PDKT adalah langkah kunci untuk banyak hubungan romantis. Meski begitu, hal ini masih sering jadi momok untuk kebanyakan calon pasangan ketika ingin memulai hubungan. Biasanya jika berjalan mulus, langkah untuk menjalin hubungan serius besar kemungkinan juga akan tembus. Ya, walaupun kadang ada juga yang ditinggal begitu saja setelah PDKT yang melelahkan dan menelan banyak biaya. Begitulah hidup.
Tapi, sebagai langkah pembuka, banyak orang yang lupa dengan satu hal penting sebelum PDKT, yaitu riset. Oleh karena terlalu semangat untuk memulai langkah, banyak yang lupa untuk sabar dan menelaah dulu untuk menentukan strategi yang baik supaya PDKT-nya berjalan mulus. Padahal sudah banyak kejadian kasus PDKT yang gagal total, hanya karena kurang riset.
Misalnya yang terjadi pada kawan perempuan saya yang alergi terhadap bulu kucing. Alkisah ada seorang teman kerja yang mencoba mendekati dia selama kurang lebih satu minggu lamanya. Pada penhujung weekend, entah dapat masukan dari mana, si laki-laki mengajak teman saya untuk berkunjung ke sebuah kafe yang katanya kekinian dan punya konsep unik.
Sesampainya di cafe, ternyata konsep unik yang dimaksud si lelaki adalah kafe kucing, kafe yang di dalamnya terdapat banyak kucing untuk diajak main atau sekedar dielus untuk melepas stres. Tidak enak untuk menolak, kawan saya pun mau-mau saja masuk sambil berdoa semoga alerginya nggak kambuh. Tapi, ternyata hanya bertahan lima menit, lalu teman saya malah jadi bersin-bersin nggak bisa berhenti. Barulah si laki-laki tahu kalau teman saya ini alergi bulu kucing.
Setelah hari itu kandas sudah upaya PDKT tersebut, mungkin kepalang sungkan atau merasa bersalah, yang jelas teman saya sudah tidak pernah lagi chattingan intens apalagi diajak pergi oleh teman kantornya tersebut.
Perkara lain, yang juga pernah heboh di Twitter adalah seorang perempuan yang mengatakan bahwa dirinya illfeel kepada laki-laki yang hobi flexing pakai bahasa ilmiah atau bahas yang berat-berat saat PDKT. Dia maunya PDKT tuh ya ngomongin hal-hal yang santai dan ringan saja, nggak usah terlalu berat.
Tapi, ternyata di kolom replies, banyak juga yang kontra. Ada yang justru terkesan kalau orang yang mendekatinya membuka pendekatan dengan diskusi, berbagi ilmu, dan lain-lain. Nah loh, kalau nggak riset dulu dan menyimpulkan kalau calon pasangan kita pasti maunya A, eh taunya dia sukanya B, kan ya jadi kehilangan kesempatan untuk dapat poin plus. Fatalnya, bisa gagal total seperti cerita saya sebelumnya tadi.
Perkara riset ini nggak perlu harus pakai metode yang sah secara ilmiah, kok. Toh bukan untuk nulis jurnal terindeks Scopus. Riset ini bisa dilakukan dengan memantau media sosial calon pasangan, bertanya kepada orang terdekat, atau bahkan bertanya langsung kepada yang bersangkutan, dengan cara yang tidak terlalu mencolok tentunya.
Berbekal riset yang cukup, kita jadi bisa punya data penting seperti makanan kesukaan, preferensi tempat wisata, bahkan sampai pandangan politiknya si dia. Buat apa ini? Tidak lain dan tidak bukan ya untuk membuat dia terkesan dengan kita. Terkesan ini nggak sebatas bilang “aku tahu lho kamu alergi jamur”, tapi dengan action yang tepat. Misalnya ketika mau pesan makan kita inisiatif tanya dulu kepada waiters-nya apakah makanan ini mengandung jamur atau tidak, di hadapan dia. Jadi dia tahu kalau kamu perhatian dengan hal-hal yang tidak boleh ia konsumsi.
Riset ini juga bisa jadi tabungan ide kalau lagi mentok mau bermanuver apa lagi. Kita bisa lihat dari data yang sudah kita kumpulkan itu, “kebijakan” apa yang mungkin strategis untuk mendekatkan hubungan dengan si dia. Misalnya kita tahu calon pasangan kita ini hobi baca buku biografi dan suka ngomongin bahan bacaan tersebut, tapi kita nggak hobi dengan hal tersebut. Nggak perlu kita memaksakan diri dengan pura-pura suka dan sok tahu dengan buku-buku biografi kesukannya itu. Justru kita bisa berkata jujur kalau belum pernah baca buku biografi dan menunjukkan rasa penasaran terhadap si dia, kenapa bisa suka baca buku biografi.
Dari situ diskusinya akan luas dan bertahan cukup lama, tanpa ia merasa illfeel akibat sikap sok tahu kita. Kalau diskusinya sudah enak dan mengalir, kita bisa ambil celah untuk pelan-pelan mengutarakan rasa, visi dan misi hidup yang mungkin cocok untuk dijalani bersama.
Tapi ingat, seperti kata Mas Agus Mulyadi, sadar diri sadar potensi. Jika riset sudah dilakukan, manuver sudah diupayakan, tapi masih tetap jadi badut saja, ya sudah, mungkin sudah waktunya untuk kembali menjalani hidup tanpa asa untuk bersamanya.
BACA JUGA Pura-Pura Bego sebagai Strategi PDKT dan tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.