Ibu saya bekerja sampingan sebagai penjahit. Sebagai anaknya, saya paham betul tetek bengek pekerjaan yang sudah dilakoni bertahun-tahun ini. Tidak heran kalau jumlah penjahit semakin hari semakin sedikit.
Tulisan Mbak Fitri Handayani yang berjudul Menjahit Pakaian ke Penjahit Itu Merepotkan, Mending Beli Pakaian Jadi juga menjelaskan betapa kesulitannya dia mencari penjahit di desanya. Dalam tulisan itu, dia harus repot-repot ke desa sebelah demi menjahitkan pakaian. Menurutnya, menjadi penjahit memerlukan skill, ketelatenan, dan kesabaran. Tiga hal yang membuat banyak orang tidak mampu bertahan di pekerjaan ini.
Saya mengakui tiga hal itu memang diperlukan penjahit. Namun, sebagai pekerjaan yang berbasis service atau jasa, tantangan menjadi penjahit lebih dari itu. Sehari-hari mereka harus berhadapan dengan berbagai macam manusia yang tidak semuanya menyenangkan. Mungkin itu mengapa banyak orang yang memilih menutup usahanya, tidak kuat menghadapi tekanan pelanggan.
Pesanan ke penjahit tidak menentu
Sudah jadi rahasia umum, banyaknya toko-toko pakaian online perlahan menyingkirkan toko-toko pakaian offline dan penjahit. Dibanding menjahitkan pakaian, membeli pakaian di toko online jauh lebih praktis. Tidak perlu perlu keluar rumah, model beragam, ukuran pakaian sudah tertera jelas.
Itu mengapa orderan pelanggancenderung sepi kecuali waktu-waktu tertentu. Penjahit biasanya kebanjiran orderan menjelang tahun ajaran baru dan Lebaran. Pada momentum itu, penjahit bisa mengantongi pendapatan lebih dari upah minimum. Namun ingat, hanya periode-periode itu saja. Bulan-bulan lain ya sepi.
Di balik pendapatan yang melejit, banyak pelanggan rese yang ingin orderannya didahulukan. Padahal mereka jelas tahu, di musim tahun ajaran baru dan Lebaran, pesanan sedang puncak-puncaknya. Dikira penjahit robot yang tidak perlu istirahat kali ya?
Pelanggan ngeyel
Aduh pelanggan jenis ini sungguh sulit mengatasinya. Biasanya pelanggan datang dengan desain tertentu yang mereka inginkan. Apabila desain dirasa kurang cocok, ibu saya akan memberi saran atau mengingatkan. Sebab, dari kacamata penjahit, ada beberapa desain yang memang tidak cocok dengan bentuk badan tertentu.
Biasanya pelanggan ngeyel ini tetap memaksa dibuatkan pakaian sesuai desain yang diinginkan. Ketika sudah jadi, mereka biasanya akan protes dan menyalahkan penjahit yang kurang pintar menyiasati. Padahal sudah sejak awal pelanggan tersebut diwanti-wanti.
Kejadian semacam ini sudah berkali-kali menimpa ibu saya. Itu mengapa amarah pelanggan sudah tidak diambil hati. Namun, bukan berarti ibu saya tidak mengalami masa-masa sulit karena kasus semacam ini ya.
Pakaian pelanggan bau
Saya tidak habis pikir dengan para pelanggan yang tega menjahitkan pakaian kotor. Beberapa kali ibu saya menerima pesanan memperbaiki ukuran pakaian, tapi pakaiannya dalam kondisi bau. Menerima pesanan seperti ini, ibu biasanya mencuci pakaian itu terlebih dahulu. Setelah itu baru menjahitnya sesuai permintaan.
Menerima pesanan semacam ini benar-benar menguras waktu dan energi. Namun, tidak mungkin juga menolaknya karena takut menyinggung perasaan pelanggan. Akhirnya, mau tidak mau, ibu terpaksa menjadi tukang cuci selain jadi tukang jahit. Menurutnya, lebih baik seperti itu daripada menjahit dalam keadaan pakaian kotor dan bau.
Di atas beberapa tantangan menjadi penjahit di masa sekarang, tidak mudah kan? Bukan hanya bermodal skill, ketelatenan, dan kesabaran dalam menjahit baju. Mereka juga perlu mahir menghadapi para pelanggan-pelanggan menyebalkan.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Kesalahan yang Sering Dilakukan Penjahit Baju Pemula
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.