Pengalaman Saya yang Pernah Jadi Tukang Baca Surah Yasin “Pesanan”

Pengalaman Saya yang Pernah Jadi Tukang Baca Surah Yasin "Pesanan" terminal mojok.co

Pengalaman Saya yang Pernah Jadi Tukang Baca Surah Yasin "Pesanan" terminal mojok.co

Salah satu kegiatan yang paling sering saya lakukan saat menjadi santri dulu adalah mencari tempat tahlilan. Tidak hanya sekadar tahlilan, pokoknya yang kira-kira butuh “jasa” santri untuk membacakan surah Yasin. Saat masih menjadi santri, baik di Bogor atau awal-awal ngampus, kegiatan ini rutin saya lakukan.

Saya lupa-lupa ingat bagaimana awal mula kegiatan ini saya rutin lakukan, tapi yang jelas saya masih ingat rasanya, dan tentu saja berkat dan amplop yang diberikan setelah selesai. Aduhaiii, itu yang sebenarnya paling dinanti. Sebab, sebagai seorang yang kere dan butuh duit, saya sadari bahwa saya juga butuh pemasukan. Seenggaknya, berkat dan amplop dari ngaji surah Yasin sangat membantu ekonomi yang lemah.

Pokoknya, kegiatan tersebut sering dilakukan setiap bulannya dan ini tidak tentu. Ini tergantung permintaan warga sekitar, baik itu yang berupa hajatan/tasyakuran sampai yang baca tahlil 7-100 harian. Sebagai santri yang sudah dibekali ilmu tahlilan, tentu saja kami mah senang-senang saja untuk membantu. Apalagi kadang-kadang warga sekitar lumayan awam plus minim masalah soal beginian. Warga senang, santri pun kenyang. Yang penting, “waktunya” sama-sama pas.

Namun, ada alasan spesifik juga mengapa kegiatan macam ini tidak pernah luntur. Bahkan, sepengamatan saya terus berjalan. Saya coba-coba iseng tanya kepada adik-adik kelas saya di pesantren, bahkan katanya masih ada yang rutin melakukannya. Ajaibnya, ternyata teman-teman saya yang berasal dari pesantren berbeda juga melakukan kegiatan tersebut. Ada beberapa alasan spesifik dari hal tersebut sebagai berikut.

Pertama, santri yang membaca surah Yasin itu sangat dihormati. Pokoknya paling enak, deh. Memang kalau ikut yang bareng-bareng warga biasa, berkatnya ikut biasa saja. Namun, lain soal kalau baca surah Yasin “pesanan.” Wah, pokoknya dijamu sedemikian rupa. Makanan ditambah, sajian lebih lengkap, berkat double, jatah rokok beda sendiri.

Kedua, kalau sudah dipercaya, pamor akan berlanjut mulut ke mulut. Warga A puas dengan “kinerja” kita, maka siap-siap untuk dipanggil warga lain. Jangan salah, saat masa kejayaan (woilah) dulu saya pernah selama sebulan lebih dari lima kali, bahkan pernah dua minggu full. 

Ketiga, kadang-kadang bayaran dihitung per-jam! Bayangkan, baca surah Yasin dihitung segitu. Kadang-kadang bisa sampai angka 50K, waduhhh. Makanya, kadang-kadang ada yang bacanya dilamain, walaupun memang kadang-kadang disuruh baca semalaman suntuk, sih. Sudah bayaran cukup lumayan, belum lagi berkat yang mantap. Gimana santri nggak doyan?

Eitss, tapi nggak cuman ada enaknya doang, kok! Sebab, namanya pekerjaan juga punya risiko. Nggak percaya? Ini saya ceritakan juga nggak enaknya. Mungkin kalau dilihat sekilas, menjadi pembaca surah Yasin “pesanan” memang terlihat menggiurkan dan sangat mudah, tapi tetap saja ada risiko pekerjaan yang harus siap dijalani. 

Satu, kadang-kadang kami harus baca surah Yasin di kuburan baru. Asli, serius. Kuburan. Baru. Itu kuburan yang masih hangat tanahnya, dan jasad baru dikubur, lalu malamnya langsung dibacakan surah Yasin, semalaman pula sampai pagi. Mau nggak mau kami harus mau karena sudah diamanahkan. Mending kalau kuburan ramai, kadang-kadang kuburan sepi dan paling pojok, sudah begitu banyak nyamuk!

Kadang-kadang memang bukan di kuburan, tapi langsung di depan mayit. Kalau ini saya belum pernah tapi teman yang pernah. Selama semalaman suntuk ia pernah membacakan surah Yasin di hadapan mayit langsung. Mantap benar, bukan?

Dua, kalau sudah disepakati jadwal, ya harus sepakat. Nggak ada ceritanya bolong hari atau izin. Pokoknya harus tuntas. Kalau tidak tuntas, ya, selamat tinggal. Kepercayaan menurun, kredibilitas (anjay) juga diragukan. Yang parah, kita jadi jarang dipanggil untuk membaca surah Yasin lagi. Entah amplopnya jadi setengah, tidak dikasih berkat, atau yang paling parah tetap dikasih semua tapi dengan muka cemberut. Hadehhh.

Risiko menjadi pembaca surah Yasin “pesanan” memang hanya dua saja yang saya rasakan. Namun, tetap saja namanya risiko itu tidak pernah enak. Akan tetapi, gengsi dan perut kan dua hal yang berbeda. Santri juga butuh makan, butuh udud juga bagi yang melaksanakannya. Makanya, menjadi pembaca Yasin pesanan seperti di atas memang cukup lumayan membantu, sih.

BACA JUGA Sebagai Orang yang Pernah Mondok, Saya Tidak Ingin Disebut Santri dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform Use Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version