Pengalaman Saya Tinggal di Madukara, Kecamatan yang Paling Menderita di Banjarnegara

Pengalaman Saya Tinggal di Madukara, Kecamatan yang Paling Menderita di Banjarnegara

Pengalaman Saya Tinggal di Madukara, Kecamatan yang Paling Menderita di Banjarnegara (unsplash.com)

Dieng memang layaknya kembang desa yang menawan. Semua terpikat oleh keindahan alam negeri di atas awan tersebut. Sorot lampu tertuju pada dataran tinggi yang menjadi kebanggan Kabupaten Banjarnegara itu. Hingga mereka lupa, bahwa ada sebuah kecamatan lain yang tak pernah diperhatikan. Kecamatan itu bernama Madukara. Mungkin, bisa dikatakan Madukara Banjarnegara layaknya anak tengah yang kerap tenggalam di antara kediktaktoran kakaknya dan keangkuhan adiknya.

Bahkan dari semua kecamatan yang ada di kabupaten yang terkenal sebagai penghasil dawet ayu itu, Madukara menjadi kecamatan yang paling menderita hingga dianggap tak kasat mata. Kasat mata di sini bukan berarti gaib, lho ya, melainkan dinggap tidak ada. Kenapa?

Kecamatan Madukara Banjarnegara begitu rapuh karena rawan longsor

Sedikit cerita, saya pernah tinggal di kecamatan ini. Kebetulan waktu itu, saya diajak seorang kawan untuk main ke rumahnya. Karena waktu libur yang lumayan panjang, akhirnya saya mengiyakan ajakannya. Awalnya, saya hendak menginap barang satu dua hari saja. Tapi malah bablas hingga hampir seminggu lamanya.

Desa kawan saya berada di Madukara bagian utara, tepatnya Desa Clapar. Saat itu musim hujan sedang berlabuh. Saya memasuki Madukara Banjarnegara tepat setelah hujan reda. Udara sejuk menuju desa kawan saya menjadi awal yang baik. Namun, itu tak berlangsung lama. Beberapa kali motor yang kami tumpangi dipaksa berhenti. Saya kira ada mobil yang sedang mogok. Nyatanya tidak!

Usut punya usut, alasan kami diminta berhenti lantaran jalan yang dilalui mengalami longsor di salah satu lajurnya. Kejadian ini tidak sekali saja, hampir tiga kali kami harus melewati jalan yang amblas lantaran longsor setelah terguyur hujan yang deras. Bagi kawan saya, kejadian ini sudah menjadi hal biasa yang lumrah di kala musim hujan. Eladalah, nelangsa tenan, Lur!

Kecamatan yang disamakan dengan puncak gunung yang pelosok dan tak terjangkau

Beberapa hari tinggal di Madukara Banjarnegara saya merasa senang sekaligus bingung. Senang karena hawa udara yang begitu dingin dan menentramakan. Bingung lantaran beberapa bahasa yang digunakan kerap membuat saya mengernyitkan dahi.

Contohnya saat salah seorang warga bertanya kepada kawan saya, “Kamu mau turun kapan?”. Saya pun sempat heran. Turun? Memang kawan saya hendak turun ke mana? Karena penasaran, saya menanyakan makna “turun” yang sebenarnya kepada kawan saya. Ternyata, maksud turun adalah pergi ke pusat kota.

Jadi, kecamatan yang dikenal sebagai penghasil salak ini dianggap sebagai kecamatan yang berada di puncak gunung. Makanya mereka (waraga Desa Calapar) menggunakan kata “mudun/turun” tatkala hendak bepergian ke pusat kota Banjarnegara.

Begitu pula saat saya berada di Alun-Alun Banjarnegara, kawan saya mengajak saya “munggah” atau naik. Naik di sini bermakna pulang ke rumah. Alih-alih menggunakan kata pulang, kawan saya sudah terbiasa dengan penggunaan kata naik. Saya baru mengalami fenomena unik ini, di mana warga merasa kalau mereka tinggal di puncak gunung. Padahal, saya rasa Madukara Banjarnegara tidak tinggi-tinggi amat.

Jalan gelap gulita layaknya masa depan para pelaku judi online

Saat sedang asyik nongki di pusat Kota Gilar-Gilar, kawan saya meminta pulang. Padahal saya masih berusaha keras mengahabiskan bungkus nasi kucing yang kedua. Lagian, bagi saya, jam 9 malam itu masih terlalu sore. Tapi kata teman saya, semakin malam, jalan akan tambah sepi. Akhirnya saya merampungkan makan, menandaskan teh hingga habis, lalu membayar.

Benar saja, saat perjalanan pulang, jalanan begitu lengang. Ini lebih lengang dari hati para jomblo yang fakir cinta. Jalanan menuju Madukara Banjarnegara begitu gelap. Pekat seperti masa depan para pelaku judi online. Belum lagi jalur yang meliuk layaknya gocekan Lionel Messi. Wajar saja jika kecamatan satu ini jarang dijamah orang dari luar kota. Hanya terdengar suara jangkrik yang saling bernyanyi dalam dingin malam.

Saya rasa, kata “menderita” sudah menjadi kawan karib warga di Kecamatan Madukara Banjarnegara. Mereka saling memeluk layaknya kekasih yang tak ingin kehilang antara satu dan lainnya.

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 4 Tempat Wisata yang Dikira Terletak di Banjarnegara, padahal Bukan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version