Ada satu lagi cerita unik yang mungkin bisa dijadikan pembelajaran untuk kita semua, terutama masalah utang. Ada satu kawan saya, kawan bisnis, ya sebut saja klien, memiliki utang yang nilainya bisa dibilang besar. Kebetulan klien saya ini, orang kaya dan keturunan orang kaya, yang tentu saja masalah utamanya adalah pajak. Namun, selama pandemi menyerang negara api, bisnis yang dijalankannya pun ikut kena dampaknya juga. Bisnisnya pun bisa dibilang bisnis yang tidak main-main, bisnis properti.
Bisa teman-teman bayangkan, berapa beban bunga yang harus ditanggung apabila bisnis tersebut tidak berjalan? Konsep dasar dalam bisnis properti, pada dasarnya adalah seperti bisnis food and beverages, ya cash and carry. Terima uang secara basah. Namun, apabila penjualan sedang seret, tentu kewajiban seperti membayar kontraktor, fee marketing, serta beban bunga bank apabila bisnisnya dalam masa pembiayaan.
Seperti yang sudah kita bisa duga, pandemi lagi-lagi menghancurkan semuanya. Dimulai dari utang yang gagal bayar, pembangunan tidak bisa diteruskan, kewajiban pajak yang jelas terus menunggak, dan masih banyak kewajiban lainnya yang tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan tempo yang singkat.
Di sinilah saya ingin sharing, mengapa bisa bisnis seseorang itu sampai harus gulung tikar apabila tidak mampu mengelola serta mengatur manajemen utang dengan baik.
Kemampuan bayar
Faktor utama bank memberikan pinjaman salah satunya adalah kemampuan membayar. Definisi secara harfiah, kemampuan membayar itu adalah kemampuan nasabah dalam mengangsur pinjaman dalam tempo atau jangka waktu yang telah diatur dan ditetapkan bersama-sama. Memberikan pinjaman adalah hal yang tak sepele. Selain harus tahu terlebih dahulu dari mana sumber penghasilan, nasabah pun harus bisa meyakinkan bagaimana membayar angsuran bank ditambah dengan pengeluaran lainnya.
Bank harus diyakinkan betul-betul oleh nasabah dalam hal ini sebagai debitur. Harus bisa menjamin bahwa angsuran atas pinjaman baik dalam bentuk pokok maupun bunga bisa dibayar atau disetorkan tepat waktu. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, tentu bank akan betul-betul selektif dalam memberikan pinjaman kepada debitur.
Apabila dirasa bisnis yang dijalankan tidak meyakinkan, Sekeras apa pun debitur dalam meyakinkan bank, bank tentu akan dan pasti berpikir ulang untuk mencairkan pembiayaannya.
Susun RAB (rencana anggaran biaya) dengan baik
Kemampuan mengalokasikan pembayaran pembiayaan secara tepat ditentukan oleh akurat atau tidaknya penyusunan RAB. Fungsi utama RAB adalah bentuk proyeksi perhitungan tentang biaya-biaya apa saja yang akan dikeluarkan dan dibutuhkan oleh debitur selama masa bisnis.
Dari rancangan perhitungan ini, pihak bank akan menilai, apakah debitur tersebut layak untuk diberikan pendanaan atau tidak. Bila melihat RAB-nya saja sudah tidak masuk dalam kriteria bank, masa masih mau dipaksakan untuk diberikan pendanaan?
Justru, inti dari disusunnya RAB adalah untuk mengetahui perkiraan biaya-biaya yang akan dikeluarkan debitur selama masa pinjaman. Apakah dengan diberikan pendanaan tersebut, debitur terbantu secara finansial atau justru malah kolaps. Untuk membiayai bisnisnya sendiri saja sudah tidak kuat, bagaimana mau melunasi utang bank?
Kalau bisa saya beri contoh begini, misal ada nasabah bernama Jonet. Memiliki usaha di bidang F&B, dengan nama brand Jonet Coffee. Jonet meminta akuntan untuk menghitung berapa rate penghasilan yang dimilikinya selama tahun berjalan, dengan dasar laporan penjualan pada tahun lalu. Setelah dihitung, ternyata penjualan tahun lalu Jonet memiliki margin di atas 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Nah, dengan dasar tersebut, Jonet berhasrat untuk memperluas jaringan bisnis kafenya di kota lain. Namun, mengingat cash flow yang dimiliki olehnya, tentu masih kurang.
Satu-satunya cara yaitu Jonet mengajukan pembiayaan kepada bank. Bank tentu saja tidak serta merta menyetujui permintaan Jonet. Oleh karena itu pihak bank meminta Jonet untuk membuat RAB terlebih dahulu sebelum pengajuan pembiayaannya disetujui. Setelah dihitung kembali, berdasarkan dengan margin yang diterima pada tahun sebelumnya, bank akan menganalisis cash flow tersebut, layak atau tidak.
Dari rancangan anggaran tersebutlah bank bisa menilai apakah Jonet mampu secara finansial atau tidak. Tentu bank tidak akan berani mengambil resiko apabila si debitur sendiri memiliki rasio kemampuan membayar utang lemah.
Jadi, pesan saya, jangan pernah mempercantik semua laporan bisnismu hanya karena berharap pembiayaan dari bank. Kalau ujung-ujungnya gagal bayar dan asetmu menjadi taruhannya.
Jejak BI checking
BI Checking adalah salah satu sistem yang dimiliki oleh perbankan untuk mengetahui riwayat kredit dari seorang debitur (peminjam). Pada dasarnya, layak atau tidaknya seorang debitur yang sedang berusaha untuk memperoleh pembiayaan atau pinjaman dari bank akan dinilai dari riwayat nasabah. Semakin lancar pembayaran pembiayaan, semakin baik pula riwayat seorang nasabah di mata perbankan.
Maka, dapat saya tegaskan, bahwa pembiayaan atau pinjaman ke bank itu, tidak lebih dari sebuah kepercayaan yang diberikan kepada debitur atau nasabah. Anggap saja, bank adalah calon mertuamu. Selagi kepercayaan yang diberikan, dijalankan, dan dimanfaatkan sebaik mungkin, citramu akan semakin tinggi di matanya. Tapi, sekali dirimu membuat sebuah kesalahan, rusaklah citramu seumur hidup.
Bank di seluruh Indonesia telah sepakat, selama nasabah punya sejarah gagal bayar, citranya akan sulit untuk diperbaiki di mata bank. Jadi, hemat saya, sah-sah saja apabila seseorang ingin mengambil pembiayaan bank. Tapi tolong, dijaga betul riwayat pembayaranmu.
Itulah kenapa saya menekankan pada poin sebelumnya, bahwa bank tidak akan sembarangan memberikan pembiayaan.
Jadi bagi kalian yang mau mengajukan pembiayaan pada bank, ingat ini. Perhatikan cash flow, mantapkan hati, dan kerja keras. Sebab, Tuhan Maha Pemaaf, tapi angsuran tidak.