“Jancvk!”
Bukannya syukur alhamdulillah, tapi malah kalimat toyyibah yang pertama kali keluar dari mulut saya tak lama setelah membuka bungkusan paketan buku yang baru saja datang, yang saya beli dari Shopee lima hari lalu. Bagaimana nggak gitu, soalnya buku yang saya beli ternyata buku bajakan. Padahal sebelum meminangnya, saya telah memastikan terlebih dahulu bahwa itu buku original penerbit, bukan barang bajakan, KW 1, KW 2, dan sejenisnya. Udah gitu datangnya terlambat pula, melewati tenggat yang ditentukan pihak Shopee.
Kisah menyebalkan ini bermula setelah saya menerima upah kerja jaga toko sembako. Meski upah yang tentu tak cukup buat keluar masuk diskotik selama tujuh hari tujuh malam nonstop, tapi setidaknya saya bisa menggunakannya untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Yah, untuk membeli beberapa keping buku original rencananya.
Dan itu memang keinginan saya, terutama sebagai bentuk penebusan dosa yang lalu lantaran dulu—pas awal-awal kuliah—saya suka banget beli buku bajakan.
Namun, tampaknya Tuhan selalu akan menguji hamba-Nya sebelum naik ke maqom yang lebih tinggi. Tak terkecuali kepada hamba-Nya yang baru saja taubat dari membeli buku bajakan ini. Dan kali ini saya menduga niat baik saya sedang diuji oleh-Nya.
Pasalnya, kali ini saya benar-benar kesulitan mencari buku yang berjudul Lingkungan Hidup dan Kapitalisme karya Fred Magdoff dan John Bellamy Foster—yang diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri dan diterjemahkan Pius Ginting. Bukan karena stoknya nggak ada, tapi saya kesulitan membedakan mana buku original dan mana yang bajakan dari sekian banyak barang yang dijajakan. Soalnya, melihat harga yang ditawarkan para penjual buku online itu saja pondasi keimanan yang sudah payah saya bangun, nyaris goyah kembali. Masak ada buku terbitan Marjin Kiri atau terbitan mana pun harganya cuman 25 ribu? Malahan ada yang 15 ribu. Zuhud banget penerbitnya, Bosque!
Merasa gamang melanjutkan cari buku di Shopee, saya mencoba DM langsung penerbit Marjin Kiri. Siapa tahu stoknya masih ada di gudang penerbitnya. Jawaban yang saya dapat, “coba menghubungi nomor penjualan yang ada di profil kami, Kak. Mudah-mudahan di gudang masih ada ya, Kak.” Kemudian waktu saya kontak via WhatsApp terkait stok buku itu, eh, disuruh cek webnya langsung. Sementara pas saya cek di webnya, ternyata out of stock alias habis! Duh.
Kendati demikian, saya nggak mau menyerah. Sebab saya sudah ngebet banget beli buku itu dan pumpung punya uang! Akhirnya saya memutuskan untuk kembali lagi mencarinya di Shopee.
Setelah scroll cukup lama, perhatian saya tertuju pada buku yang saya cari itu, yang dibanderol 69 ribu oleh, sebut saja, toko Melati. Harga yang cukup meyakinkan jika melihat harga asli di katalog web Marjin Kiri, yaitu 54 ribu. Nggak masalah cuman selisih 15 ribu saja, asal original, pikir saya.
Langkah yang saya ambil selanjutnya adalah mengamalkan saran-saran klise teman saya yang berpengalaman belanja di Shopee, semata agar terhindar dari tipu muslihat para penjual buku bajakan yang membanderol buku dengan harga menggiurkan—murah. Mulai perhatikan performa chat, harga, ulasan pembeli sebelumnya, hingga penilaian toko tuntas saya amalkan. Semua tampak beres. Performa chat 71%, penilaian pembeli 4.7, dan ulasan pembeli sebelumnya pun bilang kalau produknya bagus, bintang empat lagi. Cukup meyakinkan.
Untuk memastikan sekali lagi bahwa buku yang saya beli benar-benar original, saya langsung menghubungi si penjual via fitur chat Shopee untuk menanyakan perihal keorisinilan buku tersebut. Selang beberapa menit pesan saya dibalas, “buku original, Kak. Silahkan diorder.” Tanpa basa-basi saya langsung bergegas menuju Alfamart, untuk membayar pesanan. Kata guru saya, amal kebaikan harus disegerakan.
Seperti pemburu yang sukses menangkap mangsanya, ada perasaan puas dan lega di hati saya. Namun itu nggak bertahan lama. Hingga pada akhirnya keganjilan-keganjilan mulai saya rasakan.
Berjalan tiga hari setelah saya menyelesaikan transaksi buku itu, resi pengiriman tak kunjung muncul. Kepada si pelapak, saya bertanya mengapa demikian? Selang sekitar setengah jam, pesan saya direspon. Dan si penjual berdalih bahwa aplikasinya agak eror, “Sulit (muncul resinya), Kak. Padahal (resi pengirimannya) sudah saya masukkan berkali-kali. Tapi (barangnya) sudah saya kirim kok, Kak.” Kilahnya.
Belum selesai saya ngetik hendak membalas pesannya, si penjual berseloroh “Nanti kalau status (dikemas) tidak berubah (dikirim), dan barang sudah sampai, tolong di-cancel. Dan uang ditransfer manual ya, Kak.”
Benar-benar ganjil. Padahal pihak Shopee sudah memperingatkan untuk tidak melakukan transaksi di luar aplikasi. Untuk menghindari penipuan tentu saja.
Saya tak membalas pesan si penjual. Mulanya saya hendak langsung membatalkan pesanan tersebut. Setelah saya pikir kembali, akan repot jika paketan saya benar-benar datang sedangkan pesanan yang ada di Shopee sudah saya batalkan. Sebab, jujur saja, saya punya kendala serius kalau harus transfer uang manual karena saya nggak punya kartu ATM. Dan saya juga malas jika harus mengirimkan kembali paketan kepada si penjual buku tadi. Repot tur rugi, Buos!
Namun, selang beberapa jam pasca saya menghubungi si penjual buku tadi, ternyata resinya muncul. Saya mencoba husnudzon, tapi gagal. Mungkin karena keganjilan-keganjilan yang telah terjadi. Ya sudah, akhirnya saya memilih untuk menunggu saja tanpa kepastian walaupun itu sangat menyebalkan.
Dua hari berikutnya paketan buku saya akhirnya datang. Total selama lima hari saya harus menunggu tanpa kejelasan. Dibantu dua mata pisau gunting berkarat milik teman saya, bungkusan paketan buku berlapis tiga putaran isolasi dan satu kertas sampul buku, berhasil saya jebol pertahanannya. Dan… benar saja. Syak wasangka saya benar terjadi. Yang saya terima adalah buku bajakan. Sampul buku yang kelihatan buram, kualitas kertas yang buruk, ditambah lagi font yang ada pada hampir semua halaman tercetak blur membelah dua khas font fotocopy-an, menjadi petunjuk sahih bahwa ini adalah buku bajakan.
Segera saya mengumpat, “Jancvk!” yang disambut ekspresi heran teman saya sekontrakan.
Parahnya lagi, ada cukup banyak halaman yang blong. Tanpa tulisan. Bersih mulus seperti lantai yang baru saja dipel.
Ketimbang berpotensi menimbulkan kesesatan bagi orang yang membacanya di kemudian hari karena banyak bagian pembahasan yang hilang entah ke mana, pada sore itu saya akhirnya memutuskan pergi ke warung sambil menenteng botol untuk beli Pertamax. Kalian tahu sendiri kan bahan bakar gunanya buat apa? Tentu saja untuk membakar buku itu sekaligus amarah yang menggumpal di dada saya.
BACA JUGA Kekonyolan Model Kaderisasi ala PMII atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.