Sistem kasta di keluarga Jawa ini saya alami khususnya untuk masyarakat di daerah saya. Tepatnya daerah pinggiran kabupaten Gresik yang bertetangga langsung dengan Lamongan dan Mojokerto yang sama-sama pinggiran.
Sebelumnya perlu dipahami dengan akal yang sehat, jasmani yang kuat dan rohani yang tenang, mengenai sistem kasta yang saya maksud. Pasalnya, rumus sistem kasta ini agak jelimet, mbulet, ruwet nggak karuan.
Jadi begini, untuk sepupu saya yang merupakan anak dari kakak orang tua (paman maupun bibi) saya maka akan dipanggil mas, cacak, mbak, atau yu’, tergantung jenis kelamin dan kelegowoan hati untuk memanggilnya. Untuk sepupu ini tergolong dalam kasta tinggi di atas saya, pasalnya orang tuanya merupakan kakak dari orang tua saya.
Sedangkan untuk sepupu saya yang merupakan anak dari adik orang tua (paman maupun bibi juga) saya, maka akan dipanggil adik atau namanya langsung. Sepupu ini tergolong dalam kasta bawah, pasalnya orang tuanya merupakan adik dari orang tua saya.
Perlu diketahui bahwa hukum budaya ini bersifat paten, nggak bisa diganggu gugat, apalagi digugat dan dibawa ke pengadilan. Justru, jika melanggar, mau nggak mau akan menerima hukumannya, yakni mendapatkan omelan dan petuah dari orang tua.
Jadi, meskipun usia sepupu dari kakak orang tua saya lebih muda dibandingkan saya, tapi ia tetap saja harus dipanggil mas, cacak, mbak, atau yu’. Begitupun dengan sepupu dari adik orang tua saya yang meskipun memiliki usia lebih tua dibandingkan saya, maka tetap saja harus dipanggil adik atau namanya.
Jika kalian agak bingung, cobalah untuk membaca kembali dan memahami rumusnya secara alon-alon pokok kelakon. Dan jika masih tetap bingung, istirahatlah, mungkin Anda perlu tidur dan sesekali refreshing atas ke-absurd-an sistem kasta ini.
Menurut saya, mungkin nggak menjadi masalah ketika antara kasta dan usia orangnya relevan. Jika kasta tinggi dan usianya tua, untuk memanggil dengan panggilan mas, cacak, mbak, atau yu’ menjadi nggak masalah, bahkan itu etis. Begitupun dengan orang yang tergolong dalam kasta di bawah yang memiliki usia lebih muda, maka memanggil dengan panggilan adik atau namanya langsung tentu sebagai suatu kewajaran.
Nah, menjadi nggak wajar ketika antara kasta dan usianya nggak relevan. Seperti panggilan “mbak” kepada sepupu perempuan saya yang merupakan anak dari kakak ibu saya. Padahal asal kalian tau bahwa sepupu perempuan saya ini masih berusia SD. Saya memanggilnya “mbak” karena tuntutan kasta yang dimilikinya tergolong lebih tinggi daripada saya.
Lebih nggak wajar lagi pada sepupu laki-laki saya yang sudah berusia tua, bahkan sudah punya anak satu yang kebetulan berasal dari adik bapak saya. Jika menurut rumus diatas, saya seharusnya memanggil dia “adik”, sebab kastanya di bawah saya.
Namun, saya lebih memilih memanggil namanya langsung. Pasalnya, saya agak risih memanggil dia adik. Dia sudah cukup tua dan telah memiliki anak. Sedangkan saya sendiri masih jauh lebih muda daripada dia. Tentu nggak lucu dong, ketika saya memanggil orang yang lebih tua jauh dibandingkan saya dengan sebutan “adik”? Apa kata dunia, jika tahu keanehan sistem kasta ini?
Saya sendiri agak risih jika memanggil atau dipanggil dengan sebutan yang terbolak-balik dan sama sekali nggak sesuai dengan usianya ini. Apalagi ketika nongkrong di warung kopi bersama sepupu. Ketika saya memanggil atau dipanggil oleh sepupu saya, pada saat itu juga orang sekitar mulai melongo terheran-heran dengan panggilan kami. Pasalnya antara tampang wajah dengan panggilannya, nggak cocok blas gadas.
Selain perilaku tersebut, ada lagi yang lebih absurd dalam sistem kasta Jawa yang dianut oleh keluarga saya. Hal tersebut mengenai etika bersalaman yang harus mencium tangan orang yang kastanya lebih tinggi.
Coba bayangin saja, ketika kastanya lebih tinggi daripada saya, tapi usianya lebih muda dibandingkan saya, bahkan masih SD, maka saya harus mencium tangannya ketika bersalaman. Bukankah itu cukup aneh? Bahkan bisa jadi saya dianggap gangguan jiwa sama orang lain yang nggak tahu etika sistem kasta ini.
Begitupun sebaliknya, justru saya sangat risih ketika tangan saya dicium sebagai etika bersalaman oleh sepupu saya yang sudah memiliki anak tadi yang kebetulan tergolong dalam kasta di bawah saya. Oleh karena itu, terkadang saya menarik tangan saya ketika hendak dicium olehnya karena kerisihan saya sendiri.
Sungguh sebuah keanehan hakiki bagi saya, perilaku cium-mencium tangan dalam bersalaman tangan ini mungkin juga nggak wajar bagi masyarakat umum. Namun, apalah daya jika itu sebuah budaya? Mau nggak mau ya harus melestarikannya.
Meskipun sistem kasta keluarga Jawa ini terlihat absurd, aneh, nggak wajar blas gadas, tapi di sini saya menangkap nilai yang ingin disampaikannya. Bahwa budaya Jawa sangat memegang teguh nilai untuk menghormati orang yang dianggap lebih tinggi derajatnya.
Oleh karena itu, mereka yang dianggap tinggi derajatnya akan dipanggil dengan sebutan khusus dan diberlakukan secara khusus pula seperti etika bersalaman dengan mencium tangannya.
BACA JUGA Drama Bahasa Jawa dan Madura di Keluarga Besar Saya dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.