Revisi UU 12/1995 tentang Permasyarakatan (UU PAS) jadi sorotan karena di Pasal 9 dan 10 dicantumkan bahwa napi akan mendapat hak rekreasi dan cuti bersyarat, yang artinya napi boleh izin keluar penjara untuk rehat. Berita itu membuatku ingat pada risetku 5 tahun lalu di sebuah penjara kecil.
Pada dasarnya, memang banyak masalah dalam sistem pemenjaraan yang sekarang. Hak untuk cuti, pulang, dan rekreasi itu menurutku penting. Masalahnya ada di perkara teknis.
Di penjara tempatku riset dulu, keseluruhan petugasnya cuma 28 orang, sudah termasuk kepala lapas, dengan napi 300 orang lebih. Satu penjaga mengawasi dua blok. Di revisi UU PAS, katanya kalau napi pulang ditemani petugas. Petugas mana? Dari balai permasyarakatan (bapas)?
Kalau mau niru penjara Norwegia, biayanya mahal sekali. Sistem penjara di Indonesia sekarang saja sudah mahal, dan itu jadi dalih untuk macam-macam kegiatan ekonomi ilegal, kerja tak berbayar, sampai bisnis ini itu. Di lapas yang aku teliti, beberapa napi yang berduit investasi di penjara, serperti buka warung dan bikin peternakan.
Kekurangan penjaga juga menyebabkan napi dikurung lebih lama. Siang hari yang mestinya mereka paling tidak bisa keluyuran di kompleks penjara, jadi nggak bisa soalnya siapa yang jagain.
Keterkurungan lama ini bisa bikin gila. Waktu aku masuk blok sendiri diantar napi yg jadi informan, aku dapet catcall terburuk yang cukup bikin gentar (tapi aku nggak nyesel masuk ke sana). Awalnya mereka panggil-panggil. Lalu menggonggong. Terus menggoyang teralis. Satu blok gitu semua. Padahal pas ketemu di luar sel, mereka nggak gini.
Sebenernya ada aturan nggak boleh ada perempuan masuk blok tanpa penjagaan, bahkan staf lapas. Tapi aku penasaran pengin lihat isi bui. Kalau ketemu di luar blok, catcall-nya paling cuma panggil-panggil.
Jadi, napi boleh keluar sesekali itu sebenernya bukan ide yang buruk. Masalahnya adalah, siapa yang mendapat hak buat keluar? Jangankan izin keluar ke mal, dapet kunjungan aja ada punglinya. Saya punya video petugas lapas nendang kepala napi gara-gara napi itu mengadu kena pungli pas dijenguk.
Dan ada lho, napi yang gara-gara dia masuk bui, dibuang sama keluarganya dan nggak tahu mau ngapain kalau bebas. Kayak tokoh di film Shawshank Redemption.
“Kalau di sini saya mau uang, bisa cuciin baju anak lain, pijitin, bikinin kopi sama mie rebus. Di luar siapa yang mau nyuruh saya? Mending di sini, seenggaknya ada makanan, ada temen,” kata napi itu.
Dua bulan luntang-lantung di penjara memberiku satu keyakinan: Ini sistem penghukuman yang korup. Dan kalian pikir ini korup karena yang jalanin pemerintah, bukan swasta? O, tidak, Ferguso. Tinggal baca aja riset-riset soal prison industrial complex, ada banyaaaaaak banget masalah yang ditimbulkan dari pengelolaan penjara sama swasta.
War on crime dan war on drugs di Amrikiya tetap menyasar pelaku kriminal receh, kebanyakan dari kalangan minoritas dan rentan, dan pemenjaraan mereka menambah masalah karena ada tumpang tindih kepentingan pemerintah dan pebisnis untuk dapat profit dari surplus napi.
Sebab, surplus napi di penjara swasta di sana memungkinkan kelimpahan tenaga kerja murah. Apakah angka kejahatan turun? Tentu tidak, Marimar.
Jadi bayangkan. RKUHP diketok, kere-kere masuk bui dan jadi tenaga kerja murah dengan pengelolaan penjara oleh swasta/BUMN. Kalau investor nggak mau tenaga kerja dari napi, ada UU Ketenagakerjaan yang gencet buruh. Sip, bukan?
Anak hukum, anggap saja aku ngelempar opini liar karena nggak paham hukum. Tapi, situ paham kondisi penjara nggak, buosqu?
Ya, aku paham bahwa di tengah kondisi yang meremehkan ilmu pengetahuan, penting untuk menekankan kepakaran. Tapi, sebagaimana di semua cabang ilmu, kepakaran berguna apabila pencarian ilmunya tidak berhenti di klaim kepakaran.
FYI, gara-gara riset di penjara, aku dulu jadi hafal beberapa pasal. Kenapa? Karena kalau ketemu napi dan aku tanya kenapa dia dibui, jawabannya selalu dengan pasal. Misalnya, “363, Bu.” Ini maksudnya, napi itu tahu pasal apa yang menjerat mereka. Sementara aku digituin kan harus googling.
BACA JUGA Nasihat untuk Fresh Graduate dari Driver GrabCar yang Sebenarnya Bos Besar atau tulisan Pradewi Tri Chatami lainnya. Follow Twitter @pradewitch.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.