Hanya di Jepang, jalur kereta ditutup karena penumpang satu-satunya telah lulus SMA. Dan ini bukan mitos, atau plot manga. Hal tersebut sempat jadi berita yang viral. Meski begitu, sebenarnya hal tersebut umum di Jepang, terutama jika kita bicara tentang bus.
Sebelum sampai ke hal tersebut, ada baiknya kita mengetahui betapa pentingnya bus dan transportasi umum lainnya di Jepang.
Bus dan kereta di Jepang memang menjadi transportasi umum yang sangat diandalkan oleh warganya. Naik kereta kemudian lanjut naik bus terkadang menjadi rute perjalanan ke sekolah atau tempat kerja. Hal tersebut merupakan hal yang sangat biasa di Jepang.
Lantas, bagaimana keseruan naik bus di Jepang?
Cara naik bus di Jepang
Naik bus di Jepang bukanlah sesuatu yang sulit. Asal bawa duit atau kartu transportasi, seharusnya tidak akan ada masalah ya. Tinggal lihat biaya rute dari kita naik sampai turun bus dan bayar kan selesai. Sayangnya sama seperti di Korea Selatan, biasanya rutenya tidak tertulis dalam huruf latin, kecuali bus di daerah wisata ya. Jadi, sebenarnya tetap merasa kesulitan kalau tidak paham apa yang diucapkan sopir atau suara mbak-mbak speaker dari mesin otomatis. Baik bus Korea maupun Jepang, tidak ada kondektur bus ya. Hanya sopir saja.
Sayangnya lagi, biasanya rute bus juga tidak tertulis secara detail di Google Maps atau aplikasi map bawaan ponsel kita. Jadi ya mau tidak mau kita harus bertanya kepada sopir atau penumpang lain. Hafalkan saja nama tujuan kita dan bilang ke sopir kita mau turun di tempat tersebut. Tidak semua sopir, terlebih yang rute perdesaan, paham bahasa Inggris, lho. Jadi, ya kita yang harus mengalah, mengucap nama tempat itu dalam bahasa Jepang.
Biaya naik bus memang tidak semurah kalau naik kereta, tetapi tidak semahal taksi. Setidaknya ada dua tipe biaya naik bus, yakni jarak jauh-dekat biayanya sama (biasanya di daerah perkotaan maupun wisata) dan biaya sesuai jaraknya. Untuk membayar, sebenarnya ada dua cara, bayar di awal (biasanya untuk yang jarak jauh dekat biayanya sama) dan bayar di akhir berdasar jarak tempuh sesuai rute.
Bus di negara ini rata-rata berukuran besar dengan dua pintu. Biasanya kita naik dari pintu tengah dan harus mengambil semacam kertas bertuliskan nomor halte kita naik. Ketika turun, kertas itu dimasukkan ke dalam mesin di dekat sopir untuk dihitung berapa biaya bus kita. Kalau sudah ketahuan harus bayar berapa, barulah kita bayar dengan uang cash maupun dengan menge-tap kartu transportasi kita. Jangan khawatir soal uang kembalian, uang 10 yen pun akan dikembalikan oleh sopirnya, kok.
Bus sebagai alat transportasi
Meski kereta menjadi moda transportasi utama di Jepang, banyak daerah di pedesaan yang tak terjamah kereta sehingga sangat mengandalkan bus untuk pergi ke mana-mana. Kadang jarak rumah ke stasiun terdekat bisa setengah jam naik bus, lho. Jadwal busnya pun tak selalu ada. Ada yang sejam sekali, dua jam sekali pada hari kerja dan sehari sekali pada hari libur. Kalau ketinggalan bus tersebut, ya mau tidak mau harus menggunakan moda transportasi lain atau menunggu jadwal selanjutnya kalau ada. Untungnya jadwal bus tidak pernah ngaret sih, sesuai yang tertulis di papan halte bus. Keren sih bagian ini.
Teman saya pernah bercerita kalau tempat tinggalnya dulu sewaktu di Jepang sangat jauh dari pusat kota. Jarak asrama ke supermarket terdekat saja setengah jam naik sepeda. Tidak ada minimarket maupun restoran di sekitar asramanya.
Kalau belanja mingguan, ia kadang malas nyepeda karena harus bawa beras 10 kilogram, telor satu pak, sayur buah beraneka rupa di keranjang sepedanya. Jauh, berat, capek gowes, hujan pula ya? Waduh berasa ini Jepang atau bukan ya, ndeso amat. Kadang kalau tak mau repot, ia memilih beli melalui e-commerce. Diantar sampai depan pintu, lho.
Kalau mau pergi ke stasiun, ia pernah sampai harus telepon bus centernya untuk menanyakan apakah hari tersebut busnya beroperasi atau tidak, kalau iya barulah ia naik bus. Kadang malah tak ada penumpang lain, lho. Berasa naik bus pribadi ya. Tonari no Totoro, dong.
Saya pernah melihat salah satu acara televisi Jepang yang membahas soal penghuni daerah terpencil. Di Jepang juga ada kok orang yang tetap tinggal di pucuk gunung meski pemerintah sudah menyarankannya untuk berpindah tempat saja. Kalau sakit, ia akan sangat kerepotan dengan akses jalannya. Ada juga adegan di mana bus beroperasi seminggu sekali hanya saat nenek itu pergi ke klinik untuk berobat dan sopir bus tersebut menunggunya sampai selesai periksa, lho, untuk mengantarnya kembali ke rumah.
Pengalaman naik bus di desa
Saya juga pernah merasakan betapa repotnya tinggal di desa tanpa bus sewaktu melakukan penelitian ke luar kota. Jadwal bus sehari itu hanya tiga kali, pagi siang sore. Untungnya belum sampai tertinggal jadwal, jadi saya masih bisa naik bus. Jarak dari halte dekat tempat wawancara saya sampai stasiun sekitar setengah jam. Kanan kiri kebanyakan kehijauan, kalaupun ada rumah jarak tiap rumahnya sangat jauh.
Awalnya ramai, tetapi satu per satu penumpang turun. Saya jadi perempuan satu-satunya di situ, orang asing, pakai jilbab pula. Sopir dan beberapa penumpang lainnya adalah laki-laki. Mana daerah pedesaan, sinyal provider saya tidak mendukung. Meski katanya Jepang aman, saya tetap waswas sambil mengingat jurus Aikido yang dulu saya pelajari. Tangan tak lepas dari ponsel. Saya takut kalau ada yang Islamophobia atau yang tiba-tiba teriak tidak jelas mengatai saya lalu saya diminta turun karena dianggap mengganggu. Beneran ampun deg-degan naik bus kala itu.
Endingnya? Sebelum sampai stasiun, ada nenek-nenek yang naik, jadinya saya berdua perempuan di bus itu. Agak tenang, meski tetap saja saya masih jadi satu-satunya orang asing di situ. Kalau bukan demi tesis, ogah juga ke situ lagi. Fyuh. Oh iya, hampir tak ada jadwal bus di desa itu pada malam hari, lho. Bahaya juga, kan.
Dari uraian panjang dan pengalaman saya di atas, ada satu hal unik yang berkaitan dengan paragraf pertama tulisan saya ini. Yaitu, meski hanya satu penumpang, bus akan tetap mengantarkannya sampai tujuan. Dan ini bisa terjadi karena dukungan pemerintah yang menghargai rakyatnya, tak terkecuali.
Saya yakin setelah membaca ini, Anda akan membandingkannya dengan Indonesia. Well, sepertinya tidak perlu.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Rizky Prasetya