Perayaan akhir tahun itu harusnya menyenangkan. Apalagi merayakannya dengan camping di gunung. Namun, bayangan itu kandas bersama tubuh yang tergeletak di tanah akibat tersambar petir. Kejadian itu terjadi di penghujung 2016 ketika saya bersama dua teman memutuskan merayakan pergantian tahun di Pos 1 Gunung Slamet atau dikenal dengan nama Wadas Gantung.
Tidak ada bayangan sama sekali akan mengalami hal itu saat berangkat. Sebab cuacanya terang benderang bahkan cenderung panas. Tapi nyatanya setelah tiba di basecamp pendakian Gunung Slamet via Gunung Malang, Purbalingga, langit mulai mendung, gerimis jatuh pula.
Setelah melakukan registrasi, dengan pikiran gegabah bahwa “mumpung masih gerimis”, kami pun memutuskan untuk langsung jalan. Perjalanan dimulai sekitar pukul 5 sore dengan melewati ladang sayur milik warga dan di saat itu gerimis jadi hujan. Kami berhenti untuk memakai jas hujan. Sialnya, jas hujan tak mampu melindungi tubuh dari basah. Hujan terlalu deras, angin bertiup dengan ganas.
Alih-alih berpikir untuk kembali ke basecamp, kami nekat melanjutkan. Dan tibalah ke kawasan hutan yang diisi pohon damar tinggi-tinggi. Di hutan itu, petir mulai terdengar. Jarak sambarannya mungkin dekat dengan jalur pendakian yang kami lalui. Pasalnya hanya berselang sepersekian detik setelah kilat cahaya, gelegar suara terdengar keras sekali.
Kami mulai panik dan berpikir untuk putar balik. Namun masih ada rasa sayang karena sudah menempuh setengah jalan. Entah dorongan dari mana, kami nekat. Pada saat itu saya jadi teringat bahwa dua hari sebelumnya ada tiga pendaki yang meninggal tersambar petir di pos 7 Gunung Slamet.
Kami bertiga terus berjalan sambil melantunkan nama Tuhan. Saya terus teringat pendaki yang meninggal itu dan membuat saya takut akan bernasib sama. Demi menjaga mood kedua teman itu, saya tak berani mengungkapkan ketakutan tersebut.
Suasana semakin menegangkan ketika saya tersadar bahwa kami tak menemui pendaki lain di sepanjang perjalanan. Tak akan ada yang tahu dan menolong nantinya jika hal buruk terjadi. Saya menjadi lebih takut lagi.
Kemudian tibalah di perbatasan hutan dengan ladang rumput yang luas. Tepat di pohon terakhir, kami memutuskan berhenti. Kami berpikir bahwa bisa tersambar jika nekat berjalan di ladang yang tak ditumbuhi pohon yang tinggi. Namun nasib sial menimpa.
Saya masih ingat, saat berhenti di situ saya sedang memperingati teman saya agar jangan mengangkat tenda yang masih terbungkus ke atas kepala. Namun sebelum selesai saya berkata, tiba-tiba saja pandangan saya gelap. Saya tak sadarkan diri.
Tahu-tahu saya sudah tergeletak dengan posisi tengkurap di tanah. Entah berapa lama kami tak sadarkan diri, sepertinya sebentar. Kepala saya pusing sekali seperti habis dihantam. Telinga saya berdenging dan tak mendengarkan apa-apa. Saya mendongakkan kepala dan mendapati kepulan asap di sekitar tubuh teman saya yang juga tergeletak.
Namun, saya tetap diam memandangi tubuh itu meskipun saya sadar bahwa kami telah tersambar petir. “Habis sudah riwayat kami,” pikir saya pada saat itu.
Tiba-tiba teman saya yang saya kira sudah mati itu, bangun. Kami lalu membangunkan teman yang satunya lagi. Berkat rasa panik, sakit setelah tersambar petir tak terasa dan justru menambah tenaga untuk berlari kencang pulang ke basecamp.
Di medan yang sudah terguyur hujan dan juga licin, lari kami terseok-seok. Keadaan hujan masih deras, petir menyambar ke pohon-pohon yang kami lalui. Dari arah kanan dan kiri terdengar sambaran petir seperti sedang mengejar kami.
Kami terus menyebut nama Tuhan. Apa pun puji-pujian yang terpikir, otomatis terlafalkan di bibir. Seakan-akan kami berbicara dalam bahasa Arab. Bagi saya, itu adalah momen paling kacau dalam hidup. Saya merasa seperti dihadapkan dengan kematian. Meskipun sekarang saya pikir, yang tersambar petir adalah pohon tempat kami berhenti dan kami hanya ikut tersengat tegangan listriknya. Jika petir menyambar secara langsung ke tubuh kami, mestinya kami sudah mati.
Singkat cerita—karena saya tak mau mengingat-ingat momen itu—tibalah kami di basecamp pendakian saat hari sudah gelap. Saat itu sudah banyak pendaki lain yang memilih bersabar untuk mendaki setelah hujan reda.
Tim penjaga basecamp yang melihat kami turun lagi, langsung memisahkan kami dengan pendaki lain dan membawa kami ke dapur. Saya kira karena kami basah, ternyata karena menduga telah terjadi apa-apa pada kami. Kami pun menceritakan kronologi kejadian.
Lalu kami ditawari untuk tinggal dahulu di situ. Namun kami menolak. Kami memilih untuk pulang. Di jalan kami tak tahu harus ke mana. Sebab jika pulang ke rumah pasti dicurigai karena kami sudah pamit ke orang tua. Akhirnya kami pulang ke rumah teman yang lain.
Di perjalanan pulang, saya masih ngeri dan kagetan apabila melihat kilat atau mendengar suara petir. Bahkan sampai sekarang saya masih seperti itu. Mungkin sudah menjadi suatu trauma bagi saya.
Selain itu, ternyata muncul juga ketakutan-ketakutan lain akibat insiden tersambar petir. Hingga sekarang saya tak berani memainkan ponsel atau alat elektronik lain saat hujan deras. Bahkan sebelum turun hujan saja, tetapi sudah terdengar suara gludug-gludug, saya pasti langsung mematikan ponsel. Saking parnonya, pernah suatu kali saya kehujanan di jalan kemudian menepi ke dalam minimarket hanya untuk mematikan ponsel tanpa membeli apa-apa.
Saya juga menjadi mudah kaget dan terkejut jika ada suara keras yang tiba-tiba terdengar. Misalnya suara-suara seperti ledakan petasan, knalpot, atau bahkan jika dikagetkan teman dari belakang.
Untungnya ada satu trauma yang sekarang sudah hilang. Yaitu trauma untuk mendaki gunung. Meskipun harus menunggu dua tahun untuk berani mendaki lagi, itu pun bukan mendaki gunung yang sama saat saya tersambar petir.
Setiap saya ceritakan pengalaman ini, teman-teman saya selalu terbahak-bahak. Semoga kalian juga, bisa terhibur di atas penderitaan saya. Tapi sampai sekarang saya belum berani menceritakannya kepada orang tua. Biar saja mereka tahu sendiri jika tulisan ini dimuat dan linknya sampai di ponsel mereka.
BACA JUGA Stop Menjelaskan Sensasi Naik Gunung pada Mereka yang Skeptis dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.