Lik Sughiroh adalah satu dari sekian banyak penjual bandros di Kendal. Beliau mencoba bertahan di tengah gempuran takjil kekinian.
Bulan Ramadan selalu dimaknai sebagai bulan penuh berkah bagi umat muslim. Semua tentu sepakat dengan hal itu, terlepas dari perbedaan interpretasi “keberkahan” yang dirasakan oleh setiap muslim yang pastinya berbeda-beda. Bahkan dalam skala yang lebih luas, keberkahan Ramadan juga dirasakan (secara tidak langsung) bagi kalangan non-muslim.
Dari sisi spiritual, Ramadan jadi ladang berkah untuk mereka yang ingin membersihkan diri, mendekatkan diri, dan merefleksikan diri di hadapan sang kuasa. Sementara dari kacamata sosial, Ramadan adalah sarana untuk berbagi, menolong satu sama lain, dan saling belajar bertoleransi. Dan dari perspektif ekonomi, Ramadan adalah momen penting lahirnya transaksi jual beli yang masif di tengah masyarakat sehingga menggerakkan roda perekonomian. Oleh karena itu, bulan Ramadan disambut gembira dan haru oleh umat muslim.
Tapi di sisi lain, dalam ingar bingar keberkahan bulan Ramadan yang disambut banyak orang, ada sosok-sosok pejuang rupiah yang masih terus berjuang, bahkan mungkin lebih berat perjuangannya. Bukan bermaksud mengkerdilkan bulan Ramadan, tapi memang kondisi dan situasi pekerjaan mereka memang terasa lebih berat cobaannya saat bulan Ramadan. Salah satu dari sedikit orang yang justru harus berjuang lebih keras adalah Lik Sughiroh. Lelaki paruh baya berusia sekitar 60-an tahun penjual bandros di kampung ibu saya di Kabupaten Kendal.
Lik Sughiroh adalah penjual bandros yang sangat veteran. Beliau mulai berjualan setidaknya sejak tahun 1985. Bahkan pada tahun segitu ibu saya masih sangat kecil.
Bandros adalah jajanan jadul berbentuk seperti pukis yang berbahan dasar tepung beras, santan, parutan kelapa, serta hanya diberi tambahan garam sebagai perasa. Belakangan, oleh beberapa pedagang lain, bandros ditaburi dengan gula untuk memperkaya rasanya.
Daftar Isi
Lik Sughiroh, penjual bandros yang keliling Kendal dengan sepeda tua menjajakan jualannya
Dengan sepeda tuanya, Lik Sughiroh berjualan mulai dari pagi hari, melewati depan rumah saya, mengitari beberapa desa hingga tetangga kecamatan di Kabupaten Kendal. Saya masih ingat betul, sepeda itu adalah sepeda yang sama setidaknya dalam 15 tahun terakhir ketika kali pertama saya berinteraksi dengannya pada tahun 2009.
Pada hari-hari biasa, bandros Lik Sughiroh adalah langganan nenek saya sebagai santapan pagi. Tak jarang, ketika puasa di hari Senin atau Kamis, bandros itu dibeli dalam jumlah banyak kemudian nantinya disimpan untuk berbuka puasa. Yah, meski ketika dicicipi rasanya tentu tidak senikmat ketika di pagi hari karena sudah dingin. Bandros Lik Sughiroh juga murah. Cuma 5 ribu rupiah pembeli bisa mendapat setidaknya 10-15 potong bandros.
Ketika hari biasa, Lik Sughiroh berjualan hingga sore hari tergantung penjualan bandros pada hari itu. Kalau sedang mujur, saat memasuki waktu asar dan bandros sudah habis terjual, penjual bandros satu ini bisa pulang ke rumah. Tapi, kondisi itu jarang sekali terjadi. Lik Sughiroh lebih sering pulang dengan membawa sisa-sisa adonan bandros yang tak laku terjual.
Memasuki bulan puasa, usaha Lik Sughiroh terasa lebih berat
“Puasa itu tantangannya makin berat bagi saya karena saya harus menjajakan bandros yang kalah saing dengan takjil lainnya, Mas,” tutur Lik Sughiroh dalam bahasa Jawa.
Bahasa kasarnya, bandros iku orak kelase.
Harus diakui, makin ke sini, bandros memang jadi jajanan jadul yang makin kalah pamor dengan jajanan lain. Mungkin pembeli yang masih setia dengan bandros adalah para generasi boomers atau paling mentok generasi milenial. Kebanyakan pembelinya pun datang dari kelas menengah ke bawah. Remaja zaman sekarang tentu jarang ada yang mengenal bandros. Mereka lebih memilih makanan lain yang lebih manis, gurih, pedas, dan bercita rasa kuat ketimbang jajanan yang “alakadarnya” seperti bandros.
Seiring dengan perkembangan zaman, makanan dan jajanan makin bervariasi bentuk dan rasanya. Terlebih ketika bulan Ramadan tiba, makanan dengan berbagai jenis dijajakan. Takjil seperti aneka bubur, es-esan dengan warna nyalanya, gorengan panas, atau martabak adalah sedikit contoh dari makanan yang jadi pilihan utama untuk berbuka. Sementara bandros yang rasanya sederhana, yang mana hanya menawarkan rasa gurih dengan sedikit manis, tentu menjadi pilihan kesekian untuk disantap.
Kalau hari biasa penjual bandros seperti Lik Sughiroh mulai berjualan di pagi hari, pada bulan Ramadan, beliau akan berjualan menjelang waktu zuhur atau bakda zuhur. Kondisi orang berpuasa tentu membuat bandrosnya tidak ada yang beli jika dijual mulai pagi hari.
“Karena jualannya mulai siang, cobaannya berat sekali karena saat itu juga matahari sedang terik-teriknya, sementara saya tetap berpuasa”, ungkapnya sambil memperbaiki posisi bandros yang ada di dalam cetakan.
Bersama sepeda ontelnya, beliau mengayuh pelan mengitari rumah-rumah yang jadi pelanggannya, berharap ada yang mau membeli bandrosnya untuk berbuka puasa. Apabila sudah berkeliling hingga dua tetangga kecamatan dan bandrosnya masih laku sedikit atau bahkan belum laku sama sekali, Lik Sughiroh harus siap untuk mengayuh sepedanya lebih jauh lagi dan pulang hingga larut malam. Setidaknya hingga selesai waktu salat tarawih.
Berusaha tetap bersyukur
Meski begitu, Lik Sughiroh berusaha untuk tetap bersyukur. Baginya, asalkan bandros yang dia jual ada yang laku, setidaknya dia bisa membawa uang 40-50 ribu sehari, sudah membuatnya sedikit tenang. Artinya, ada uang yang bisa digunakan istrinya untuk berbelanja dan diputar kembali dalam bentuk modal untuk berjualan.
Ada cerita unik soal Lik Sughiroh yang dulu terdengar hingga di telinga saya yang masih kecil. Konon katanya, pada suatu malam, dagangan Lik Sughiroh diborong oleh makhluk gaib. Uang yang diberikan si pembeli ternyata berubah menjadi daun jati. Cerita itu membuat kami menganggap sosok Lik Sughiroh sebagai orang yang bejo. Untung bandrosnya yang dibeli, bukan nyawanya.
Saya mencoba mengonfirmasi langsung cerita tersebut ke Lik Sughiroh.
“Ah Mas, saya kok lupa cerita itu, ya. Kalau benar begitu, mungkin kejadiannya sudah lama, Mas”, ungkap Lik Sughiroh dengan raut wajah yang agak bingung.
Terlepas cerita itu benar atau tidak, Lik Sughiroh adalah contoh kecil sosok-sosok yang harus tetap bertahan lebih kuat ketika bulan Ramadan tiba. Dan tentu saja dalam kacamata spiritual, beratnya ikhtiar yang dijalani penjual bandros di Kendal seperti Lik Sughiroh pasti membuahkan balasan keberkahan tak kasat mata dari Tuhan. Meski begitu seyogianya mereka tetap pantas menerima pertolongan kita. Tak perlu memberi, cukup membeli apa yang mereka jual.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.