Saya seorang IRT yang pernah punya pengalaman mengelola bisnis dengan memanfaatkan aplikasi online. Yang pertama penginapan sederhana usaha keluarga, dan yang kedua jualan bubur ayam. Kedua bisnis saya ini bisa dibilang hidupnya sangat bergantung dari jualan online. Rating dan review adalah senjata saya menggaet pelanggan.
Sekitar 70 persen tamu yang menginap, saya dapatkan dari reservasi melalui berbagai online travel agen (OTA). Sementara hampir 90 persen pelanggan bubur didapatkan dari aplikasi GoFood. Terbukti, strategi jualan dan promo-promo yang dilakukan para aplikator itu mampu menarik perhatian konsumen untuk membeli produk kita.
Cuma memang ada konsekuensinya. Pertama, di OTA dan GoFood ada komisi yang harus disisihkan untuk mereka. Kedua, kita harus repot dikit melakukan update di website bila ada perubahan harga kamar, jenis produk yang dijual, mau tutup warung, dan lain-lainnya. Ketiga, siapin mental buat baca review orang. Haa…emangnya mau ke KUA sampai perlu siaipin mental segala?
Jadi begini, hampir setiap aplikator akan meminta konsumen untuk memberikan penilaian tentang produk yang dibelinya. Tidak hanya berupa testimoni, komen, atau pesan dan kesan, tapi juga rating berupa jumlah bintang. Semakin banyak bintang yang diberikan konsumen maka produk tersebut dianggap semakin baik.
Selama saya berjualan via online ini, bisa dibilang review konsumen sangat berperan dalam mengendalikan usaha saya. Apalagi untuk konsumen baru, review dan rating lah yang menjadi pedoman dalam membuat keputusan untuk membeli produk atau tidak. Seberapapun bagusnya penjual menampilkan foto, deskripsi dan jaminan produknya, jadi tidak berarti dibandingkan review konsumen. Secara psikis, produk dengan rating rendah pasti akan menimbulkan keraguan dan kekhawatiran mereka.
Saya yakin pada umumnya setiap penjual tidak keberatan untuk dinilai, walaupun dikasih bintang satu dan ulasan yang sangat negatif sekalipun. Buat penjual yang legowo, hal itu bisa jadi masukan untuk meningkatkan kualitas produknya. Cumaaa…dari pengalaman saya, nggak semua konsumen bisa memberikan penilaian yang adil. Ini yang kadang kita sebagai penjual jadi bete juga baca ulasan dari konsumen.
Setuju, konsumen adalah raja, dan sebagai penjual kita wajib memberikan hak mereka yaitu produk yang sesuai, serta pelayanan yang baik. Permasalahannya adalah tingkat kepuasan konsumen yang berbeda-beda. Konsumen A bilang bubur saya enak, konsumen B bilang bubur saya nggak enak banget. Konsumen A bilang front officenya ramah, konsumen B bilang front officenya justru ganggu banget karena sering menyapa tamu.
Efeknya berimbas ke review dan rating. Memang hak konsumen untuk memberikan ulasan dan rating sesuai dengan apa yang ia alami. Tapi maap-maap ya mpok, gak jarang konsumen memberikan ulasan yang mengada-ada. Mereka nggak mikir kalau review yang ia berikan bisa memberikan efek yang luar biasa pada penjualan kami.
Penginapan saya pernah mendapat review dari ibu-ibu yang komplain segala hal mulai dari kebersihan di pojok atap kamarnya, spot di sela jendela yang hampir tidak terlihat, ketidaklengkapan kamar karena tidak adanya ember/bak untuk mandi bayinya, sampai komplain karena tidak ada bantal kecil untuk punggungnya. Saya yakin di hotel bintang 5 sekalipun nggak ada yang punya fasilitas buat mandiin bayi di kamar mandinya masing-masing.
Yang anehnya lagi, selama menginap beliau terlihat baik-baik saja, tidak terlihat kesal. Bahkan memberikan senyum perpisahan saat check-out dan membalas ucapan terima kasih kami. Nah..gimana saya nggak bingung ketika beliau menulis review seperti itu dan menyematkan bintang 1 buat saya ?
Beberapa OTA saat ini memberi kesempatan pada kita sebagai penjual, untuk membalas review konsumen. Saya rasa pihak OTA lama-lama sadar mitra mereka selalu jadi sasaran tembak konsumen. Padahal belum tentu 100 persen terjadi karena kesalahan penjual. Tapi sebagai penjual, kan nggak mungkin juga kita berbalas pantun dengan konsumen di kolom review. Paling top nulis “maaci dan moon maap”.
Dikasih rating kecil dan review negatif buat saya itu berasa dicambuk banget. Kalau memang itu kesalahan penjual seperti lantai kamar mandi yang masih agak licin, atau mungkin ada bahan baku bubur yang ternyata kurang segar sehingga mempengaruhi rasa, saya bisa terima. Tapi kalau cuma sekedar bilang “nggak enak”, atau “staff jutek, kamar jelek”. Apa yang harus di evaluasi kalau review nya seperti ini?
Alhasil, menerima konsumen online justru bikin saya deg-degan. Karena walaupun kelihatannya baik hati dan tidak ada masalah, tapi belum tentu beliau kasih review dan rating yang baik. Jadinya sebagai penjual, saya sering berharap pada calon konsumen untuk membandingkan secara adil antara harga yang dibayar dengan produk yang didapatkan. Istilahnya “worth the price”. Selain itu cuma bisa harap-harap cemas, mudah-mudahan calon konsumen cukup waras untuk memilah mana review yang masuk akal dan mana yang mengada-ada.
BACA JUGA Penipu Online Sebaiknya Tetap Meremehkan Tata Bahasa Indonesia, Sekarang dan Selama-lamanya dan tulisan Dessy Liestiyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.