Pengalaman Saya Menjadi Kuli Bangunan Selama Satu Hari

buruh pabrik kuli bangunan ideologi kiri buruh mojok

buruh pabrik kuli bangunan ideologi kiri buruh mojok

“Bre, besok pagi kosong nggak?”

Pesan WA itu saya terima dari seorang teman lama pada malam kemarin. Sejak pertama kali kita ketemu lagi, dia cerita kalau belakangan ini dirinya lagi sibuk dalam dunia bangun-membangun rumah. Rumah dia sendiri tentunya yaa. Saya kira, sibuknya dia seperti pada umumnya orang mengontrol rumahnya yang lagi dibangun. Ternyata tidak, dia sering turun tangan sendiri bantuin para pekerjanya!

Beberapa kali dia nawarin saya untuk ikut mencoba, sekaligus meyakinkan kalau pekerjaan yang bakal kita lakuin itu bagian ringan-ringannya aja. Saya mengiyakan sejak cukup lama, namun belum sempat ada waktunya. Saya pikir lumayan juga, saat nanti udah sukses saya bisa bilang dulu pernah kerja nguli buat nambah-nambah uang jajan. Nah akhirnya, kita ketemu waktu yang tepat pada hari itu. Hari yang bersejarah, saya akan mencoba menjadi kuli bangunan untuk pertama kalinya!

Menjadi kuli bangunan atau pekerja konstruksi bagi saya adalah pekerjaan paling menyakitkan di dunia. Tapi maksudnya bukan gitu yahh. Mereka harus melihat rumah tersebut dibangun dari nol dan bekerja keras setiap harinya. Eh tapi pas rumahnya udah selesai dibangun, mereka justru harus pulang dan nggak bisa menikmati hasil pekerjaannya. Nah, mungkin perasaan itu yang ingin teman saya rasakan kali yaa. Dia ingin tahu bagaimana rasanya menikmati hasil kerja kerasnya sendiri.

Di pagi harinya, teman saya ngejelasin bahwa yang bakal dikerjakan hari ini adalah mindahin batu dan pasir dari lantai satu ke lantai dua, pakai katrol pastinya, Kalau nggak, ya atuhlah bakal capek banget dong. Nah, saya kebagian menyerok batu dan pasir itu ke ember dengan sekop, sementara dia bertugas menarik ember itu keatas dengan katrol. Sebelum kita mulai, dia juga nyiapin Nutrisari dingin, makanan ringan, dan buah-buahan buat kita istirahat nanti. Layaknya kuli bangunan beneran deh, sumpah seru!

Kita mulai jam sembilan pagi, saya mulai dengan batu terlebih dahulu. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada serokan pertama. Jari-jari belum terbiasa, lengan seketika melemah, dan pijakan kaki yang ternyata salah benar-benar mengejutkan saya. Saat itu saya mulai mikir; tadi baru serokan pertama, gimana 100 atau bahkan 1000 serokan selanjutnya? Mungkin saya salah mengambil pekerjaan ini. Seperti memperkuat pikiran yang muncul di kepala saya itu, saya juga istirahat setiap sepuluh menit pada satu jam pertama. Emang cemen banget anak satu ini.

Pikiran tadi ternyata salah. It gets better over time. Tangan saya semakin pede sama grip sekopnya. Lama-kelamaan, saya juga menemukan teknik yang dapat mengurangi rasa sakitnya. Oh iya lupa bilang, sekopnya lumayan berat dan bikin tangan saya tergores di beberapa bagian. Saking menikmati serunya, saya baru sadar bahwa ada luka saat waktu istirahat, dan batu sudah semuanya diangkat keatas. Tapi semuanya aman sih, karena sakitnya belum terlalu terasa saat itu.

Setelah istirahat, saya pindah haluan ke gundukan pasir. Ngeliatnya aja udah males, banyak bener cuy. Tapi tetap dikerjain sampe beres kok, kan itu bagian dari pekerjaan juga. Nah, meskipun sama-sama bikin tangan sakit, kalau pasir nggak terlalu berat. Jadi nggak terlalu kerasa, dan karena saya juga menikmati tiba-tiba kelar aja gitu. Padahal waktu udah menunjukkan jam tiga sore, lama juga kita nguli ya. Tapi pokoknya, saya nggak nyesel udah nerima pekerjaannya. Pengalaman yang saya dapet beneran engga bisa dilupain.

Capek, pake banget. Itulah kesan pertama yang diberikan pekerjaan ini kepada saya. Dari awal mulai, sampai pulang dan menulis tulisan ini, saya masih terbayang bagaimana capeknya. Badan sakit semua, benar-benar dari atas sampai bawah. Mungkin karena ini baru kedua kalinya saya menerima pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Ditambah juga, saya emang orangnya cemen. Jadi, mungkin agak wajar untuk ngerasa seperti ini.

Pengalaman satu hari itu membuat saya dapat lebih menghargai profesi mereka. Saya juga membayangkan betapa kuatnya kuli bangunan yang sesungguhnya, secara fisik dan mental tentunya. Mereka harus mengerjakan berkali-kali lipat daripada apa yang saya kerjakan hari itu setiap harinya. Tapi toh semuanya tetap dijalani dengan sepenuh hati. Ternyata benar ya, kalau hati sudah digerakan oleh tanggung jawab, pasti bakal sulit untuk dihentikan.

Di awal tulisan, saya sempat bilang bahwa pekerjaan ini menyakitkan karena mereka nggak bisa menikmati hasil dari kerja kerasnya. Tapi, kalimat itu keluar dari seorang yang baru merasakan berada di posisi mereka hanya selama satu hari. Sepertinya, mereka udah cukup senang karena proyek yang telah lama dikerjakan akhirnya selesai. Mungkin juga, mereka merasa bahwa untuk bersyukur dengan keadaan, mereka tak perlu banyak menikmati ini itu terlebih dahulu. Salut deh sama kalian, wahai para kuli bangunan!

BACA JUGA Nasib Renovasi Rumah yang Ditinggal Pamit Kerja Semua Kuli Bangunan dan tulisan Dzulfiqar Galih Devara lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version