Seandainya ada demo terkait masalah lalu lintas yang disebabkan oleh pengendara motor, saya yakin, para pendemo pasti banyak yang mengangkat masalah tentang orang yang merokok saat berkendara. Ini jelas. Sampai sekarang hama lalu lintas itu masih hidup di mana-mana. Tapi sialnya, mereka tampaknya punya saudara. Saudara mereka adalah orang-orang yang meludah sembarangan saat berkendara.
Saya pribadi memang jarang menjadi korban atas kelakuan ngehek itu. Populasi makhluk tersebut mungkin juga nggak sebanyak mereka yang merokok saat berkendara. Tapi, mau sedikit atau banyak, tentu saja kelakuannya nggak bisa dianggap normal. Terlepas air liur itu terkena muka atau nggak, saya yakin kita semua jelas bergidik dan membatin “asu” ketika menemui orang meludah saat berkendara.
Sampai sekarang saya kurang tahu pasti apa alasan mereka bisa pede melakukan kemaksiatan lalu lintas itu. Tapi, kalau kalian yang membaca ini ternyata adalah pelakunya, mulai sekarang sadarilah bahwa kalian itu sempat menjadi golongan orang-orang “gotal”. Apa itu gotal? Goblok total. Maka, supaya nggak lagi menjadi golongan orang-orang tak berakal, bacalah tulisan ini sampai tuntas.
Daftar Isi
Bagaimanapun caranya, meludah sembarangan saat berkendara tetap berisiko
Meludah itu umumnya dilakukan dengan dua cara: menyembur dan meneteskan air liur yang sudah menggumpal. Nah, saat meludah dalam keadaan berkendara, saya yakin cara yang kalian lakukan adalah menyembur. Alasannya selain karena adanya sensasi kepuasan, juga karena asumsi bahwa menyemburkan ludah tidak berpotensi melukai muka pengendara motor lainnya di belakang.
Kalau dugaan saya benar, plis, mulai sekarang hentikan kebodohan itu. Kenapa? Ya karena cara meludah seperti itu tetap memercikkan air liur ke muka orang. Kalian sebagai pelaku tentu saja nggak menyadarinya. Tapi percayalah, orang-orang di belakang kalian sudah pasti membatin karena merasakan percikan-percikan bedebah itu.
Tentu saya nggak tahu penjelasan saintifik terkait kenapa sebuah ludah saat berkendara tetap memercik kendati caranya disemburkan. Tapi yang jelas, selama saya berkendara di belakang pengendara motor yang meludah, saya itu selalu menjadi korbannya. Mau pengendara itu pelan atau ngebut, tetap saja percikan itu menyerang muka saya. Kalau kalian nggak percaya, boleh sini saya praktikkan.
Masalahnya bukan hanya kena muka pengendara motor lainnya, tapi…
Kemaksiatan lalu lintas ini juga sempat dilakukan oleh teman saya. Dan sialnya, dua hari lalu dia sempat menyangkal ketika saya bilang bahwa meludah sembarangan saat berkendara adalah kelakuan goblok. Waktu itu dia bilang begini, “Ya kalau ludahnya nggak sampai kena muka pengendara motor lainnya kan nggak masalah.” Sumpah, saat itu rasanya saya pengin banget ngeplak ndase. Tapi karena teman, saya kompensasi kemarahan itu menjadi perdebatan.
Saya tak perlu menjabarkan isi perdebatannya. Yang jelas, kalian yang masih diberkati akal sehat, harusnya tak perlu penjelasan panjang-panjang terkait kemaksiatan ini. Mau saat berkendara atau tidak, mau ludah itu terkena muka orang atau tidak, tetap saja meludah sembarangan adalah kelakuan tak etis. Kultur ini bukan hanya berlaku di Indonesia, di negara-negara liberal macam Amerika pun demikian.
Jika ditanya terkait asal-usulnya, tentu saja nggak cukup saya tuliskan di sini. Tapi yang pasti, salah satu penyebab lahirnya larangan meludah sembarangan adalah karena ia berpotensi menularkan penyakit tertentu. Seperti halnya menurut Halodoc, virus dan bakteri dari ludah bisa mengawet di udara selama 6 jam, bahkan 24 jam lebih. Itu pun ludah yang melalui udara, belum yang melalui kontak langsung seperti nempel di muka.
Bawalah saputangan atau alat penampung ludah yang lain
Meludah memang manusiawi. Dan nggak ada larangan kalau kalian mau meludah, apalagi sedang sakit batuk pilek dan sejenisnya. Tapi, mbok ya tulong banget perhatikan etikanya. Saran saya, jika kalian lagi sakit dan mau berkendara, bawalah saputangan buat menampung ludah sendiri. Harga saputangan itu murah, kayak hukum di negeri konoha. Membawanya pun praktis dan ringan, nggak sesulit dan seberat keputusan PDI-P sekarang.
Kalaupun belum mampu beli saputangan, siapkanlah alat yang mungkin untuk menjadi penampung ludah. Misal botol bekas air mineral yang masih baru, itu masih bisa, meski mulut kalian diharuskan untuk mecucu. Ya setidaknya, ia bisa menampung dan menjaga ludah kalian agar nggak terbang ke mana-mana. Atau kantong plastik, itu juga lebih praktis dan nyaman agar pengendara motor bisa meludah sebebas-bebasnya.
Dear pengendara motor, menahan buang ludah dan berhenti sejenak nggak membuatmu mati
Kalaupun kalian terpaksa lupa membawa saputangan dan alat yang lain, saya pikir menahannya dan berhenti sejenak untuk sekadar meludah sembarangan bukan suatu masalah hidup yang berat. Saya berani jamin, keputusan itu nggak akan membuatmu mati seketika, kecuali kalian berhentinya di tengah jalan raya.
Tapi meludahnya tentu tetap usahakan mencari tempat yang tertutup; bisa di tempat sampah, selokan, atau sungai. Jangan sampai sudah berhenti di pinggir jalan, tapi meludahnya malah di trotoar atau di tempat umum macam depan ruko. Podo wae bajiangan kalau kayak gitu.
Sebetulnya mengamalkan aturan-aturan di atas nggak sulit, kalau otak kalian memang settingan-nya bermoral. Tentu saja saya bukan orang yang bersih dari tindakan amoral. Tapi setidaknya, saya paham bahwa meludah sembarangan saat berkendara itu tindakan menjijikkan, dan sama sedang membuka peluang untuk meludahi muka pengendara motor lainnya.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Pengendara Motor di Sepanjang Jalan Jogja-Solo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.