang mempersulit diri sendiri

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya kalau adonan yang digunakan pada pentol berbentuk bulat dan kotak ini sebenarnya sama, mereka hanya dibuat berbeda bentuk. Pertanyaan selanjutnya, fungsinya apa? Bukannya menjadi sebuah inovasi baru, justru pentol kotak adalah sebuah usaha untuk mempersulit diri sendiri.

Bayangkan, ketika para pedagang ini hanya membuat satu bentuk pentol, maka mereka hanya perlu membentuk adonan menjadi bulat sampai habis. Lain halnya, ketika memutuskan menyediakan pentol berbentuk kotak, mereka jadi harus bekerja dua kali. Sudah gitu, mereka juga masih harus mendapat kritik dari konsumen yang nggak terima dengan kehadiran pentol kotak ini.

Lebih baik pertahankan bentuk bulat dengan isi di dalamnya

Menurut saya, daripada tetap mempertahankan ide gila ini, alangkah baiknya jika para pedagang pentol bisa mempertahan bentuk asli camilan satu ini, namun dengan isian di dalamnya. Isinya bisa disesuaikan, misalnya seperti menambahkan telur puyuh atau telur ayam. Percayalah, meskipun pembeli tahu isi di dalamnya, tapi tetap ada perasaan terkejut yang menyenangkan ketika menikmatinya.

Justru perubahan kecil seperti ini yang lebih dihargai masyarakat, daripada sekadar mengubah bentuk luarnya saja. Sayangnya, pentol isi seperti ini justru yang sekarang susah ditemukan. Gimana, sih, Bang?

Intinya, saya hanya ingin menegaskan kepada para pedagang agar jangan pernah mencoba mengubah bentuk pentol menjadi kotak apa pun alasannya. Biarkan makanan satu ini menjadi apa adanya dengan bentuk bulat yang sudah diakui, bahkan menjadi budaya bagi masyarakat. Jadi, kalau para pedagang mengubah bentuk pentol, maka sama dengan mengubah budaya, lho. Nggak semua orang bisa terima, salah satunya saya.

Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Rekomendasi Jajan Pentol Surabaya yang Hautjek!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version