Menjadi mahasiswa semester akhir membuat saya mau tidak mau harus melakukan praktik lapangan. Kegiatan ini semacam wadah mahasiswa untuk mengaplikasikan teori yang selama ini didapat. Sesuai kebijakan yang berlaku di jurusan saya (Bimbingan Konseling), saya tidak bisa memilih tempat praktik sendiri. Semuanya ditentukan oleh pihak jurusan. Hingga akhirnya, pembagian tempat dan kelompok diumumkan, saya kaget bukan kepalang karena harus berada di Rumah Tahanan Negara selama sebulan lebih!
Seperti pandangan masyarakat umum lainnya, salah satu lembaga pemasyarakatan ini memiliki image yang menyeramkan bagi saya. Melihat segerombolan preman di jalan saja saya ketakutan, tak terbayangkan jika harus berada di sekitar mereka dan berinteraksi langsung. Sudah seperti masuk kandang harimau! Tapi, mau bagaimana lagi, demi studi yang harus segera diselesaikan, saya memberanikan diri masuk ke sana.
Singkat cerita, pada minggu pertama praktik, kami diperkenalkan dengan rumah tahanan. Mulai berkenalan dengan petugas, orientasi lingkungan, dan dijelaskan bagaimana kehidupan rumah tahanan sehari-hari berjalan. Sampai pada tahap ini, kami cukup terkejut dengan dunia yang ternyata sama sekali berbeda dengan bayangan kami sebelumnya.
Jika yang sering digambarkan, kehidupan warga binaan pemasyarakatan atau WBP (istilah untuk narapidana ataupun tahanan) dibatasi oleh jeruji besi, nyatanya hal ini tidak sepenuhnya benar. Memang gerak mereka terbatas, namun hal itu tidak mematikan hak-hak mereka sebagai manusia. WBP masih memiliki hak bertemu dengan orang lain, beribadah, refreshing, bahkan bekerja.
Pada jam tertentu, sesuai jadwal tentunya, warga binaan diperbolehkan berkumpul dengan sesama WBP lain di kamar, olahraga, baca buku di perpustakaan, bermain dan sebagainya. Di hari-hari tertentu pun, sesuai jadwal lagi, mereka bisa dikunjungi kawan dan keluarga. Malah di rumah tahanan tempat saya praktik, kunjungan pada Minggu dikhususkan untuk keluarga WBP. Hal ini lantaran WBP kesulitan bertemu anak pada jam kunjungan biasa yang terbentur dengan jam sekolah.
Kreativitas mereka pun tak dibatasi. Pihak rutan melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat untuk membuat pelatihan bagi warga binaan. Beberapa di antaranya yaitu pelatihan otomotif, tata boga, merajut, dan lain-lain. Hal ini sebagai upaya rutan untuk memberikan bekal keterampilan bagi WBP agar setelah bebas kelak, mereka bisa berdaya lagi. Bahkan, pada keterampilan tertentu yang bisa menghasilkan barang bernilai jual, mereka bisa mendapatkan uang juga, lho. Tentu dengan catatan jika barang tersebut laku terjual.
Saya ingat betul waktu itu kami jalan-jalan berkeliling kebun rutan. Di sana memang disediakan lahan untuk pekerjaan pertanian, walaupun luasnya tidak seberapa. Dengan kebun tersebut, WBP bisa menanam sayur dan umbi-umbian. Pun, dibikin dua kolam untuk beternak ikan. Mereka yang mengurus kebun, juga mendapat upah atas kerjanya. Seorang WBP mengaku, dengan melakukan pekerjaan tersebut mereka justru bisa mengalihkan pikirannya untuk berpikir yang tidak-tidak dan merasa lebih hidup.
Pada satu kesempatan, ada WBP yang bercerita kepada kami bahwa hidupnya di rumah tahanan laiknya orang yang sudah meninggal.
“Mbak, neng kene ki wis koyo wong mati. Nek tiap Jumat wong mati kuburane ditiliki, digawani kembang, neng kene iki yo podo bae. Seminggu pisan keluarga teko, nggowo masakan omah. Bedane mbak, wong mati ora biso urip maneh. Nanging, bariki aku bebas, uripku kudu luwih apik. Ora maneh-maneh mbak mlebu penjara.”
(Mbak, hidup di sini tuh udah kayak orang meninggal. Kalau setiap Jumat keluarga mereka berziarah, membawa bunga, di sini ya sama aja. Satu minggu sekali keluarga berkunjung membawa masakan rumah. Bedanya mbak, orang yang sudah meninggal nggak bisa hidup lagi. Tapi, setelah keluar dari sini nanti, hidup saya harus lebih baik. Nggak lagi-lagi deh mbak masuk penjara).
Kata tersebut terlontar dari WBP mantan sopir bus, ia mengatakannya sembari memberi makan anakan ikan lele dan nila.
Di lain kesempatan, oleh karena kami melakukan layanan konseling baik individu maupun kelompok, saya mendapatkan cerita yang luar biasa lagi. Betapa mereka memiliki harapan dan ketakutan yang luar biasa sekaligus ketika harus kembali ke masyarakat. Pun tidak satu dua orang saja yang mengaku terpaksa melakukan pelanggaran hukum karena situasi yang mendesak.
Sebagai masyarakat yang “bersih”, tidak memiliki masalah hukum, kita seringnya berat hati menerima kembali mantan narapidana ke lingkungan kita. Lagi-lagi karena image yang kita bentuk sendiri. Memang, tidak semua narapidana otomatis sadar dan menyesal ketika masuk rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, tapi bukan berarti kita bisa memukul rata semuanya demikian. Bisa jadi, kesalahan pribadi mereka adalah kesalahan kolektif kita yang kurang aware dengan lingkungan sekitar.
BACA JUGA Panduan Memberi Nama Bayi Biar Nggak Nyusahin Banyak Pihak dan tulisan Elif Hudayana lainnya.