Sesekali dalam hidup, coba nonton konser di Kendal. Saya jamin kalian akan mendapat pengalaman hidup yang benar-benar membekas. Beri saya waktu bercerita, agar kalian tahu bahwa Kendal memang beda.
Awalnya niat saya sederhana saja: keluar rumah, nyari hiburan, biar kepala yang tiap hari dijejali rutinitas kerja bisa agak adem. Kebetulan, pas banget di Kendal saat itu sedang ada hajatan gede Kendal Open Fair 2025. Kebetulan juga, acaranya gratis.
Event ini digelar buat merayakan hari jadi Kabupaten Kendal yang ke-420 sekaligus untuk memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-80. Tempatnya di Stadion Utama Kebondalem, acara berlangsung seminggu penuh, dari tanggal 10 sampai 16 Agustus 2025.
Panggungnya nggak main-main, lampu warna-warni kelap-kelip, line up artisnya juga campur aduk dari yang legend sampai yang sedang naik daun.
Ada Power Slaves, Andra & The Backbone, Fanny Soegi, Souljah, sampai Om Adella, dan Arlida Putri yang jadi jagoan dangdut koplo. Bahkan ada pengajian akbar bareng Gus Azmi. Lengkap. Pokoknya untuk ukuran acara gratis, ini sudah termasuk level wah.
Saat sampai lokasi yang saya pikir, ya sudah, tinggal datang, nyari tempat duduk, lalu menikmati musik. Kalau beruntung, mungkin bisa ketemu teman lama. Tapi namanya juga konser gratisan di Kendal, apalagi kalau sudah masuk sesi musik dangdut, hiburan kadang datang sepaket sama bonus tontonan pencak dor antar penonton.
Ketika musik dangdut jadi pemicu
Sampai pertengahan acara, suasana masih aman. Power Slaves tampil, penonton tenang. Andra & The Backbone juga kalem. Paling ramai pas intro “Sempurna”, penonton kompak teriak “wooo”, lalu balik anteng lagi.
Semua berubah ketika giliran dangdut mulai. Saat Arlinda Putri manggung, aura stadion langsung beda. Goyang koplo yang mestinya bikin penonton hepi, entah kenapa malah bikin sebagian orang tersulut emosinya.
Senggol sedikit, langsung jotos. Yang bikin lebih menarik, bibit-bibit “atlet pencak dor” ini rata-rata masih pemuda tanggung. Wajah polos, tapi tatapan matanya sudah khas merah menyala kombinasi alkohol, pil koplo, dan ego masa muda yang gampang terbakar.
Puncaknya, saat Om Adella main, keributan meluber sampai ke luar stadion. Bahkan masuk ke gang-gang warga Kebondalem. Memang sih, skalanya nggak terlalu besar. Tapi cukup bikin banyak orang mikir dua kali kalau mau datang lagi ke konser gratisan di Kendal.
Ingatan kembali ke tahun 2009: Letto dan Joget Pogo
Kejadian ini bikin saya ingat konser Letto sekitar tahun 2009 di Alun-Alun Kendal. Logikanya, musik Letto aman dari ricuh. Liriknya puitis, lagunya syahdu. Cocoknya ya buat melamun, bukan lompat-lompatan.
Tapi anehnya teman saya malah joget pogo gaya tabrak-tabrakan ala anak punk pas di lagu “Ruang Rindu”. Bisa ditebak, suasana syahdu langsung buyar, dan nggak lama bentrok pecah. Ironis banget, di atas panggung Mas Sabrang khusyuk menyanyi, di bawah panggung penonton sudah saling lempar pukulan.
Sejak saat itu, saya jadi sadar. Konser gratis di Kendal memang punya tradisi unik tempat arena tanding tak resmi.
Alkohol, pil koplo, dan “senjata rahasia” dalam konser di Kendal
Kenapa konser di Kendal selalu ricuh? Salah satu biang keroknya adalah minimnya pemeriksaan barang bawaan.
Penonton bisa bawa apa saja. Dari minuman keras, pil koplo, sampai senjata tajam model pisau lipat, knuckle, atau baton stick. Akibatnya, begitu emosi terpancing, dorong-dorongan bisa langsung naik level jadi ajang duel sungguhan.
Dan biasanya, penonton lain yang cuma pengin nonton malah kena getahnya mulqi tersikut, terinjak, atau minimal harus lari nyelamatin diri.
Konser bayar pun nggak selalu aman
Ada yang bilang, “ya wajar lah ribut, namanya juga konser gratisan.” Nyatanya, konser dangdut berbayar pun kadang hasilnya sama saja.
Tiket mahal nggak menjamin penonton lebih tertib. Bedanya, konser berbayar biasanya punya pengamanan lebih ketat. Jadi setidaknya bisa mengurangi penonton mabuk atau yang membawa barang berbahaya.
Kalau di Kendal Open Fair? Pintu masuknya terbuka lebar. Semua orang bisa masuk, dari bapak-bapak pakai sarung sampai anak muda yang baru belajar rasanya minum ciu. Campur aduk.
Solusi nyeleneh: ring tinju mini di konser Kendal
Kadang saya mikir, kenapa panitia nggak sekalian nyediain ring tinju mini aja? Jadi kalau ada penonton yang kepancing ego, silakan naik ring, adu pukul resmi, ada wasit, disaksikan penonton lain. Mirip konsep acara musik Hantam Keras di Jakarta yang menggabungkan olahraga tinju sama musik.
Biar fair, pemenangnya dapat hadiah. Minimal kaos bertuliskan “Juara Pencak Dor Kendal Open Fair 2025”. Sekalian jadi prestasi, nggak cuma bentrok liar yang bikin orang-orang resah.
Nama boleh berganti, tradisi tetap sama
Buat yang belum tahu, acara semacam ini sudah sering ganti nama. Dulu PSPP, lalu Kendal Expo, sempat jadi Pekan Raya Kendal, sekarang Kendal Open Fair. Nama bisa berubah sesuai bupati yang menjabat. Tapi satu hal tetap sama konser dangdut selalu jadi magnet orang buat darang plus ajang potensi ribut yang terus terjaga.
Seolah-olah paket hiburan rakyat Kendal itu sudah jelas isinya panggung megah, artis papan atas, penjual cilok dan es teh, serta bonus tontonan pencak dor gratis.
Bagi saya, konser gratis kayak gini ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi menyenangkan, karena masyarakat bisa nonton hiburan tanpa bayar. Tapi sisi lain, selalu ada risiko pulang dengan bibir bengkak atau kaos robek.
Kadang saya heran, kok ada orang yang bela-belain datang jauh-jauh, berdiri berjam-jam, hanya untuk adu jotos sama orang asing. Tapi mungkin memang begitulah dinamika konser dangdut di Kendal. Musik bikin badan goyang, minuman bikin kepala ringan, gesekan kecil bikin tangan melayang.
Kalau ditanya, apakah saya bakal datang lagi ke konser gratisan semacam ini, jawabannya tergantung. Kalau line up artisnya menarik, mungkin iya. Tapi kalau lagi pengin santai beneran, lebih baik nonton dari YouTube. Aman, nyaman, tanpa risiko kena sikut.
Bagaimanapun, Kendal Open Fair tetap jadi bagian penting dari identitas hiburan rakyat di kota ini. Tinggal bagaimana panitia bisa bikin acaranya lebih aman, supaya semua orang bisa pulang dengan senyum, bukan dengan bibir jontor.
Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kendal: Slogannya Kota Handal, tapi Kondisi Jalannya Bikin Kita Mual
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
