Sebenarnya ada beberapa keunggulan nonton di bioskop Cinepolis Java Supermall Semarang. Sayangnya, keunggulan tersebut harus tertutup beberapa kejadian kurang menyenangkan yang pernah saya alami.
Menyaksikan film layar lebar merupakan alternatif hiburan yang digemari banyak orang, termasuk saya. Sensasi suara menggelegar dengan tampilan gambar besar menyuguhkan kepuasan yang terbayar. Apalagi kalau berkesempatan menikmati film hits di hari pertama rilis.
Selain XXI, bioskop lain yang sering saya kunjungi adalah Cinepolis. Bioskop ini terletak satu gedung dengan salah satu pusat perbelanjaan tertua di Semarang, Java Supermall. Tidak riuh dan dekat dengan rumah membuat bioskop yang tadinya beroperasi dengan nama Cinemaxx ini menjadi tempat favorit saya. Sayangnya, sederet keunggulan tersebut tak luput pula dari sejumlah kejadian kurang menyenangkan yang pernah saya alami di sini.
Daftar Isi
Antre kasir tiket dan makanan yang disatukan
Kejadian pertama saya alami baru-baru saja ini. Ceritanya, anak saya mengajak nonton film Dilan 1983: Wo Ai Ni yang dilabeli rating untuk semua umur. Meskipun hari Minggu, volume pengunjung di Cinepolis Java Supermall Semarang tidak membludak sebagaimana biasanya jumlah penonton di tanggal merah.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat anak sekolah sedang menjalani liburan kenaikan kelas. Praktis, mayoritas dari mereka memutuskan nonton di hari kerja demi menebus tiket dengan harga lebih murah. Ditambah lagi, kala itu ada pemutaran film anak lainnya dan film dewasa viral yang diangkat dari kisah nyata.
Namun demikian, antrean pembeli tetaplah mengular. Waktu itu, ada dua petugas yang meladeni pembelian tiket. Setelah semakin dekat dengan giliran dilayani, saya pun mengerti akar masalahnya meski kuantitas pengunjung tidak berjibun. Sebabnya adalah aktivitas pemilihan kursi yang disatukan dengan pembelian camilan.
Seusai melakukan transaksi tiket film, petugas secara otomatis mengusulkan penonton untuk sekalian memesan kudapan. Sialnya, order tersebut tidak dialihkan ke gerai makanan yang berada di sebelah. Sebaliknya, kasir tiket justru menyiapkan sendiri segala makanan dan minuman yang diinginkan pembeli.
Kejadian tersebut tentu tidak jadi masalah ketika ada keterbatasan jumlah karyawan. Faktanya, masih terdapat dua staf lainnya berdiri di bagian penjualan makanan ringan yang seakan seperti bebas tugas. Alangkah eloknya bila lajur pembayaran tiket dan pembelanjaan snack di bioskop Cinepolis Java Supermall Semarang dipisah agar tidak membuat calon penonton gundah karena bisa ketinggalan cerita film yang kadung disetel
Upselling yang tidak disadari pembeli
Terkait dengan membeli makanan pendamping, pengalaman menyebalkan juga pernah saya alami. Biasanya, saya tidak pernah membeli kudapan ketika menonton sendirian karena harganya kurang sepadang. Lain cerita jika bersama buah hati yang wajib disertai camilan supaya tetap tenang duduk di kursi bioskop.
Sekali waktu, staf bioskop Cinepolis Java Supermall Semarang mempromosikan popcorn yang menjadi alat cross selling mereka. Bodohnya, saat itu saya kurang awas ketika petugas menyodorkan dua ukuran saja dengan mengatakan ukuran besar dan kecil. Ternyata, yang diberi adalah ukuran large saat saya bilang mau yang kecil. Apa boleh buat, mau tak mau saya kudu membayar, kepalang malu.
Padahal popcorn yang dijajakan sejatinya terdiri atas tiga ukuran. Memang Cinepolis tidak menggunakan istilah kecil, medium, dan besar. Terminologi porsi berondong jagung yang dipakai di bioskop tersebut cukup tricky, yaitu regular, large, dan jumbo. Tampaknya, pegawai bioskop memanfaatkan ketidaktahuan saya ini guna melakukan upselling yang sebenarnya kurang etis.
Sejak saat itu, saya selalu mengucap ukuran yang paling kecil manakala hendak memesan popcorn. Bahkan kalau perlu sambil menunjukkan contoh fotonya.
Nggak ada petugas sobek tiket di pintu teater Cinepolis Java Supermall Semarang
Lumrahnya, bioskop lain menempatkan seorang staf yang bertanggung jawab untuk menyobek tiket film di setiap teater. Uniknya, sepanjang pengalaman saya menonton di Cinepolis Java Supermall Semarang, petugas semacam itu tidak pernah saya jumpai. Mungkin memang demikian peraturan di jaringan bioskop tersebut, saya kurang paham karena tidak pernah nonton di Cinepolis kota lain.
Tentunya, absensi penyobek tiket riskan membuat pihak bioskop kecolongan. Bisa saja, ada pengunjung yang menyelinap menonton tanpa membeli tiket terlebih dahulu. Toh, teater di Cinepoles Java Supermall Semarang jarang sekali penuh sehingga orang bebas duduk di mana saja yang sekiranya aman dari reservasi. Terlebih saat ini tiket elektronik bisa dibeli tanpa harus dicetak kembali. Alhasil, penyusup semakin bebas berkeliaran dengan aman.
Benar bahwa kerugian tersebut bukanlah urusan saya. Menjadi masalah apabila ada penonton yang mengajak anak kecil untuk melihat film di atas batasan usia mereka. Setidaknya, eksistensi pegawai di muka pintu teater diperlukan guna menyeleksi calon penonton yang masuk. Sebab, setiap pengunjung berhak mendapat kenyamanan setara. Termasuk bebas dari celotehan para bocah yang bertingkah karena nggak paham isi cerita.
Kejadian meresahkan memang bisa dihadapi di mana saja, termasuk saat kita hendak bersenang-senang di bioskop. Bagaimanapun, hal tersebut di luar kendali yang tak bisa dihindari. Salah satu upaya saya menyiasatinya adalah dengan menonton bukan di pekan saat situasi Cinepolis Java Supermall Semarang cenderung sepi. Dengan demikian, saya bisa lega menonton sendiri dengan lebih menghayati.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Nonton Bioskop kalau Nggak Paham Aturan Tidak Tertulisnya, Nanti Disebut Penonton Norak.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.