Entah sejak kapan, rumah saya seakan menjadi rumah singgah bagi para kucing-kucing jalanan yang dibuang. Ada yang datang sekadar mencari partner berkembang biak, ada pula yang singgah karena dibuang oleh majikannya. Seakan para babu kucing (pemilik kucing) tahu, pemilik rumah ini—saya—begitu welcome kepada kucing jalanan.
Para babu ini bisa mikir tempat mana yang sekiranya bakal meruwat kucing jalanan yang dibuang, namun mereka nihil jika membicarakan tentang peri kekucingan. Iya, emang manusia saja yang punya peri-peri keadilan, kucing pun juga. Tinggal tunggu saja sidang PBB, Persatuan Babu-babu, yang bakal merumuskan landasan dasar peri kekucingan ini.
Jika dibuang dalam kondisi sehat saja nggak masalah. Yang jadi soal, saya pernah menerima kucing yang tiba-tiba datang dengan kondisi terkena scabies kronis. Singkat kata, kucing ini saya rawat karena saya mikirnya, mungkin besok sudah menemui ajal. Saya akan beri sebaik mungkin sebelum ia menjemput kematiannya dengan ringan.
Ia nggak mengeong, nggak juga ndusel-ndusel. Hidupnya bagai penuh dengan kelindan air mata. Tubuhnya kuyu. Ia meminta perlindungan saya dengan cara meminta makan dan minum. Saya beri air minum, ia meminum bagai kesetanan. Tubuhnya… demi Tuhan sangat mengenaskan. Malang betul nasibnya dibuang, pun mujur betul nasibnya lantaran bertemu saya.
Jika boleh jujur, saya blassss sama sekali nggak merasa jijik. Walau bentukan kucing yang terkena scabies ini sudah nggak bisa disebut dengan kucing. Kupingnya hampir tertutup oleh jamur, bulu-bulunya sudah dimakan oleh cacing-cacing kecil, dan yang bikin saya makin perih, matanya sudah sulit untuk melek. Dan tubuhnya… Ah, bahkan saya nggak tega untuk menuliskan dengan lebih detail.
Saya pegang kepalanya, saya suruh dia untuk mengeong, blas nggak muncul sama sekali suara itu. “Meong o to, semangat untuk hidup, ojo ambyar terus!” Kata saya seperti sedang ngobrol dengan kawan sehabis nonton konser Lord Didi Kempot.
Ibu saya keluar rumah, melihat kucing scabies yang nestapa itu. Blio langsung ngendikan untuk membawanya berobat. Jujur saja, bertahun-tahun memelihara kucing kampung, baru kali itu saya mempunyai tekad membawa seekor kucing ke dokter hewan.
Kucing saya—beberapa tahun kepungkur—pernah ditembak tetangga saya. Matanya sampai rusak, pun nggak dibawa ke dokter karena ketidaktahuan. Ada juga yang pernah ketabrak motor sampai bagian kakinya rusak, pun nggak dibawa ke dokter. Anehnya, semua selamat walau tanpa dibawa ke dokter.
“Namanya Enjel,” kata Ibu saya lagi, bikin saya kemekelen setengah mati. “Soalnya dia datang bagai mukjizat di keluarga ini ketika Malam Ramadhan.” Hati saya mencelus. Untung Ibu saya nggak ngasih nama Romadhon atau Lailatul. Untung saja.
Lantas saya melihat kucing scabies ini lagi, lamat-lamat saya perhatikan dengan baik dan hormat, lama-lama kasihan juga melihat penderitaannya garuk-garuk tubuh lantaran gatel-gatel. Dompet saya berkata, sudah bawa saja. Uang bukan soal.
Pertama saya bawa ke dokter hewan dekat rumah. Diberi obat semprot yang maaf sekali saya lupa namanya. Katanya, kucing ini scabies. Saya kira, scabies itu penyakit yang keren karena namanya mbois sekali. Sungguh. Setelah Enjel disemprot beberapa hari, bulunya mbrudul semua. Enjel menjadi gundul.
Jamur menghilang, bulu menghilang, Enjel sudah boleh masuk rumah. Ia suka mendekati saya. ketika saya bangun tidur, Enjel sudah di samping saya. Habis mandi, Enjel nunggu di depan pintu kamar mandi. Saya pulang malam, Enjel masih terjaga. Seakan ada hubungan sentimentil di antara kami yang sulit untuk saya tuliskan dan jabarkan dalam paragraf ini.
Beberapa hari setelah saya tidur bersama Enjel, lha kok kaki saya abing-abing nggak karuan. Rasanya guatel setengah mati. Esoknya nanah menghiasi kaki saya. Sungguh menjijikan luka-luka itu. Saya pakai celana jeans pun bekas lukanya nembus. Saya lihat kasur, tungau ganas berkeliaran sana-sini.
“Bawa Enjel ke dokter lagi aja,” kata Ibu saya. Welah, pitikih, yang sakit saya kok malah yang dibawa ke dokter si Enjel. Awalnya saya merasa teralienisasi di rumah sendiri. Jebul Ibu saya punya perkiraan, kutu-kutu ganas bersemayam di bulu-bulu Enjel. Saya endus tubuh Enjel, astaga apek sekali.
Kami membawa Enjel ke Poliklinik Hewan di Giwangan. Sepanjang perjalanan, saya merasakan gatel yang sungguh nggak bisa dijelaskan. Kaki saya kruwal-kruwel, sedangkan Enjel diam, nggak banyak mengeong seperti biasanya. Diem, diem, tau-tau ngising. Itulah Enjel.
Enjel membaik pasca dibawa ke poliklinik. Obatnya pakai obat minum. Hanya habis 75 ribu rupiah. Kaki saya sebaliknya, tambah parah! Udah pakai salep, bedak, sampai obat minum, tetap saja gatel. “Kamu sedang dalam cobaan, seperti Nabi Ayub,” kata Muhammad Arif yang menelpon saya setelah bertanya kenapa dua bulan ini saya jarang keluar.
Sebulan selanjutnya, Enjel membuat saya kaget terheran-heran. Princess Disney butuh bertemu pangeran untuk menjadi cantik, sedang Enjel harus ketemu saya dulu sebelum jadi kucing yang indah bukan main. Saya gendong Enjel, tubuhnya yang dulu buluk, sekarang saya peluk-peluk.
Setelah searching di mesin pencarian, saya malah tertawa ngakak. Scabies yang namanya keren itu, jebul arti lainnya adalah kudis. Demi Jagad Pramudita penguasa alam dan seisinya, kucingku lho kudisan, tak kira dapat penyakit keren apaan kok ya nyebutnya scabies-scabies barang. Kemudian saya ke apotek, melaksanakan self–love ala saya. Lantas bilang, “MBAK, BELI OBAT BUAT ORANG YANG KUDISAN!”
Tapi, itulah Enjel dengan segala problematikanya. Sebab, gara-gara merawat dirinya, saya kehilangan mantan saya. Bukan soal, karena hadirnya Enjel benar-benar bagai malaikat. Setidaknya bagi keluarga saya dan warga sekitar rumah saya. Tetangga-tetangga saya berkumpul di depan rumah, ngelus-ngelus kucing yang sungguh cantik, padahal dulunya ditakuti karena bentukannya sungguh menyeramkan.
Tiap tetangga datang, yang dicari bukan saya, melainkan Enjel. Jujur saja, itu sungguh menyenangkan. Menyenangkan karena saya bisa mengurus kucing liar menjadi kucing yang anggun dan cantik, pun menyenangkan karena memberikan hiburan gratis bagi orang-orang di dekat saya.
Kalau saya sedih, Enjel selalu ndusel di perut saya. Ia nggak bisa ngomong, tapi sorot matanya seakan mbisiki bahwa semua masalah bisa diselesaikan. Kemudian saya elus tubuhnya, matanya merem, semua bakal baik-baik saja. Enjel memberikan keyakinan itu.
Bulunya Enjel sangat halus, nggak seperti dulu yang pating gronjal. Saya sangat sayang Enjel melebihi apapun. Merawat Enjel, mungkin bisa dibilang harga diri saya. Harga diri yang nggak mungkin tergadaikan dan dikecewakan.
Ternyata, kucing jalanan juga butuh tempat yang nyaman. Jika dirawat dengan baik dan benar, mereka tetap memiliki harkat dan martabat sebagai kocheeeng. Sungguh beruntung saya bertemu Enjel. Bagaimana dengan Enjel? Semoga merasakan perasaan yang sama kepada saya.
BACA JUGA Bukan Benci, Ada Alasan Kenapa Perlu Mengusir Kucing dari Rumah dan tulisan Gusti Aditya lainnya.